Pemerintah Pilih Permendagri untuk Atur Penjabat Kepala Daerah
Kementerian Dalam Negeri memilih mengatur pengangkatan penjabat kepala daerah dengan permendagri. Sementara Ombudsman menyarankan diatur dalam peraturan pemerintah, sesuai dengan ketentuan UU Pemda.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah memutuskan untuk membuat aturan teknis pelaksanaan penunjukan penjabat kepala daerah dalam bentuk peraturan menteri dalam negeri. Pilihan itu tidak sesuai dengan saran perbaikan yang disampaikan oleh Ombudsman RI serta aturan Pasal 86 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (21/7/2022), menyampaikan, berdasarkan hasil pembahasan lintas kementerian dan lembaga, aturan pelaksana penunjukan kepala daerah diputuskan dalam bentuk permendagri. Saat ini, draf atau rancangan permendagri itu sedang diharmonisasi dan dimintakan persetujuan kepada Presiden Joko Widodo.
Jika Presiden menyetujui substansi aturan teknis itu, permendagri segera disahkan. Kemendagri menargetkan aturan pelaksana itu dapat diimplementasikan saat pengangkatan penjabat kepala daerah pada Agustus nanti.
”Namanya juga saran (koreksi dari Ombudsman), bisa diterima, bisa tidak. Kalau baik sarannya dan tepat, kami lakukan. Jika tidak, kami pertimbangkan yang lain merujuk pada aturan. Ini sudah dibahas dan disetujui dalam pembahasan antarkementerian,” terang Benni.
Sebelumnya, dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) terkait pengaduan soal pengangkatan penjabat kepala daerah, Ombudsman RI (ORI) meminta pemerintah menerbitkan aturan teknis pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah. Hal itu sesuai dengan mandat dalam Pasal 86 Ayat (6) UU Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang ketentuan persyaratan dan masa jabatan penjabat gubernur, bupati/wali kota, diatur dalam peraturan pemerintah.
Benni menjelaskan, format payung hukum permendagri itu disepakati dalam pembahasan antara Kemendagri dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Sekretaris Negara, Kementerian Sekretariat Kabinet, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kepolisian Negara RI (Polri). Benni juga mengklaim pembahasan itu sudah melibatkan partisipasi masyarakat, yakni para akademisi dan lembaga non-pemerintah.
”Ini adalah bentuk kepatuhan Kemendagri terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan perintah untuk membuat aturan pelaksana Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Agar penunjukan penjabat kepala daerah ini konstitusional berdasarkan putusan MK,” papar Benni.
Benni juga menampik laporan hasil pemeriksaan Ombudsman yang menyatakan Kemendagri telah melakukan malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Menurut dia, Kemendagri tidak melakukan malaadministrasi. Jika alasannya karena tidak melaksanakan putusan MK, kenyataannya saat ini Kemendagri tengah menyiapkan aturan teknis pelaksana UU No 10/2016.
Berdasarkan hasil pembahasan lintas kementerian dan lembaga, aturan pelaksana penunjukan kepala daerah diputuskan dalam bentuk permendagri.
Terkait dengan permintaan informasi publik yang diminta oleh koalisi masyarakat sipil, Benni meluruskan bahwa proses itu sedang berjalan. Kemendagri sudah mengirimkan surat elektronik kepada pemohon informasi melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Artinya, Kemendagri merespons permintaan tersebut meski saat ini statusnya masih dalam proses karena tidak semua informasi bisa disiapkan dalam waktu cepat. Benni juga mengklaim PPID telah berkomunikasi secara lisan kepada perwakilan masyarakat sipil.
”Jika dikatakan dengan dugaan penundaan berlarut, kami rasa itu tidak tepat. Kemendagri merespons, walau belum sesuai dengan harapan teman-teman masyarakat sipil. Memang kami akui ada keterlambatan proses penjawaban, tetapi tidak ada sengketa informasi. Kami tidak mengabaikan dan menolaknya,” ujarnya.
Sementara itu, anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, masih ada waktu 30 hari bagi Kemendagri untuk membaca LAHP dari ORI sejak laporan itu diserahkan kepada mereka pada Selasa (19/7/2022). Akan lebih baik jika laporan itu dibaca secara komprehensif sehingga bisa dilakukan tindakan korektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam menyusun LAHP, ORI tidak main-main. Seluruh aturan main dalam penunjukan dan pengangkatan penjabat kepala daerah dipelajari. Selain itu, juga putusan MK terkait dengan uji materi Pasal 201 UU Pilkada.
