Tak Hanya Dialog, Operasi Penegakan Hukum di Papua Juga Perlu Diintensifkan
Komisi III DPR akan memberikan dukungan politik sepenuhnya terhadap operasi-operasi penegakan hukum di Papua. Sebab, tindakan KKB sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangan kelompok kriminal bersenjata yang menewaskan 10 warga sipil di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, tak hanya tergolong sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tetapi juga gerakan makar serta terorisme terhadap warga sipil dan aparatur pemerintah. Oleh karena itu, selain membuka pintu dialog, pemerintah juga didorong untuk lebih masif melakukan operasi penegakan hukum di ”Bumi Cenderawasih” tersebut.
”Serangan KKB di Papua bukan hanya kejahatan luar biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan berkategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Itu bukan saja berupa tindakan makar, tetapi juga terorisme massal yang dilakukan baik terhadap aparatur keamanan, maupun warga sipil,” kata anggota Komisi III DPR Arsul Sani saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/7/2022).
Setidaknya 10 orang tewas dan 2 orang terluka setelah diserang KKB pimpinan Egianus Kogoya pada Sabtu (16/7/2022). Korban yang tewas itu ialah Yulius Watu, Hubertus Goti, Daeng Marannu, Taufan Amir, Johan, Alexander Faumawan, Yuda Nurusinga, Mahmud, Sirajudin, dan Eliaser Baye. Sementara warga yang terluka ialah Sudirman dan Hasdin.
Melihat kejahatan luar biasa itu, Arsul menegaskan bahwa sudah saatnya Kepolisian Negara RI (Polri) dengan dukungan sepenuhnya dari TNI melakukan operasi-operasi penegakan hukum yang lebih masif terhadap KKB di Papua. Polri dan TNI diharapkan tak ragu ataupun khawatir operasi-operasi penegakan hukum yang tegas tersebut akan dituding sebagai tindakan pelanggaran HAM oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Komisi III sebagai alat kelengkapan DPR yang membidangi hukum, penegakan hukum, HAM, dan keamanan nasional akan memberikan dukungan politik sepenuhnya terhadap operasi-operasi penegakan hukum tersebut.
”Kami akan turut meng-counter terhadap setiap upaya framing bahwa operasi tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik di media, maupun forum nasional, dan internasional. Ini karena perilaku KKB ini faktualnya memang sudah bukan lagi sekadar perjuangan separatis, melainkan sudah masuk pada kejahatan pelanggaran HAM berat karena tidak lagi memilih sasaran militer atau Polri, tetapi juga menyasar warga sipil,” ucap Arsul.
Berdasarkan catatan Kompassejak 1 Januari-16 Juli 2022, telah terjadi 45 serangan oleh KKB di Papua. Serangan terjadi di Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Paniai, Puncak Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, Yalimo, Jayawijaya, dan Deiyai.
Kami akan turut meng-counter terhadap setiap upaya framing bahwa operasi tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik di media, maupun forum nasional, dan internasional. Ini karena perilaku KKB ini faktualnya memang sudah bukan lagi sekadar perjuangan separatis, melainkan sudah masuk pada kejahatan pelanggaran HAM berat.
Serangan mengakibatkan jatuhnya korban, baik dari warga sipil, aparat, maupun KKB. Tercatat, ada 26 warga sipil meninggal dan 26 orang terluka. Dari TNI, tujuh prajurit tewas dan 12 orang terluka. Begitu pula dari Polri, terdapat satu personel tewas dan 2 orang terluka. Sementara dari pihak KKB, korban tewas mencapai tiga orang.
Arsul mengatakan, operasi penegakan hukumnya harus diintensifkan terlebih dahulu. Meski begitu, pintu dialog juga harus tetap dibuka.
Sebenarnya, menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan itu, pemerintah sudah membuka pintu dialog dengan KKB, tetapi tidak disambut baik oleh pihak-pihak tersebut. ”Jadi, pilihannya, menurut saya intensifikasi operasi penegakan hukum yang tegas, tetapi tidak menutup pintu dialog,” tuturnya.
Di luar batas kemanusiaan
Senada dengan Arsul, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komisi Nasional (Komnas) HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan, apa yang dilakukan oleh KKB sudah di luar batas kemanusiaan. Komnas HAM pun mendorong aparat kepolisian dapat menegakkan hukum secara tegas.
”Komnas HAM berkomitmen mendampingi aparat penegak hukum supaya koridor dan tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tepat,” kata Beka.
Pada prinsipnya, Komnas HAM mengecam keras tindakan kekerasan tanpa kemanusiaan yang dilakukan oleh KKB di Nduga. Apalagi, tindakan tersebut sampai mengakibatkan 10 orang tewas dan dua orang mengalami luka berat. ”Tindakan tersebut tidak bisa ditoleransi,” katanya.
Untuk jangka pendek, menurut Beka, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama adalah tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum harus segera mengejar dan menangkap pelaku serangan tersebut serta membawanya ke proses hukum.
Kedua, pemerintah, baik pusat dan daerah, harus bekerja sama dengan aparat keamanan untuk memastikan situasi kondusif. Keamanan warga harus terjamin. Selain itu, upayakan penyembuhan trauma (trauma healing) serta pemenuhan kebutuhan lainnya terhadap keluarga korban dan warga yang terdampak serangan tersebut.
Untuk jangka panjang, Beka menilai, pemerintah harus membangun dialog secara serius supaya siklus kekerasan segera berhenti. Dialog yang selama ini sudah dilakukan berulang kali perlu dievaluasi. Ia menekankan, dialog harus melibatkan pihak-pihak yang selama ini memegang senjata.
”Kenapa ini penting? Karena dampaknya sudah dirasakan lintas generasi. Anak-anak, orang tua, dan perempuan, trauma dengan kekerasan. Karena itu, harus diputus segera,” tuturnya.
Komnas HAM saat ini juga sedang menginisiasi dan mendorong dialog damai Papua. Pada pertengahan Mei 2022 lalu, delegasi Komnas HAM menggelar pertemuan dengan Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michelle Bachelet. Dalam pertemuan tersebut, Komnas HAM menggagas dialog damai Papua. Pihak-pihak yang akan diajak membuka pintu dialog, termasuk kubu-kubu pro-kemerdekaan Papua.
”Pemerintah dan banyak pihak di Papua dan juga PBB mendukung inisiasi Komnas HAM ini,” katanya.
Beka menegaskan, pendekatan kesejahteraan dan pendekatan hukum saja tidaklah cukup untuk menyelesaikan persoalan Papua. Situasi di Papua harus pula ditangani dengan pendekatan berperspektif HAM, misalnya jaminan rasa aman warga, kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk juga perlindungan hak-hak masyarakat adat.