Jumlah korban tewas warga sipil bertambah menjadi 11 orang. Dialog pun menjadi kunci penting solusi damai selain klasifikasi wilayah rawan.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
KOMPAS
Jenazah Korban Penembakan KKB Papua di Pulangkan ke Keluarga
JAKARTA, KOMPAS Kecaman terhadap tindakan kelompok kriminal bersenjata yang membunuh 11 warga sipil di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, makin meluas. Pemerintah didorong melakukan upaya pencegahan agar kasus itu tak terulang, mulai dialog politik dengan pihak-pihak yang pro-kemerdekaan Papua hingga membuat klasifikasi berdasarkan situasi keamanan di wilayah tersebut. Klasifikasi wilayah sangat penting agar penanganan konflik bisa lebih terukur dan tak lagi memakan korban.
Sebelumnya, 10 orang tewas dan 2 lainnya terluka akibat serangan KKB pimpinan Egianus Kogoya, akhir pekan lalu. Namun, Senin (18/7/2022), Polda Papua melaporkan adanya penambahan satu korban tewas setelah aksi KKB di Kampung Nogolait sehingga total korban menjadi 11 orang. Insiden ini menambah panjang rangkaian serangan KKB di Papua. Catatan Kompas, sepanjang 2022 sudah terjadi 45 kali serangan KKB di Papua.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangan tertulis mengecam tindak pidana KKB. Ia menyampaikan, aparat keamanan akan memproses insiden tersebut secara cepat dan terukur. Pelakunya juga segera diproses hukum.
”Proses penegakan hukum dan optimalisasi institusi keamanan akan terus dikedepankan untuk menindak siapa pun yang menyebar teror, mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, terlebih menimbulkan korban jiwa,” ujarnya.
KOMPAS
Otak Penembakan di Nduga, Papua Diduga Kelompok Egianus Kogoya
”Proses penegakan hukum dan optimalisasi institusi keamanan akan terus dikedepankan untuk menindak siapa pun yang menyebar teror, mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, terlebih menimbulkan korban jiwa”
Selain mengecam aksi pembunuhan, Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo mengatakan, Kemendagri tengah menyusun peta jalan yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat. Dengan kesejahteraan itu, tak ada lagi kesenjangan sosial, yang dapat memberi ruang gerakan-gerakan kekerasan oleh KKB di Papua.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga mengecam kejadian itu. Dalam peristiwa tersebut, satu dari sepuluh korban meninggal adalah pendeta dari Gereja Kemah Injil Indonesia, Eliaser Baner (54). Sekretaris Eksekutif PGI Henrek Lokra pun meminta pemerintah membentuk tim investigasi independen untuk menginvestigasi secara komprehensif pembunuhan warga sipil di Kampung Nogolait. TNI dan Polri diminta mencegah kemungkinan terulangnya kasus.
ANTARA FOTO/EVARIANUS SUPAR
Keluarga korban mengikuti proses serah terima jenazah korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di hanggar Avco Bandara Moses Kilangin, Timika, Mimika, Papua, Jumat (7/12/2018). Sebanyak sembilan jenazah korban penembakan KKB di Nduga diserahterimakan ke pihak keluarga.
Pendekatan kultural semestinya didorong bersama seluruh elemen masyarakat untuk menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. ”Kami juga mendorong gereja-gereja di Tanah Papua terus melakukan upaya kemanusiaan untuk masyarakat Kampung Nogolait dan sekitarnya,” tambah Lokra.
Dialog politik
Peneliti Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Ruhyanto, menambahkan, serangan KKB yang berulang kali di Papua makin menunjukkan persoalan bukan pembangunan dan kesejahteraan, melainkan politik yang belum terselesaikan hingga kini. Untuk itu, pemerintah didorong menggagas dialog politik dengan pihak-pihak pro-kemerdekaan Papua.
Dialog politik seperti ini pernah terealisasi pada 1999. Saat itu 100 tokoh Papua bertemu Presiden BJ Habibie. Namun, dialog politik belum pernah terjadi lagi hingga sekarang. Sejauh ini, dialog yang ada adalah sektoral di mana pembicaraan hanya soal pelayanan publik, penegakan hukum, dan penyelenggaraan pemerintahan.
