Gugatan PKS Terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden Terancam Kandas
MK menilai kedudukan hukum PKS sebagai penggugat pasal ambang batas pencalonan presiden di UU Pemilu lemah. Apa alasannya?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, IQBAL BASYARI
·5 menit baca
KELVIN HIANUSA
Suasana sidang di MK, Selasa (3/4/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi meminta Partai Keadilan Sejahtera menguatkan kedudukan hukum dalam permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan dari PKS bisa ditolak karena sebagai partai yang memiliki kursi di DPR ikut membuat UU Pemilu. Selain itu, PKS juga pernah menggunakan pasal yang diuji dalam Pemilu 2019.
Hal itu terungkap saat Ketua Majelis Panel Arief Hidayat memberikan saran perbaikan kepada PKS selaku pemohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden, di Gedung MK, Selasa (26/7/2022). Majelis panel terdiri dari Arief Hidayat selaku ketua majelis serta hakim anggota Enny Nurbaningsih dan Saldi Isra.
Adapun dari pihak PKS dihadiri oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Alhabsy, serta kuasa hukum Zainudin Paru. Para pemohon mengikuti persidangan secara daring melalui sambungan Zoom.
Arief Hidayat menyampaikan, setelah mendengarkan pembacaan permohonan dari PKS, pihaknya meminta agar status kedudukan hukum pemohon diperkuat. Sebab, dalam putusan 35/PUU-XII/2014, MK pernah memutus bahwa parpol yang sudah ikut membahas UU yang diuji di DPR tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi di MK. Apalagi, pasal yang diuji sudah digunakan untuk ikut serta dalam kontestasi Pemilu 2019.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan perselisihan hasil pemilihan umum legislatif di Gedung MK, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
”Putusan Nomor 35/PUU-XII/2014 menyebutkan bahwa parpol yang pernah ikut membahas dan menyetujui UU yang dimohonkan pengujian dan pasal tersebut sudah digunakan untuk berperan serta dalam kontestasi pemilu tidak diberikan legal standing (kedudukan hukum) untuk judicial review (pengujian undang-undang),” kata Arief.
Ia meminta agar pemohon memperbaiki permohonannya dengan membangun argumentasi baru sehingga memiliki kedudukan hukum yang kuat. Pemohon diberi waktu selama dua minggu untuk memperbaiki permohonannya tersebut. Perbaikan permohonan ditunggu oleh MK hingga 8 Agustus. Jika permohonan tak diperbaiki, MK dipastikan tidak akan menerima permohonan itu karena tidak memenuhi syarat formil.
Pasal 222 UU Pemilu sudah digugat sebanyak 20 kali di MK. Gugatan terakhir yang ditolak MK diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Kamis (7/7/2022). MK menyatakan bahwa penentuan besar atau kecilnya ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) yang menjadi ranah pembentuk undang-undang.
Arief meminta PKS memperhatikan lagi batu uji pasal di konstitusi dan alasan permohonan yang berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Jika tidak, permohonan bisa tidak diterima oleh MK karena tidak sesuai dengan Pasal 60 dan Pasal 70 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Pengujian UU. Perkara bisa dinyatakan nebis in idem atau perkara dengan obyek dan materi yang sama yang telah diputus oleh pengadilan.
”Coba bangunkan argumentasi mengapa MK harus menentukan angka presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) yang sebenarnya adalah ranah dari open legal policy. Ini sebenarnya lebih tepat ke legislative review, bukan kewenangan mahkamah untuk menentukan itu, tetapi kewenangan pembentuk UU,” kata Arief.
Dalam putusan-putusan sebelumnya terkait penentuan ambang batas pencalonan presiden, kata Arief, MK selalu mengatakan bahwa besaran angkanya adalah kewenangan dari pembentuk UU. Sebab, di dalam konstitusi jelas disebutkan bahwa yang berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu.
Hakim konstitusi Saldi Isra juga meminta agar pemohon memperjelas legal standing-nya. Mahkamah meminta penegasan bahwa memang sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKS, presiden dan sekjen yang berhak mewakili parpol dalam urusan hukum. Hal itu perlu diperjelas dalam lampiran bukti permohonan.
Saldi juga meminta PKS untuk memperjelas kerugian konstitusional yang dialami akibat penerapan ambang batas pencalonan presiden tersebut. Apakah kerugian itu sudah dirasakan secara aktual atau sifatnya masih potensial. Di dalam berkas permohonan, mahkamah melihat kerugian konstitusional itu belum jelas antara sebagai parpol dan perseorangan.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Saldi Isra
”Tolong dipikirkan lagi juga soal komplikasi dari tawaran petitum yang diajukan. Mengapa PKS meminta MK menetapkan angka ambang batas pencalonan presiden 7-9 persen kursi di DPR dalam waktu tiga bulan. Apa ini tidak lebih tepat diperjuangkan melalui legislative review,” kata Saldi.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan, pemohon uji materi UU Pemilu sudah sangat banyak. Oleh karena itu, PKS harus membangun argumen hukum yang bisa meyakinkan MK bahwa perkaranya layak diperiksa hingga ke pokok permohonan. Selama ini, MK belum mengubah pendiriannya bahwa ambang batas pencalonan presiden itu konstitusional. Untuk mengubah besaran angka presidential threshold adalah kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah pembentuk UU.
”Perlu dibangun argumentasi yang kuat, apa yang bisa menggeser bahwa kebijakan itu bukan ranah dari pembentuk UU? Apalagi, PKS sudah turut serta dalam pembahasan UU Pemilu dan sudah mengikuti pemilu dengan UU ini,” kata Enny.
KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih
Ahmad Syaikhu menyampaikan bahwa PKS memohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu karena merasa dirugikan secara konstitusional. PKS meminta MK menurunkan ambang batas pencalonan presiden menjadi 7-9 persen kursi DPR.
Selain memenuhi aspirasi rakyat, uji materi juga diajukan karena PKS ingin memperkuat sistem demokrasi. PKS ingin mengurangi polarisasi di tengah masyarakat akibat hanya ada dua kandidat capres dan cawapres karena dampak terlalu tingginya ambang batas pencalonan presiden, yaitu 20 persen kursi di DPR atau perolehan 25 persen suara sah nasional.
Kuasa hukum PKS, Zainudin Paru, memahami besaran ambang batas pencalonan presiden diserahkan pada pembentuk undang-undang sebagaimana putusan MK sebelumnya. Yang diharapkan dari MK adalah memutus angka batas atas dan batas bawah untuk ambang batas pencalonan presiden agar dapat memperkuat sistem presidensial serta demokrasi dan kedaulatan rakyat.