Jelang Pemilu, Tantangan Menjaga Loyalitas Para Menteri Kian Berat
Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya menyatakan, jelang Pemilihan Umum 2024, Presiden Joko Widodo akan dihadapkan pada problem loyalitas dari para menterinya. Akibatnya, kinerja pemerintah bisa terbengkalai.
JAKARTA, KOMPAS — Jelang Pemilihan Umum 2024, Presiden Joko Widodo akan dihadapkan pada problem loyalitas dari para menterinya. Menteri berlatar belakang partai politik akan lebih sibuk mengurusi partainya sehingga pekerjaan mengelola negara rentan terbengkalai. Jika itu terjadi, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah akan turun. Kewibawaan Presiden pun menjadi taruhannya. Untuk itu, jika terulang lagi menteri yang bermanuver, Presiden diharapkan bersikap tegas dengan mengganti menteri tersebut.
Sebelumnya, Presiden Jokowi kembali memperingatkan para menteri untuk fokus menjalankan tugas dan pekerjaan masing-masing guna mengatasi kesulitan rakyat. Hal ini dilontarkan Presiden Jokowi menanggapi kegiatan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam program PAN-sar Murah di Bandar Lampung, Sabtu (9/7/2022). Saat itu, Zulkifli yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional mengajak para ibu yang hadir untuk memilih putrinya, Futri Zulya Savitri. Sebelum ini, pada 2020, Presiden sudah dua kali meminta menterinya fokus bekerja.
Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (14/7/2022), mengatakan, fenomena di atas merupakan konsekuensi dari pilihan Jokowi yang lebih fokus pada akomodasi politik di periode keduanya ini. Ini menyebabkan momentum perombakan kabinet pada 16 Juni lalu yang mulai mengakomodir PAN justru terasa antiklimaks. Seharusnya, perombakan kabinet itu dianggap bisa menjadi tata ulang kinerja. Namun, kemudian yang terjadi justru menjadi momentum untuk memperkuat barisan koalisi semata.
Baca Juga: Teguran Presiden Dianggap Perlu Guna Perbaikan Kinerja Para Menteri
Hal tersebut sebenarnya sah-sah saja karena merupakan pilihan politik Presiden. Akan tetapi, jangan sampai justru mengorbankan kinerja pemerintahan. Sebab, tuntutan situasi eksternal saat ini semakin berat dengan adanya perang Rusia-Ukraina dan itu membutuhkan penanganan yang luar biasa.
Ini menyebabkan momentum perombakan kabinet pada 16 Juni lalu yang mulai mengakomodir PAN justru terasa antiklimaks. Seharusnya, perombakan kabinet itu dianggap bisa menjadi tata ulang kinerja. Namun, kemudian yang terjadi justru menjadi momentum untuk memperkuat barisan koalisi semata.
Selain itu, di sisa masa waktu pemerintahan Jokowi yang akan selesai pada 2024 dan tidak bisa maju kembali, problem utama yang biasa dihadapi adalah loyalitas dan fokus kinerja di lingakaran pemerintahannya.
”Karena kita tahu, libido politik dari partai politik atau sosok ketua umum ini biasanya menjadi lebih besar dibanding di masa pemilu, tetapi presiden masih bisa maju kembali. Jika presiden masih bisa maju kembali, loyalitas mereka akan lebih terjaga,” tutur Yunarto.
Problem loyalitas juga pernah terjadi di periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, partai-partai yang menjadi bagian dari koalisi pemerintahan justru mendukung hak angket mafia pajak dan hak angket Bank Century.
Tingkat kepuasan publik itu hanya bisat tercipta dengan kinerja baik, bukan koalisi yang besar.
Situasi semacam ini, tutur Yunarto, harus disadari Jokowi. Satu-satunya yang bisa membuat Jokowi bertahan dengan kewibaaan politik adalah tingkat kepercayaan atau kepuasan publik. ”Tingkat kepuasan publik itu hanya bisat tercipta dengan kinerja baik, bukan koalisi yang besar,” ucapnya.