AFP/TNI
Dalam foto yang dirilis TNI, menggambarkan tiga orang yang diduga korban selamat dalam peristiwa penembakan pekerja Trans Papua di Nduga, Papua. Foto tersebut diambil pada Selasa (4/12/2018) di Wamena, Papua.
”Mau sampai kapan begini? Kalau tak ada dialog politik, selamanya, ini akan terus terjadi sporadis, meski pemerintah bangun ini dan itu, kelompok yang pegang senjata juga tetap bergerak,” ucap Arie.
”Mau sampai kapan begini? Kalau tak ada dialog politik, selamanya, ini akan terus terjadi sporadis, meski pemerintah bangun ini dan itu, kelompok yang pegang senjata juga tetap bergerak”
Dialog politik jadi kunci penting. ”Kalau sekarang pemerintah melakukan macam-macam inisiatif, seperti pemekaran Papua dan perpanjangan otonomi khusus, itu bukan hasil kesepakatan dengan pihak bertikai. Jadi, mereka tak ada kewajiban menghormati yang dilakukan pemerintah. Justru, mereka merasa makin terdesak, militer makin banyak,” kata Arie.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, pembunuhan di luar hukum terhadap 11 warga sipil di Nduga benar-benar keji dan tidak bisa dibenarkan. Amnesty International pun mendesak aparat mengusut tuntas.
”Saatnya negara menghentikan siklus kekerasan di Papua. Saat ini telah terjadi krisis HAM di Papua di mana hampir setiap hari terjadi kekerasan dengan korban dan pelaku berbagai kelompok,” tutur Usman. Negara harus mengevaluasi pendekatan keamanan.
ANTARA/IWAN ADISAPUTRA
(Ilustrasi) Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Kabupaten Nduga, Papua, Rabu (5/12/2018). Selain mengevakuasi pekerja PT Istaka Karya (Persero) yang pada hari Minggu lalu diserang kelompok kriminal bersenjata ketika mereka sedang membangun jalur Trans-Papua di Nduga, tim gabungan TNI-Polri juga berupaya mengejar pelaku penyerangan.
Peneliti senior di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Vidhyandika Djati Perkasa, menambahkan, daerah otonom baru (DOB) tak bisa jadi solusi utama konflik di Papua karena justru bisa menjadi sumber potensi konflik baru. Apalagi DOB diinisiasi pemerintah dengan fondasi lemah karena kompleksitas masalah tak diselesaikan, khususnya pelanggaran HAM.
"Daerah otonom baru (DOB) tak bisa jadi solusi utama konflik di Papua karena justru bisa menjadi sumber potensi konflik baru. Apalagi DOB diinisiasi pemerintah dengan fondasi lemah karena kompleksitas masalah tak diselesaikan, khususnya pelanggaran HAM
Lebih jauh, Arie melihat, dalam jangka menengah, perlu segera ada resolusi konflik atau penghentian konflik di Papua. Klasifikasi baru perlu dimunculkan agar jika darurat sipil terlalu ekstrem dan tertib sipil dianggap tak sesuai, dibutuhkan kategori lain di antara dua jenis keadaan. Dengan begitu, ada gradasi level keamanan daerah lebih kontekstual dan rinci. ”Itu yang harus dirumuskan, sementara di regulasi belum ada untuk isi kekosongan di antara dua jenis keadaan,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR, Yan Permenas Mandenas, sependapat. Menurut dia, perlu klasifikasi pola penanganan konflik di Papua. Dengan begitu, penetapan kebijakannya lebih tepat sasaran dan terukur.
Ia mengusulkan tiga klasifikasi. Klasifikasi pertama, wilayah rawan konflik, yang ditangani operasi penegakan hukum. Klasifikasi kedua, daerah yang cukup butuh operasi pencegahan keamanan. Klasifikasi ketiga, daerah yang relatif kondusif sehingga pendekatan lebih mengedepankan pembinaan masyarakat dan menjunjung tinggi HAM.