Calon Hakim ”Ad Hoc” HAM Pun Bisa ”Nge-blank” Saat Ditanya Penguji
Mahkamah Agung menggelar seleksi calon hakim agung ”ad hoc” HAM pada Rabu-Kamis lalu. Menurut rencana, hakim ”ad hoc” hasil seleksi itu akan bertugas mengadili perkara pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, tahun 2014.
Seleksi calon hakim ad hoc hak asasi manusia yang dilakukan oleh Mahkamah Agung di Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/7/2022), menyisakan sejumlah peristiwa menggelitik. Mulai dari calon hakim yang tiba-tiba nge-blank tak bisa menjawab pertanyaan penguji hingga calon hakim purnawirawan yang masih membawa budaya militeristiknya.
Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna harus pelan-pelan mengulang pertanyaannya kepada Helinda, salah seorang peserta seleksi calon hakim ad hoc HAM. Suara perempuan yang berlatar belakang advokat itu tiba-tiba terbata-bata. Butuh jeda waktu sekian menit baginya untuk menjawab pertanyaan Palguna yang mewawancarainya melalui sambungan Zoom.
”Andaikata Anda terpilih sebagai hakim yang memeriksa terdakwa perkara genosida, apa keterangan yang akan digali dari seseorang yang melakukan genosida tersebut? Ibu akan bertolak dari pasal berapa?” tanya Palguna.
”Mohon maaf, saya agak nge-blank sedikit,” ujar Herlinda setelah beberapa menit terdiam.
”Saya ulangi lagi ya, kira-kira apa yang akan digali ketika menyidangkan perkara genosida?” Palguna mengulang pertanyaannya.
”Maaf Pak, agak grogi, jadi nge-blank,” ucap Herlinda lagi.
Palguna kemudian mengubah pertanyaannya. Dia meminta calon hakim berlatar belakang advokat itu untuk menjelaskan prinsip komando yang dilakukan aparatur negara dalam konteks dugaan pelanggaran HAM berat. Apakah prinsip tanggung jawab komando itu berarti seorang komandan kesatuan tidak melakukan pencegahan dalam dugaan pelanggaran HAM berat. Palguna meminta calon hakim itu meneruskan untuk menjelaskan mengenai prinsip komando tersebut.
”Saya lupa, Pak. Tadi saya hafal, tetapi sekarang jadi nge-blank,” ucap Herlinda sembari menunduk.
Meski tidak lancar menjawab pertanyaan dari penguji, sejumlah pertanyaan masih bisa dijawab dengan baik oleh Herlinda. Palguna pun mengapresiasinya. Setelah sesi wawancara yang dibatasi selama 15 menit itu selesai, Herlinda tak lupa meminta maaf kepada Palguna sebelum meninggalkan ruangan wawancara.
”Maaf, Pak. Saya jujur blank sekali,” ucap Herlinda.
”Tidak apa-apa, Ibu. Kita sama-sama pernah mengalami hal tersebut,” jawab Palguna.
Hal menggelitik lain terjadi saat calon hakim yang merupakan purnawirawan TNI, Kolonel (Purn) Yaya Supriadi, mengikuti tes. Pada saat memasuki ruangan tes, Yaya melakukan sikap hormat ala militeristik.
Yaya juga selalu mengucapkan kata ”Siap!” setiap kali penguji menanyakan sesuatu kepadanya. Saat ditanya, Yaya mengaku kebiasaannya saat bertugas sebagai prajurit TNI memengaruhi sikap kesehariannya, termasuk saat menjawab pertanyaan resmi.
Saat sesi wawancara, Yaya mengungkapkan bahwa selama berkarier sebagai prajurit TNI, ia kerap menjadi anggota tim hukum. Tak hanya mendampingi, ia juga menjadi pembela prajurit TNI saat tersangkut kasus hukum.
Kepada penguji, Yaya mengaku pernah bergabung dalam tim hukum Tim Mawar, tim kecil dari Grup 4 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang menjadi dalang dalam operasi penculikan aktivis prodemokrasi tahun 1998. Kasus penculikan tersebut menyeret 11 anggota Tim Mawar ke Pengadilan Mahkamah Militer Tinggi II pada bulan April 1999.
”Menurut Bapak, bagaimana penanganan perkara dugaan pelanggaran HAM di Indonesia selama ini?” tanya penguji Roichatul Aswidah, peneliti senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
”Menurut saya, penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia masih kurang maksimal karena masih sebatas hanya memenuhi sorotan dari luar,” jawab Yaya.
Baca juga : Penuhi Hak Korban untuk Akses Penegakan Hukum Kasus Paniai
Roichatul kemudian melanjutkan pertanyaannya. Dia meminta Yaya menjawab apa yang akan dilakukan untuk memaksimalkan peradilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Yaya menjawab bahwa pengadilan kasus HAM berat harus sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada. Peradilan harus bebas dari intervensi pihak luar, terutama dari institusi terdakwa.
”Kalau Bapak menjadi hakim, kemudian ada intervensi, bagaimana?” cecar Roichatul.
”Perlu keberanian dari pelaku atau institusi jika ada teror atau intimidasi. Harus berani,” tegas Yaya.
Yaya pun menjelaskan alasannya melamar sebagai hakim ad hoc pengadilan HAM. Dia mengatakan ingin meningkatkan kemampuannya yang lebih konkret di bidang hukum. Selama berkarier sebagai prajurit militer, pengalamannya memang banyak berkutat di bidang hukum. Dia menilai, kesempatan menjadi hakim ad hoc HAM adalah cara yang tepat untuk meningkatkan kemampuannya di bidang hukum itu.
