Dari total anggaran pemilu yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk tahun ini sebesar Rp 8,06 triliun, masih ada Rp 5,6 triliun yang belum dicairkan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum kunjung cairnya kekurangan anggaran untuk pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 pada tahun 2022 dikhawatirkan menghambat jalannya tahapan yang sudah berjalan. Dewan Perwakilan Rakyat mendesak Kementerian Keuangan segera mencairkan sisa kekurangan anggaran Rp 5,6 triliun karena kelancaran tahapan menjadi pertaruhannya.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Yulianto Sudrajat, mengatakan, satu minggu sebelum masa pendaftaran partai politik peserta pemilu yang dimulai pada 1 Agustus mendatang, anggaran untuk pelaksanaan tahapan dan dukungan terhadap tahapan pada 2022 belum sepenuhnya cair. Dari pagu anggaran yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sebesar Rp 8,06 triliun, masih ada Rp 5,6 triliun yang belum dicairkan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Komunikasi antara KPU dan Kemenkeu untuk pembahasan anggaran sudah selesai. Penelaahan anggaran yang diajukan KPU untuk tahapan pemilu pun sudah selesai dilakukan Juli ini,” ujarnya saat ditemui di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Yulianto menuturkan, pencairan anggaran sangat mendesak karena tahapan pemilu yang membutuhkan biaya besar sudah dimulai. Dalam tahap pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, KPU harus merekrut 7.230 petugas verifikator di setiap kecamatan untuk melaksanakan verifikasi faktual. Proses rekrutmen akan dilaksanakan pada September sebelum tahap verifikasi faktual dilaksanakan 15 Oktober hingga 4 November.
Sebulan seusai rekrutmen petugas verifikator lapangan, KPU akan menggelar seleksi badan ad hoc, yakni Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara, pada Oktober. Seluruh proses seleksi petugas verifikator dan badan ad hoc, termasuk sosialisasi dan bimbingan teknis ke KPU kabupaten/kota yang menyelenggarakan seleksi membutuhkan biaya yang tak sedikit. Oleh sebab itu, idealnya kekurangan anggaran bisa dicairkan maksimal Agustus agar tak menghambat tahapan-tahapan yang sudah mulai berjalan.
Selain itu, lanjut Yulianto, ada dukungan tahapan pemilu yang turut membutuhkan anggaran, di antaranya pengadaan teknologi informasi dan renovasi kantor KPU di provinsi dan kabupaten/kota. Penyediaan anggarannya pun sebaiknya segera dilakukan agar KPU bisa segera meyerap dana di tahun anggaran yang tersisa lima bulan.
Sambil menanti anggaran cair, KPU merealokasi anggaran yang sudah tersedia sebesar Rp 2,4 triliun untuk membiayai tahapan yang sudah berjalan. Mereka memprioritaskan anggaran untuk memenuhi kebutuhan tahapan yang sudah berjalan sejak 14 Juni lalu. Namun, anggaran yang sudah tersedia itu dipastikan tak akan mencukupi karena jumlahnya sangat terbatas di tengah kebutuhan anggaran untuk tahapan yang berjalan hingga akhir tahun ini yang mencapai tiga kali lipat dari dana yang sudah tersedia.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Yanuar Prihatin pun mempertanyakan sikap Kemenkeu yang tak kunjung mencairkan anggaran yang telah disepakati bersama. Tertundanya pencairan anggaran akan berdampak pada kelancaran tahapan dan terhambatnya satu tahapan akan berpengaruh ke tahapan selanjutnya karena seluruh tahapan menjadi satu proses yang tak terpisahkan. Apalagi, waktu setiap tahapan pun sudah diatur sehingga tidak bisa ditunda atau digeser karena masalah ketiadaan anggaran.
”DPR mendesak Kemenkeu untuk mencairkan anggaran terkait tahapan karena saat ini tahapan sudah berjalan. Kalau pencairan anggaran tidak tepat waktu, berpotensi mengganggu tahapan pemilu. Ini artinya dukungan pemerintah, khususnya Kemenkeu, dipertanyakan,” kata Yanuar.
