Sebelum Pengesahan, Buka Ruang Partisipasi Publik
Dewan Pers meminta pemerintah membuka kembali ruang partisipasi publik yang bermakna dan seluas-luasnya. "Carry over" atau lungsuran jangan dipakai sebagai alasan pembenaran.
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Pers dan konstituennya meminta pembentuk Undang Undang untuk membuka ruang partisipasi publik bermakna sebelum mengesahkan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP). Berdasarkan kajian dari Dewan Pers, masih ada setidaknya sembilan pasal di RKUHP yang berpotensi mengekang kebebasan pers. Pemerintah menyebut ruang partisipasi publik masih terbuka.
Dewan Pers bersama sejumlah konstituennya yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyatakan kekhawatirannya terhadap sejumlah pasal di RKUHP, Jumat (15/7/2022).
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, Dewan Pers mengikuti perkembangan RKUHP sejak lama. Di Dewan Pers juga terdapat tim yang khusus mengkaji soal pasal-pasal yang dianggap mengancam kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat. Keberatan Dewan Pers sebenarnya juga sudah pernah disampaikan pada tahun 2017 lalu. Namun, ternyata, melihat draf RKUHP terbaru, substansinya tak banyak berubah. Apa yang diusulkan oleh Dewan Pers dianggap tak diserap dalam rancangan legislasi tersebut.
“Pemerintah beralasan karena itu adalah rancangan undang-undang carry over (luncuran) yang sudah dibahas oleh anggota DPR sebelumnya. Sehingga tidak ada perubahan, dan malah justru bertambah jumlah pasalnya. Menurut Dewan Pers, RKUHP ini justru jauh lebih berbahaya dan berpotensi untuk memberangus kebebasan pers,” terang Azyumardi.
“Pemerintah beralasan karena itu adalah rancangan undang-undang carry over (luncuran) yang sudah dibahas oleh anggota DPR sebelumnya. Sehingga tidak ada perubahan, dan malah justru bertambah jumlah pasalnya. Menurut Dewan Pers, RKUHP ini justru jauh lebih berbahaya dan berpotensi untuk memberangus kebebasan pers”
Sembilan pasal yang dianggap mengancam oleh Dewan Pers di antaranya adalah pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara; Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 240-241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah; Pasal 246 dan 248 tentang Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum; Pasal 263-264 tentang Tindak Pidana Penyiaran dan Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.
Adapun pasal lainnya, Pasal 280 tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; Pasal 302-304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan; Pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara; Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan, Pencemaran Nama Baik; dan Pasal 437 serta 443 tentang Tindak Pidana Pencemaran.
Azyumardi menyebut, Pasal 188 RKUHP melarang pers untuk mempublikasikan hal-hal yang berbau komunisme, marxisme, dan leninisme. Hanya kajian ilmiah atau akademik yang diperbolehkan, tetapi tak boleh diimplikasi di media massa. Siapapun yang mempublikasikan bisa diancam pidana dua tahun penjara. Ancaman pidana bertambah apabila publikasi tersebut menimbulkan kegaduhan atau kerusuhan.
Selain itu, media massa juga dilarang menyiarkan berita-berita yang belum teruji kebenarannya. Jika berita ditulis tak sesuai fakta, jurnalis dan medianya bisa dikenai sanksi bidana. Apalagi, jika tulisan itu menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Selain itu, media juga tidak boleh memberikan kritik yang tidak disertai dengan solusi. Ini dikhawatirkan akan membelenggu pers yang berperan sebagai kekuatan check and balances pemerintahan.
“Keberadaan pasal-pasal ini justru menjadikan jurnalis sebagai obyek delik pidana dan kriminalisasi. Rumusan pasalnya pun tidak jelas sehingga berpotensi menjadi pasal karet seperti di Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memakan banyak korban,” kata Azyumardi.
“Keberadaan pasal-pasal ini justru menjadikan jurnalis sebagai obyek delik pidana dan kriminalisasi. Rumusan pasalnya pun tidak jelas sehingga berpotensi menjadi pasal karet seperti di Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memakan banyak korban”
Oleh karena itu, Dewan Pers meminta agar pembentuk UU kembali mengkaji RKUHP dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait. Dewan Pers menyadari keberadaan pasal yang kontroversial lebih sedikit dibandingkan pasal-pasal yang lainnya. Namun, ini tetap harus didiskusikan ulang agar tidak membahayakan demokrasi ke depan.