Indikator kerja
Untuk itu, menurut Yunarto, Presiden harus menyudahi agenda prioritas penguatan koalisi untuk menambah kekuatan di parlemen. Presiden harus mulai fokus pada hal lain yang bersifat kualitatif.
Caranya, Presiden memberikan indikator yang lebih ketat dan lebih keras kepada para menterinya, terutama yang berlatarbelakang parpol, agar memenuhi target kerja dan agenda prioritas. Selain itu, Presiden juga patut mengingatkan pula kepada mereka untuk bisa membagi waktu sebagai seorang pembantu presiden sekaligus kapasitas mereka sebagai petinggi partai.
Yunarto meyakini, jika Presiden mulai menggunakan indikator yang lebih ketat terkait kinerja, hal itu bisa menjadi cambuk bagi para menterinya, baik yang berasal dari kalangan nonparpol maupun kalangan parpol. Para menteri dari kalangan parpol pun akan merasa bahwa tak ada jaminan mereka tidak dicopot meski mempunyai partai.
”Presiden jangan ragu untuk berani melakukan reshuffle berikutnya, tetapi betul-betul didasarkan pada variabel kinerja. Karena kalau tidak, potensi tergerusnya tingkat kepuasan publik malah semakin muncul di sisa waktu terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi. Dan, kalau itu terjadi, sebesar apa pun koalisi yang ia bangun, itu tidak akan bisa menyelamatkan kewibawaannya, legacy, atau legitimasinya,” ucap Yunarto.
Presiden jangan ragu untuk berani melakukan reshuffle berikutnya, tetapi betul-betul didasarkan pada variabel kinerja. Karena, kalau tidak, potensi tergerusnya tingkat kepuasan publik malah semakin muncul di sisa waktu terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi. Dan, kalau itu terjadi, sebesar apapun koalisi yang ia bangun, itu tidak akan bisa menyelamatkan kewibawaannya, legacy, atau legitimasinya.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, sependapat dengan Yunarto terkait pentingnya Presiden membuat indikator kinerja yang jelas bagi para menterinya. Jika kinerja menterinya biasa-biasa saja di tengah tantangan bangsa yang kian berat, apalagi Menteri tersebut sudah mempunyai rekam jejak memanfaatkan posisi untuk kepentingan politik keluarga, ini seharusnya sudah menjadi catatan berat.
”Bukan tidak mungkin, kalau kinerja terimbas bahkan menurun, masih ada waktu untuk reshuffle lagi. Karena, kan, itu yang harus dilakukan untuk menjaga kedisplinan kabinet agar tidak terus ada manuver-manuver yang tidak perlu. Intinya adalah ketegasan berdasarkan parameter yang jelas,” tutur Firman.
Terlepas dari itu, menurut Firman, semua tentu kembali kepada kedewasaan masing-masing para menteri dalam memaknai posisinya. Seharusnya, mereka berperan sebagai negarawan. Namun, itu saja tidak cukup. Kesadaran itu juga harus dibangun dalam mekanisme internal kabinet. Dalam rapat-rapat kabinet, Presiden perlu terus-menerus mengingatkan dan menegaskan apa yang diinginkan sebagai kepala pemerintahan dan memberikan peringatan terhadap menteri yang sudah bertindak menyimpang dari kerjanya.
”Sejauh tidak ada satu ketegasan dari Presiden, saya kira, itu akan menjadi semakin liar. Karena memang, manuver politik menteri itu tidak bisa dibilang melanggar hukum, tidak ada aturannya. Lebih kepada moral dan etika. Makanya, kita berharap kepada Pak Presiden lebih tegas lagi dalam mengontrol Menteri-menterinya,” kata Firman.
Sejauh tidak ada satu ketegasan dari Presiden, saya kira, itu akan menjadi semakin liar. Karena memang, manuver politik menteri itu tidak bisa dibilang melanggar hukum, tidak ada aturannya. Lebih kepada moral dan etika. Makanya, kita berharap kepada Pak Presiden lebih tegas lagi dalam mengontrol Menteri-menterinya.