Ia mengingatkan, pencairan anggaran untuk tahapan pemilu agar tidak dianggap masalah sepele. Sebab, pemilu merupakan hajatan besar rutin yang menjadi amanat Undang-Undang Dasar 1945. Terlebih, Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan untuk mendukung kelancaran Pemilu 2024 dan meminta seluruh pihak mendukung kelancaran pemilu. Termasuk, Kemenkeu seharusnya bisa adaptif terhadap proses politik dalam mengalokasikan anggaran.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata menjelaskan, dokumen-dokumen administrasi yang diperlukan untuk pencairan anggaran telah dilengkapi KPU.
Ia menjanjikan pencairan anggaran akan dilakukan sebelum tahapan yang membutuhkan biaya besar, seperti rekrutmen petugas verifikator lapangan ataupun pembentukan badan ad hoc, berlangsung. Dengan demikian, tahapan-tahapan tersebut bisa dilaksanakan dengan dukungan anggaran yang maksimal. ”Pencairan sesuai tahapan pemilu di tahun 2022 akan dilakukan pada waktunya,” katanya.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Erik Kurniawan, menilai, belum cairnya seluruh anggaran saat tahapan pemilu telah berjalan merupakan hal yang mengkhawatirkan. Padahal, pagu anggaran sudah disepakati oleh DPR dan Kemenkeu jauh-jauh hari. Artinya, seharusnya tidak ada lagi masalah teknis terkait pencairannya. ”Jangan sampai komitmen Presiden tercederai karena persoalan teknis di Kemenkeu,” katanya.
Menurut Erik, idealnya kekurangan anggaran bisa dicairkan dalam satu minggu ini. Sebab, sejak tahapan pendaftaran parpol peserta pemilu, KPU membutuhkan anggaran yang cukup besar untuk melaksanakan tahapan-tahapan selanjutnya. Apalagi, anggaran rutin yang sudah tersedia tidak akan mencukupi jika tak segera diberikan anggaran tambahannya.
Seleksi Bawaslu
Sementara itu, Hurriyah dari Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia mengkhawatirkan keterwakilan perempuan dalam proses seleksi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di daerah.
Dari total 288 peserta yang lolos seleksi tes tertulis dan tes psikologi di 24 provinsi, hanya ada 59 perempuan atau sekitar 20,5 persen. Dari seleksi di 24 provinsi itu, hanya tiga provinsi yang keterwakilan perempuannya lebih dari 30 persen, sedangkan di 21 provinsi lainnya, keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen.
”Rendahnya jumlah keterpilihan perempuan dalam tahapan seleksi ini sangat berpotensi mempersempit peluang keterpilihan perempuan yang cukup di tahapan seleksi selanjutnya. Dampak lebih jauh tentu saja tidak terpenuhinya angka minimal 30 persen keterwakilan perempuan di Bawaslu provinsi,” kata Wakil Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah.
Merujuk Pasal 10 Ayat (7) dan Pasal 92 Ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Pasal 5 Ayat (3) Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2019 juga telah menyatakan bahwa komposisi keanggotaan Bawaslu provinsi memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Pasal tersebut, menurut Hurriyah, perlu dimaknai bahwa kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu wajib mencapai 30 persen sehingga harus diperjuangkan. Selain itu, peningkatan partisipasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu perlu terus diperjuangkan demi terciptanya keadilan jender serta upaya mewujudkan pemilu yang lebih baik dan sesuai dengan prinsip inklusif dan demokratis.
Hurriyah menuturkan, pengalaman seleksi Bawaslu di beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang tidak menghadirkan satu pun representasi perempuan menjadi kemunduran demokrasi serta prinsip kesetaraan dan keadilan jender. Mengingat proses seleksi akhir ada di Bawaslu RI, maka sangat penting untuk menghadirkan spirit, komitmen, dan kemauan politik yang kuat dari Bawaslu RI untuk memastikan keterpilihan perempuan minimal 30 persen di Bawaslu provinsi.
”Harapannya, jumlah anggota perempuan di Bawaslu provinsi yang dipilih oleh Bawaslu RI nanti bisa lebih banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya yang baru mencapai 20,2 persen di 34 provinsi,” katanya.