Alasan ORI meminta aturan teknis dibuat dalam bentuk PP ada tiga. Di antaranya adalah LAHP dan putusan MK bisa menjadi momentum bagi Mendagri untuk menata regulasi. Pintu masuk penataan regulasi itu adalah Pasal 86 Ayat (6) UU Pemda. Di pasal itu diatur secara detail tata cara pengangkatan penjabat kepala daerah diatur dalam PP, bukan permendagri. Aturan itu seharusnya sangat jelas untuk dipahami oleh Kemendagri.
”Kami hanya mengingatkan kembali bahwa perintah dari UU Pemda itu adalah Anda tidak membuat aturan lain kecuali PP,” kata Endi.
Alasan lain mengapa aturan pelaksana harus berbentuk PP adalah karena penjabat bupati dan wali kota diangkat oleh bupati, sementara penjabat gubernur diangkat oleh presiden. Perbedaan level jabatan ini yang kemudian membuat PP lebih tepat dijadikan sebagai aturan teknis pelaksana. Akan menjadi aneh secara hukum ketika presiden menunjuk penjabat gubernur, tetapi aturan yang diacu adalah permendagri. Presiden seharusnya merujuk pada aturan yang setara dengan kewenangannya, yaitu perpres atau PP yang diatur secara jelas di UU Pemda.
Selain itu, menurut Endi, Ombudsman juga melihat berbagai aturan turunan mengenai penjabat masih diatur berserakan, seperti di PP Nomor 49 Tahun 2008 dan PP Nomor 6 Tahun 2005. Salah satu PP mengatur tentang pembatasan kewenangan penjabat, misalnya tidak boleh melakukan mutasi pegawai, tidak boleh membuat perencanaan keuangan dan penganggaran daerah. Penjabat dengan masa jabatan hingga 2,5 tahun, tetapi tidak boleh membuat perencanaan APBD, bisa membuat daerah lumpuh. Oleh karena itu, cara untuk menganulir kewenangan yang membatasi penjabat kepala daerah itu dengan PP, bukan dengan permendagri.
Endi menambahkan, jika setelah 30 hari LAHP disampaikan saran perbaikan diabaikan oleh Kemendagri, sesuai dengan UU, Ombudsman akan menaikkan menjadi rekomendasi. Rekomendasi merupakan putusan akhir Ombudsman yang akan disampaikan kepada presiden dan DPR. Ombudsman berharap Kemendagri bisa membaca secara komprehensif LAHP ORI dan melakukan tindakan korektif.
”Semoga rasionalitas politik dan ketentuan peraturan perundangan dilihat oleh Mendagri dan jajarannya sehingga payung hukum yang dikeluarkan adalah PP,” ucap Endi.
Kewenangan
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, berpandangan, aturan teknis pelaksana berupa PP tidak hanya tepat secara hierarkis di bawah UU Pilkada. Namun, PP juga menunjukkan bahwa wewenang untuk menunjuk penjabat gubernur ada di tangan Presiden. Dalam konteks pengangkatan penjabat gubernur, wewenang Mendagri hanya melantik. Adapun wewenang pengangkatan bupati/wali kota berada di tangan Mendagri.
”Dalam pengangkatan penjabat gubernur, wewenang Mendagri hanya melaksanakan, bukan mengatur. Ini menghindari perbuatan melampaui wewenang dari Mendagri. Wewenang pengangkatan penjabat gubernur itu di tangan presiden yang harus dilengkapi dan disempurnakan dengan PP,” tuturnya menerangkan.
Charles berharap Kemendagri patuh pada saran perbaikan dan melakukan tindakan korektif atas LAHP Ombudsman dalam waktu 30 hari. Bukan malah membuat keputusan yang bertentangan dengan saran Ombudsman.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menambahkan, sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada asas kesesuaian materi muatan dengan bentuk peraturan yang dibuat. Idealnya, aturan teknis pelaksana UU Pilkada berbentuk PP, bukan permendagri. Dari sisi muatan, PP juga lebih pas karena akan mengatur teknis yang mendalam. Selain itu, dari sisi hierarki aturan, PP juga akan lebih akuntabel prosesnya karena melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
”Alasan lainnya adalah PP yang lama juga sudah tidak relevan karena hanya mengatur tentang cuti kampanye serta kepala daerah yang berhalangan. Harus ada aturan baru yang mengatur akibat dari pemunduran pemilu dan pilkada serentak 2024,” ucap Bivitri.
Payung hukum PP juga akan lebih sulit diubah dibandingkan dengan permendagri. Permendagri akan lebih mudah diubah ketika ada pergantian menteri.