Denda Rp 1 Juta untuk Gelandangan di RKUHP Melanggar Konstitusi
Pasal 429 RKUHP memuat ketentuan, setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum yang mengganggu ketertiban dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I, yakni Rp 1juta.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Draf resmi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dikeluarkan pada 4 Juli 2022 lalu masih memuat ketentuan yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi. Salah satunya, Pasal 429 RKUHP yang mengatur denda paling banyak Rp 1 juta bagi gelandangan yang mengganggu ketertiban umum. Padahal, konstitusi secara tegas mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 34 UUD 1945. Selain itu, konstitusi juga menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan di dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.
”Prinsipnya, hak untuk hidup yang layak, hak untuk mendapatkan perumahan yang layak, lingkungan hidup yang layak, lalu fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara, itu hak konstitusional. Lalu kenapa hak konstitusional yang tidak bisa dipenuhi negara, yang dipidanakan adalah warganya. Terbalik itu,” ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi Universtias Andalas, Padang, Feri Amsari, saat berbincang pada Minggu (17/7/2022).
Pasal 429 RKUHP versi 4 Juli memang memuat ketentuan pidana untuk penggelandangan. Bunyinya, ”Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.” Besaran denda kategori I adalah Rp 1 juta.
Pasal penggelandangan juga diatur di dalam KUHP saat ini, yaitu pada Pasal 505 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP. Hanya, ancaman pidananya berbeda. Pada Pasal 505 Ayat (1) disebutkan, barang siapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencarian diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan. Sementara ayat berikutnya mengatur penggelandangan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas 16 tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan.
Feri mengungkapkan, pasal penggelandangan secara prinsip lahir pada masa kolonial di mana pribumi yang bergelandangan membuat para kolonial tidak nyaman. Karena itu, untuk membersihkan gelandangan yang mengganggu mata dan pandangan mereka, gelandangan dipidana.
”Saat ini, dengan jumlah gelandangan yang lebih banyak, yang dipersalahkan seharusnya negara karena tidak memenuhi tanggung jawabnya. Tetapi saya agak khawatir, perspektif yang digunakan pembentuk undang-undang masih sama dengan cara pandang tuan-tuan dan noni-noni Belanda. Bahwa itu mengganggu pandangan mereka, kenyamanan mereka, sehingga ujungnya konsep pemidanaan,” katanya.
Padahal, tambahnya, yang seharusnya dibangun adalah kesejahteraan para gelandangan tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memastikan bahwa orang-orang sadar mengenai adanya ketimpangan sosial sehingga nantinya diperlukan pembenahan bersama-sama.
Selain itu, Feri juga mengkritik pemidanaan penggelandangan tersebut yang dinilai tidak selaras dengan konsep restorative justice yang menjadi spirit RKUHP. Sebab, restorative justice tersebut semangatnya adalah me-restrore hak-hak semua pihak, termasuk di dalamnya adalah gelandangan. Akan tetapi, RKUHP justru memidana mereka sehingga RKUHP jauh dari gagasan restorative justice yang digadang-gadang oleh pemerintah dan penegak hukum selama ini.
Saat ini, dengan jumlah gelandangan yang lebih banyak, yang dipersalahkan seharusnya negara karena tidak memenuhi tanggung jawabnya. Tetapi, saya agak khawatir, perspektif yang digunakan pembentuk undang-undang masih sama dengan cara pandang tuan-tuan dan noni-noni Belanda. Bahwa itu mengganggu pandangan mereka, kenyamanan mereka, sehingga ujungnya konsep pemidanaan.
Di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, tidak ada ancaman pidana bagi penggelandangan kecuali memasuki wilayah-wilayah khusus (obyek vital nasional) yang dipandang mengancam keamanan negara. Bahkan di depan White House ataupun Trump Tower, ada gelandangan.
”Mereka boleh bermukim, bergelandangan di depan White House. Tetapi, begitu masuk ke wilayah yang mengancam keamanan, tidak boleh. Namun, mereka diberi ruang untuk menyalurkan apa yang dikatakan sebagai hak. Sebab jangan salah, orang bergelandangan itu bukan hanya bicara kemiskinan saja. Ada juga karena ideologi hidupnya. Misalnya kaum hippie, anak-anak punk. Jadi, kalau gaya hidup dipidana, jadi lucu,” kata Feri.
Selain Feri, Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga mengkritik keberadaan Pasal 429 RKUHP tersebut. Penggelandangan, dalam pandangan aliansi, seharusnya cukup diatur secara administratif dalam peraturan daerah dan tidak perlu menjadi bahasan dalam RKUHP. Pengaturan pidana untuk penggelandangan dikhawatirkan justru akan menghambat rencana kerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial dan penanggulangan kemiskinan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Sementara itu, juru bicara Tim Komunikasi RKUHP Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Albert Aries, dalam siaran persnya mengungkapkan bahwa RKUHP memberikan keseimbangan kepentingan negara, masyarakat, dan individu antara perlindungan terhadap pelaku dan korban pidana, serta antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.