Pemerintah Berniat Menaikkan Dana Bantuan untuk Partai Politik
Bantuan keuangan untuk partai politik di DPR yang kini sebesar Rp 1.000 per suara bakal dinaikkan. Kini, rencana itu tengah dibahas oleh Bappenas bersama dengan Kemendagri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks demokrasi yang dikeluarkan berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia masih rentan. Selain penataan regulasi, penguatan pengawasan, dan pendidikan politik, penataan biaya politik perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Untuk menekan biaya politik tinggi, pemerintah telah merencanakan untuk kembali menaikkan dana bantuan partai politik.
Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wariki Sutikno menuturkan, hasil indeks demokrasi yang dikeluarkan berbagai lembaga masih menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi cacat (flawed democracy). Indonesia pernah mencapai peringkat ke-48 dalam indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2016. Peringkat itu menurun drastis pada 2017 menjadi peringkat ke-68 karena pengaruh politik identitas. Pada tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ke-52 atau sedikit meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya (2019-2020) yang hanya di peringkat ke-64.
”Artinya, kualitas demokrasi Indonesia ini masih sedang. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan untuk membenahinya,” kata Wariki dalam konferensi ”Peran dan Ketahanan Masyarakat Sipil dalam Pembangunan Berkelanjutan di Era Kemunduran Demokrasi dan Hak Asasi Manusia serta Ketimpangan Sosial dan Ekonomi” yang diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Selasa (19/7/2022).
Wariki menjelaskan, berdasarkan hasil kajian Bappenas, ada empat hal yang mendesak untuk diperbaiki, yaitu penataan regulasi, penataan biaya politik, penguatan pengawasan, dan pendidikan politik.
Saat ini, menurut dia, biaya politik di Indonesia begitu mahal. Untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa saja dibutuhkan biaya hingga Rp 6 miliar. Begitu pula untuk mengikuti pemilihan kepala daerah dan pemilihan calon anggota legislatif, diperlukan biaya yang tak sedikit.
Mahalnya biaya politik ini tak boleh diwariskan kepada anak cucu sehingga perlu segera dibenahi. Salah satu langkah untuk menekan biaya politik yang tengah disiapkan pemerintah adalah kembali menaikkan besaran dana bantuan partai politik (parpol) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Di Swedia dan Meksiko, biaya parpol 70 persen disokong oleh APBN, di Korea Selatan 40 persen juga dibiayai negara. Sementara di Indonesia, saat ini APBN baru memenuhi 1,5 persen dari kebutuhan parpol.
Langkah itu diambil karena, menurut Wariki, mayoritas negara demokrasi mengalokasikan anggaran untuk parpol. ”Di Swedia dan Meksiko, biaya parpol 70 persen disokong oleh APBN, di Korea Selatan 40 persen juga dibiayai negara. Sementara di Indonesia, saat ini APBN baru memenuhi 1,5 persen dari kebutuhan parpol,” ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, parpol-parpol di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan bantuan keuangan sebesar Rp 1.000 per suara sah. Besaran bantuan itu sembilan kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelumnya yang hanya Rp 108 per suara sah.
Sementara parpol yang memiliki kursi DPRD provinsi diberi bantuan keuangan sebesar Rp 1.200 per suara sah. Adapun parpol-parpol yang lolos ke DPRD kabupaten/kota mendapat bantuan keuangan Rp 1.500 per suara sah.
”Usulan mengenai peningkatan dana parpol dari APBN itu sudah disetujui oleh Menteri Bappenas (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa). Proses pembahasannya sudah di ujung, tinggal persetujuan lintas kementerian,” tutur Wariki. Namun, berapa besaran bantuan keuangan yang akan ditetapkan masih dibahas bersama lintas kementerian.
Dana abadi
Selain itu, Bappenas juga mengusulkan adanya dana abadi untuk mendukung keuangan organisasi masyarakat sipil. Dana abadi itu akan dikucurkan untuk menyokong pendanaan organisasi masyarakat sipil yang mulai berkurang dari para donatur luar negeri. Meskipun demikian, Wariki berjanji tidak akan mengooptasi independensi dan imparsialitas gerakan organisasi masyarakat sipil. Dana tersebut justru menjadi komitmen dan dukungan pemerintah terhadap masyarakat sipil sebagai kekuatan penyeimbang di negara demokrasi.