Setelah wawancara 15 menit selesai, Yaya pun diminta untuk meninggalkan ruangan. Alih-alih meninggalkan ruangan dengan sikap santai, Yaya mengambil sikap tegak, kemudian berbalik kanan mirip upacara baris-berbaris. Budaya militeristik ternyata masih mengakar dalam kesehariannya.
Yaya dan Herlinda akan bersaing dengan 31 calon hakim ad hoc HAM lainnya yang sedang diseleksi oleh panitia seleksi dari Mahkamah Agung. Sebanyak 15 calon di antaranya berprofesi sebagai advokat dan 3 lainnya merupakan mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Selain itu, ada pula pegawai aktif di pengadilan (3 orang), akademisi (2 orang), dan profesi lainnya. Sementara selain Yaya, masih ada satu calon hakim lain yang berlatar belakang militer, yakni Brigadir Jenderal (Purn) I Made Kanthika.
Potensi konflik kepentingan
Berdasarkan pemantauan langsung, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan masih banyak calon hakim yang kurang memiliki pengetahuan HAM dan hukum humaniter internasional yang memadai. Sejumlah calon bahkan tidak bisa membedakan tindak pidana biasa dengan pelanggaran HAM berat. Hal itu dinilai fatal karena berkaitan dengan pengetahuan dasar terkait kasus-kasus pelanggaran HAM.
”Ada juga yang tidak tahu mengapa dalam penyelesaian hukum kasus HAM berat, berkas perkara bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. Masalahnya di mana, banyak yang tidak tahu. Ini menunjukkan pengetahuan HAM mereka buruk,” ujar Kepala Divisi Pengawasan Impunitas Kontras Tioria Pretty Stephanie.
Pretty berharap MA tidak meloloskan calon hakim yang berasal dari pensiunan TNI/Polri. Alasannya, calon hakim yang dengan latar belakang tersebut akan rawan konflik kepentingan. Apalagi, calon hakim tersebut akan menyidangkan perkara kasus dugaan HAM berat Paniai, Papua. Tersangka tunggal yang sudah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung, yaitu IS, adalah purnawirawan TNI.
”Kami tidak menyarankan memilih dari purnawirawan TNI karena akan ada konflik kepentingan,” kata Pretty.
Selain itu, Kontras juga masih menemukan sejumlah hakim yang orientasinya pencari pekerjaan (job seeker). Hal itu diketahui dari rekam jejak hakim tersebut. Ada calon hakim yang beberapa kali melamar sebagai hakim ad hoc tindak pidana korupsi, calon hakim agung kamar tata usaha negara, pengadilan agama, hingga komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
”Kami sudah sampaikan kepada MA terkait dengan temuan dugaan seleksi ini menjadi ajang job seeker. Ada beberapa sosok calon hakim ad hoc HAM yang beberapa kali mendaftar jabatan publik,” ujar Pretty.
Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM Andi Samsan Nganro, Rabu (20/7/2022), menjelaskan, seusai tes asesmen profil dan wawancara yang diselenggarakan pada Senin-Rabu lalu, pansel akan menyelenggarakan rapat untuk memilih siapa di antara 33 calon hakim tersebut yang layak diloloskan.
Kami sudah sampaikan kepada MA terkait dengan temuan dugaan seleksi ini menjadi ajang job seeker. Ada beberapa sosok calon hakim ad hoc HAM yang beberapa kali mendaftar jabatan publik.
Enam tim penguji akan melaporkan nilai tes wawancara dari setiap calon. Nilai tersebut akan dikalkulasi, kemudian menjadi hasil penilaian para calon hakim. Penilaian, di antaranya, dilakukan untuk mengetahui kapasitas calon hakim di bidang HAM, pertanggungjawaban komando, hukum materiil pengadilan HAM, dan hukum acara.
”Kami akan mengecek dulu berapa skor yang didapatkan setiap calon ini. Kami akan rapat untuk memutuskan nilainya. Kemungkinan beberapa hari setelah ini,” tutur Andi.
Andi yang juga Wakil Ketua MA Bidang Yudisial itu menambahkan, dari sejumlah calon hakim yang diwawancarai, banyak yang memang bercita-cita menjadi hakim di pengadilan HAM. Pengetahuan mereka terkait isu HAM dan humaniter internasional juga beragam.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus dugaan pelanggaran HAM yang sudah dilimpahkan dari Kejaksaan Agung akan ditangani oleh dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc HAM. Ketua majelis hakim akan berasal dari hakim karier. Pansel MA akan memilih enam hakim ad hoc HAM untuk pengadilan tingkat pertama dan enam hakim untuk pengadilan tingkat banding.
”Tentu kami akan melaksanakan yang efektif, kami siapkan untuk mengadili perkara yang ada. Proses seleksi tidak mudah. Kami persiapkan, kalau hasil seleksi memungkinkan sejumlah itu disepakati, mengapa tidak? Yang penting bagi MA, mereka bisa memenuhi perkara HAM yang ada sekarang. Semua tergantung dari hasil seleksi, pandangan pansel, dan kualitas calon hakim. Kami tidak mau asal-asalan,” papar Andi.
Baca juga : Kasus Paniai, Perdamaian di Papua, dan Janji Presiden
Menurut rencana, para hakim ad hoc HAM yang terpilih akan menyidangkan perkara dugaan pelanggaran HAM Paniai, Papua, pada pertengahan Agustus ini di Pengadilan Negeri Makassar. Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan IS, anggota militer yang menjabat sebagai perwira penghubung saat terjadi peristiwa Paniai pada 2014 silam, sebagai tersangka tunggal. IS didakwa bertanggung jawab atas jatuhnya empat korban meninggal dan 21 orang luka-luka dalam peristiwa demonstrasi di Paniai. Tim penyidik Kejagung menjerat IS dengan Pasal 42 Ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.