Jika Presiden tidak tegas dan manuver politik dari para menterinya itu terus terjadi, ia meyakini masyarakat juga semakin tidak puas dengan kinerja pemerintahan. Apalagi, saat ini, masyarakat dihadapkan pada kondisi yang tidak mudah.
”Kalau sudah begini, akan ada catatan yang bisa dikutip oleh masyarakat untuk menjadi landasan mengapa mereka menjadi kurang puas dengan kinerja pemerintah saat ini, yakni ada menteri yang memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan politik pribadi,” tutur Firman.
Situasi yang tidak biasa
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko seusai memantau langsung tahap seleksi wawancara untuk calon peserta Sekolah Staf Presiden di Gedung Krida Bhakti, Jalan Veteran 3, Jakarta Pusat, Kamis ini, menegaskan bahwa instruksi Presiden Jokowi yang meminta para menterinya fokus bekerja sudah sangat jelas. Hal itu pun telah disampaikan Presiden berulang kali.
”Bukan hanya kemarin, tetapi jauh sebelumnya, Presiden selalu menegaskan bahwa situasi sekarang adalah situasi yang tidak biasa,” ujar Moeldoko.
Bukan hanya kemarin, tetapi jauh sebelumnya, Presiden selalu menegaskan bahwa situasi sekarang adalah situasi yang tidak biasa.
Menurut Moeldoko, situasi global seperti krisis pangan dan energi yang dihadapi saat ini harus disikapi secara luar biasa karena sangat mempengaruhi kondisi dalam negeri. ”Untuk itu, Presiden selalu menekankan para menteri harus concern untuk memberikan pelayanan kepada publik,” katanya.
Untuk itu, Presiden selalu menekankan para menteri harus concern untuk memberikan pelayanan kepada publik.
Ketika ditanya apakah Presiden Jokowi sudah menegur Zulkifli, Moeldoko enggan berkomentar. ”Saya tidak berbicara perorangannya, tetapi lebih pada penekanan Presiden kepada seluruh menteri,” ujarnya.
Tentang kemungkinan adanya kembali perombakan kabinet, Moeldoko mengajak semua pihak menunggu keputusan Presiden. ”Sekali lagi itu otoritas Presiden, kapannya dan siapanya itu nanti kita tunggu saja,” ujar Moeldoko.
Menanggapi persoalan menteri yang bermanuver politik dan terindikasi menyalahgunakan jabatan, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hendrawan Supratikno, mengatakan, para menteri harus memahami etika sebagai pejabat negara. ”Ilmu tahu diri harus dikuasai atau ditingkatkan, jangan hanya ilmu lupa diri dan ilmu bela diri,” ujarnya.
Baca Juga: Peringatan Presiden Jokowi untuk Para Menteri
Ia juga mengingatkan agar Presiden lebih tegas dan lugas terhadap para menteri. Porsi retorika manajerial harus dikurangi. ”(Menteri) yang menyimpang dari visi misi presiden dipersilakan parkir atau minggir,” ujar Hendrawan.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Mabruri mengatakan, teguran Presiden terhadap menterinya yang bermanuver politik sudah tepat. Hal itu memang sudah seharusnya dilakukan.
Memasuki tahun politik, tidak bisa dimungkiri, fokus para menteri terutama yang berasal dari partai politik berpotensi terpecah. Tidak hanya mengurus pekerjaan utamanya di kementerian, tetapi juga berbagai hal terkait pemenangan pemilu.
Untuk memastikan pemerintahan tetap berjalan efektif, kata Mabruri, Presiden harus mengevaluasi kabinetnya. Semua menteri harus fokus pada penyelesaian persoalan masyarakat, terutama terkait stabilitas harga bahan pokok. ”Kalau stabilitas ekonomi parah, bisa terjadi krisis politik,” ujarnya.
Menurut Mabruri, persoalan kerja menteri yang tidak fokus pada bidangnya masing-masing tidak bisa diselesaikan sekadar dengan merombak kabinet. Apalagi jika pengganti menteri diambil dari parpol, bukan dari ahli. ”Kalau orang politik lagi, ya, fokusnya pasti pada kepentingan politik masing-masing,” katanya.