Ikuti aturan main
Anggota Dewan Pers Ninik Rahayu juga mengingatkan agar proses pembentukan UU KHUP mengikuti aturan main di UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, pembentuk UU juga harus mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji formil UU Cipta Kerja. Putusan itu menyebutkan pembentukan UU harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Partisipasi publik bermakna artinya harus menyerap seluas-luasnya aspirasi publik. Setelah itu, pembentuk UU juga harus menjelaskan mengapa aspirasi tersebut bisa diakomodir atau tidak.
“Saya rasa tidak berlebihan jika pasal-pasal ini diasumsikan bisa mengkriminalisasi tidak hanya insan pers tetapi juga warga negara untuk berpartisipasi dalam tata kelola pemerintahan yang akuntabel, dan transparan. Saya mengajak semua pihak kembali membuka ruang diskusi RKUHP ini. Karena tidak ada demokrasi jika tidak melibatkan dunia pers,” jelas Ninik.
Ketua AJI Sasmito Madrim menegaskan Dewan Pers dan konstitutennya tidak menolak RKUHP. Namun, pers menolak pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers. Pers mendukung semangat pembaharuan KUHP. Namun, pasal-pasal yang masih memuat semangat kolonialisme dan mereduksi demokrasi jangan sampai dipertahankan. Jika memang semangatnya untuk pembaruan hukum pidana, sudah sepantasnya pasal yang mengancam pers itu dihapus.
“Penolakan kami tak berasal dari ruang yang hampa. Tahun 2017-2019 lalu, Dewan Pers sudah mendorong agar pasal-pasal yang berkaitan dengan etika pers dihapuskan. Karena itu cukup diatur di kode etik wartawan. Ternyata, sampai sekarang pasal itu masih eksis”
“Penolakan kami tak berasal dari ruang yang hampa. Tahun 2017-2019 lalu, Dewan Pers sudah mendorong agar pasal-pasal yang berkaitan dengan etika pers dihapuskan. Karena itu cukup diatur di kode etik wartawan. Ternyata, sampai sekarang pasal itu masih eksis,” ujar Sasmito.
Pasalnya tak digunakan
“Perlu diketahui bahwa di pembahasan tingkat pertama di DPR tahun 2019 lalu. Seluruh Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari RKUHP sudah selesai dibahas. Tidak pernah ada poin-poin yang menjadi keberatan seperti disampaikan oleh Dewan Pers”
Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP dari pemerintah Albert Aries menjelaskan, ruang partisipasi publik masih dibuka, terutama adalah untuk 14 isu krusial yang sudah disosialisasikan oleh pemerintah sebelumnya. Masukan publik di luar isu krusial itu juga tetap akan ditampung. Namun, pada prinsipnya, ruang diskusi hanya dibatasi pada 14 krusial, karena RKUHP adalah rancangan undang-undang dengan mekanisme luncuran. Saat ini, pembahasan RKUHP di DPR memang sedang terhenti karena DPR sedang dalam masa reses.
Baca Juga: 24 Pasal di RKUHP Dinilai Bentuk Kriminalisasi Berlebihan
“Perlu diketahui bahwa di pembahasan tingkat pertama di DPR tahun 2019 lalu. Seluruh Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari RKUHP sudah selesai dibahas. Tidak pernah ada poin-poin yang menjadi keberatan seperti disampaikan oleh Dewan Pers,” terang Albert.
Albert menegaskan bahwa pasal-pasal yang dipermasalahkan oleh Dewan Pers sebenarnya sudah ada sejak lama. Tidak pernah ada preseden pasal-pasal itu digunakan untuk menjerat pers. Justru jika pasal ini dihapuskan, menurutnya, akan ada ruang kekosongan hukum untuk menindak orang yang melanggar aturan pasal tersebut. Misalnya, terkait dengan tindak pidana yang mengancam ideologi negara. Pasal tersebut sudah ada di UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab UU Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Pasal tersebut, kata Albert, tak pernah digunakan untuk menindak pers.
“Insan pers adalah bagian dari demokrasi. Selama yang dilakukan oleh pers adalah wujud sarana kontrol, tentu tidak akan bisa dipidana dengan KUHP,” tegas Albert. (DEA)