”Kami sudah menyusun prakarsa strategis untuk pendanaan LSM dalam arti dana abadi demokrasi. Percayalah, tidak akan ada kooptasi dari pemerintah. Ini semata-mata untuk meningkatkan kemampuan LSM,” kata Wariki.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani mengungkapkan, komitmen pemerintah masih sama, yaitu memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya setara dengan hak-hak sipil politik warga negara. Semua warga berhak mendapatkannya tanpa kecuali. Hal itu juga sudah ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 10 Desember 2021 lalu. Dalam kesempatan itu, Presiden menegaskan bahwa demokrasi adalah sebuah nilai universal yang perlu dipelihara.
”Bersama dengan negara di ASEAN yang lain, Indonesia memotori dan secara konsisten mendukung keberadaan masyarakat madani. Capaian demokrasi Indonesia sempat mengalami kontraksi, khususnya pada 2020, karena dihantam pandemi. Namun, perlahan pada tahun 2021 skor indeks demokrasi sudah menunjukkan perbaikan,” tutur Jaleswari.
Jaleswari menilai, penurunan kualitas demokrasi tak hanya terjadi di Indonesia. Hal itu terjadi di mayoritas negara demokrasi, terutama di era pandemi. Walaupun sempat menurun pada tahun 2020, Indonesia ternyata berhasil merangkak pelan-pelan memperbaiki kualitas demokrasi pada tahun 2021 lalu. Salah satunya ditunjukkan dengan komitmen pemerintah dalam menjaga dan melindungi kebebasan sipil. Upaya pemerintah itu dilakukan melalui pembuatan pedoman implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pemberian amnesti terhadap korban kriminalisasi UU ITE, dan revisi UU ITE.
”Tidak tepat jika dikatakan pemerintah meningkatkan represi di masa pandemi. Buktinya, kami justru menghadirkan perlindungan terhadap represi di ranah maya,” lanjutnya.
Ke depan, menurut dia, diperlukan kerja bersama atau kolaborasi untuk meningkatkan indeks demokrasi Indonesia. Hasil survei dari berbagai lembaga nasional dan internasional diperlukan sebagai indikator makro yang harus menjadi perhatian bersama. Hal itu juga menjadi parameter bagi pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya.
”Harus ada kolaborasi konkret antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil tanpa harus kehilangan independensinya. Mekanisme kolaborasi adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah juga sepakat bahwa pemenuhan HAM adalah tujuan bersama,” kata Jaleswari.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, penyempitan ruang sipil harus menjadi perhatian serius pemerintah. Amnesty mencatat setidaknya ada 105 kasus represi terhadap masyarakat sipil yang terjadi selama pandemi Covid-19. Amnesty menyoroti, represi yang paling banyak terjadi adalah di ranah digital. Terjadi banyak upaya peretasan,doxing, atau pembunuhan karakter terhadap media massa, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah. Sebut saja peretasan akun Tempo digital, peretasan ponsel aktivis kebijakan publik Ravio Patra, hingga kriminalisasi aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti karena publikasi kajian ilmiah di akun Youtube.
”Kenyataan ini cukup parah. Bagaimana masyarakat sipil mau membicarakan agenda sosial jika kualitas demokrasi di Indonesia terus mengalami kemerosotan,” ujar Usman.
Ia menyebutkan, penyebab kemerosotan demokrasi di Indonesia adalah adanya hyper-nationalistic atau nasionalisme berlebihan warga negara. Banyak ahli berpandangan, pendekatan pluralisme yang digunakan oleh rezim Jokowi adalah cara yang keras. Contohnya, dalam kasus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu juga karena ada sentimen menguatnya moralitas, termasuk dalam kontestasi politik. Narasi seperti politik identitas, homofobia, hingga persekusi terhadap kelompok rentan LGBT disebut sebagai contoh riil kasusnya.
”Seharusnya ini menjadi wake up call. Bagaimana semua pihak berusaha membendung kemunduran demokrasi ini,” pungkasnya.