Usut Pelanggaran Pidana dan HAM Serangan KKB di Papua
Penyerangan terhadap warga sipil oleh KKB di Nduga merupakan bentuk teror kepada Pemerintah Indonesia. Karena itu, pemerintah harus bersikap jelas, tegas, dan terukur dalam menangani KKB.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangan kelompok kriminal bersenjata di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga, Papua, Sabtu (16/7/2022), mengakibatkan 10 warga tewas dan dua orang sekarat. Serangan itu disebut sebagai serangan mematikan sehingga negara tidak boleh mendiamkan peristiwa tersebut. Investigasi untuk mencari pelaku dan mengusut pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi mutlak untuk segera dilakukan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, serangan yang terjadi di Kabupaten Nduga, Papua, hari ini, merupakan salah satu insiden paling mematikan. Berdasarkan data Polres Nduga, serangan yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) dalam sehari terhadap 12 warga itu mengakibatkan 10 orang tewas dan dua lainnya sekarat.
”Ini tidak boleh didiamkan, negara tetap berkewajiban untuk menginvestigasi pelakunya, untuk kepentingan penegakan hukum,” kata Usman dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Selain penegakan hukum, kata Usman, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa tersebut juga harus diungkap. Oleh karena itu, Komnas HAM perlu segera melakukan penyelidikan.
Berdasarkan catatan Kompas sejak 1 Januari-16 Juli 2022, telah terjadi 45 serangan oleh KKB di Papua. Serangan terjadi di Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Paniai, Puncak Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, Yalimo, Jayawijaya, dan Deiyai.
Serangan mengakibatkan jatuhnya korban, baik dari warga sipil, aparat, maupun KKB. Tercatat, ada 26 warga sipil meninggal dan 26 orang terluka. Dari TNI, tujuh prajurit tewas dan 12 orang terluka. Begitu pula dari Polri, terdapat satu personel tewas dan 2 orang terluka. Sementara dari pihak KKB, korban tewas mencapai tiga orang.
Usman menambahkan, penyelesaian konflik di Papua memerlukan perubahan pola kebijakan yang mendasar. Selama ini, pendekatan keamanan terbukti tidak bisa meredakan eskalasi konflik.
Hanya ada satu cara untuk meredakan konflik Papua, yaitu perundingan damai. Tanpa perundingan damai, konflik akan terus bereskalasi, kekerasan dan pelanggaran HAM juga terus terjadi.
Ditambah lagi dengan adanya pendekatan kebijakan pemerintah pusat yang semakin sentralistik. Hal itu terlihat dari perubahan kedua Undang-Undang Otonomi Khusus dan pembentukan daerah otonom baru (DOB). Begitu juga pelabelan kelompok separatis dan teroris terhadap ekspresi ketidakpuasan lewat tuntutan kemerdekaan Papua, baik yang disampaikan secara damai maupun dengan bersenjata.
”Hanya ada satu cara untuk meredakan konflik Papua, yaitu perundingan damai,” kata Usman. Tanpa perundingan damai, konflik akan terus bereskalasi, kekerasan dan pelanggaran HAM juga terus terjadi.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, mengungkapkan kesedihan dan keprihatinan atas jatuhnya korban akibat serangan KKB di Nduga. Ia berharap, penegakan hukum dilakukan secara serius agar pelaku serangan ini bisa segera ditangkap. ”Aparat penegak hukum harus bekerja all out untuk mencari pelakunya, ” ujarnya.
Menurut Habiburokhman, terlepas dari berbagai isu politik seperti pembentukan DOB dan otonomi khusus Papua, tidak ada alasan pembenaran bagi KKB atau pihak mana pun untuk menembak warga sipil. Ia menyadari, penanganan masalah Papua memang membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Akan tetapi, penegakan hukum merupakan hal paling mendesak untuk dilakukan saat ini.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, M Nasir Djamil, mengatakan, status apa pun yang diterapkan di Papua tidak akan memberikan pengaruh terhadap keamanan dan keselamatan warga yang berdiam di daerah rawan tersebut. Apalagi, sikap pemerintah terhadap KKB belum sepenuhnya jelas.
”Meskipun sudah dilabeli sebagai organisasi teroris, sikap dan pendekatan pemerintah terhadap KKB masih abu-abu alias tidak jelas. Dibilang soft approach tidak juga, dibilang hard approach juga tidak,” tuturnya.
Anggota DPR asal Aceh itu pun mempertanyakan sikap pemerintah, khususnya TNI dan Polri, untuk mengakhiri keganasan dan kebiadaban KKB. Sebab, penyerangan terhadap warga sipil oleh KKB di Nduga merupakan bentuk teror kepada Pemerintah Indonesia.
Menurut dia, teror yang dilancarkan KKB tidak ada kaitannya dengan perubahan atau revisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua. Tidak pula terkait dengan pemekaran wilayah yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
”Karena itu sikap yang jelas, tegas, dan terukur sangat dibutuhkan untuk melindungi nyawa warga yang akan menjadi sasaran pembunuhan oleh KKB,” tutur Nasir.
Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua Komisaris Besar Faisal Ramadhani membenarkan adanya insiden di Kampung Nogolait. Penyerangan terhadap warga sipil itu dilakukan oleh KKB pimpinan Egianus Kogoya pada pukul 09.15 WIT.
Dari 12 orang yang diserang, semula terdapat sembilan korban tewas dan satu orang terluka. Berselang beberapa jam setelahnya, korban tewas bertambah menjadi 10 orang, dan dua lainnya terluka.
Setelah insiden tersebut, aparat penegak hukum menetapkan status keamanan Kenyam pada level siaga satu atau tingkat kesiagaan tertinggi. Satuan Tugas Damai Cartenz disebut telah diturunkan untuk menghadapi kelompok tersebut.