Dewas KPK Harapkan Lili Hadir dalam Sidang Etik Besok
Dewan Pengawas KPK sudah bersurat kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli sebagai terperiksa terkait pemberitahuan agenda sidang etik yang berlangsung Senin (11/7/2022). Lili diharapkan menghadiri sidang pemeriksaan itu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang etik dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar dijadwalkan digelar pada Senin (11/7/2022). Dewan Pengawas KPK diharapkan berkoordinasi dengan Ketua KPK Firli Bahuri agar membebastugaskan Lili sementara agar bisa menghadiri sidang etik tersebut. Sebab, sebelumnya Lili tak menghadiri sidang karena bertugas di luar kota.
Sidang etik untuk mendengar keterangan Lili selaku terperiksa sedianya digelar pada Selasa (5/7/2022). Lili tak bisa hadir dengan alasan sedang menjalankan tugas menjadi penanggung jawab pertemuan G20 Anti-Corruption Working Group di Bali yang membahas upaya pemberantasan korupsi di dunia. Dewas KPK sudah menjadwalkan ulang sidang etik untuk perkara Lili itu pada Senin.
Lili dilaporkan menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, Maret lalu. Gratifikasi itu diduga diberikan oleh salah satu badan usaha milik negara, PT Pertamina (Persero) (Kompas, 7 Juli 2022).
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat dihubungi, Minggu (10/7/2022), mengatakan, Dewas KPK seharusnya juga berkoordinasi dengan Ketua KPK Firli Bahuri untuk membebastugaskan Lili agar dapat hadir dalam sidang etik Dewas KPK. Kehadiran Lili esok, menurut Kurnia, sangat bergantung pada disposisi Firli.
Namun, jika Lili tetap mangkir, lanjutnya, Dewas KPK bisa tetap memproses sidang etik tersebut. Menurut dia, seharusnya Dewas sudah memiliki cukup bukti untuk memproses dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili.
”Dewas bisa terus melanjutkan proses sidang etik itu dengan melakukan agenda lain terlebih dahulu. Kami rasa Dewas sudah punya cukup bukti untuk membuktikan perbuatan pelanggaran etik itu,” kata Kurnia.
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK), Syamsuddin Haris, membenarkan bahwa sidang etik Lili sudah dijadwalkan pada Senin. Dewas juga sudah bersurat kepada terperiksa untuk pemberitahuan agenda sidang.
Namun, menurut dia, tidak ada keharusan bagi Dewas KPK untuk berkoordinasi dengan pimpinan KPK untuk memanggil terperiksa untuk sidang etik. Jika terperiksa dua kali mangkir tanpa alasan yang sah, majelis bisa melakukan sidang etik tanpa kehadiran terperiksa.
Adapun Pasal 7 Ayat (4) Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK disebutkan; ”dalam hal terperiksa tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka terperiksa dianggap telah melepaskan haknya untuk membela diri dan sidang dilanjutkan tanpa kehadiran terperiksa”. Sementara itu, di Pasal 7 Ayat (5) disebutkan; ”Dalam hal terperiksa tidak hadir karena alasan yang sah, majelis dapat menentukan hari lain untuk menyelenggarakan sidang".
Kurnia berharap, Dewas KPK bisa bersikap tegas dalam sidang etik terhadap Lili kali ini. Sanksi tegas berupa rekomendasi pemberhentian secara tidak hormat, menurut dia, layak dijatuhkan kepada Lili. Sebab, ini merupakan pelanggaran kali ketiga yang dilakukannya.
Pertama, pada Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena menyalahgunakan pengaruh sebagai pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Lili terbukti berhubungan dengan pihak yang beperkara, yaitu Wali Kota Tanjungbalai Syahrial. Kedua, Lili terbukti berbohong saat konferensi pers pada April 2021 terkait komunikasinya dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Meski terbukti berbohong, Lili tak diadili oleh Dewas KPK. Kemudian, pada tahun 2022, Lili dilaporkan menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.
”Sanksi berat sudah selayaknya dijatuhkan kepada Lili. Sesuai dengan Peraturan Dewas KPK, Dewas KPK bisa memberikan rekomendasi agar Lili bisa mundur sebagai pimpinan KPK. Itu berlaku dalam jangka waktu 14 hari sejak putusan etik dibacakan,” kata Kurnia.
Selain itu, sanksi pemberhentian juga diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 32 UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK dapat berhenti atau diberhentikan karena melakukan perbuatan tercela. Pelanggaran etik, untuk ketiga kalinya, menurut Kurnia masuk kategori perbuatan tercela. Oleh karena itu, Dewas bisa menyurati Ketua KPK untuk merekomendasikan pemberhentian Lili.
”Apalagi, dimensi dalam perbuatan menerima akomodasi dan tiket menonton MotoGP Mandalika ini tidak hanya pelanggaran etik, tetapi juga pidana gratifikasi. Sanksi yang dijatuhkan harusnya tegas karena pelanggaran yang dilakukan sangat berat,” kata Kurnia.
Marwah lembaga
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, sekaligus aktivis antikorupsi, Feri Amsari, berpandangan, kehadiran atau ketidakhadiran Lili besok seharusnya tidak menghambat jalannya persidangan. Sesuai konsep persidangan, ketidakhadiran terperiksa selama tiga kali berturut-turut, majelis bisa langsung mengambil keputusan.
Namun, dia berharap, dalam perkara ini publik bisa mengetahui proses dan hasil persidangan, terutama terkait separah apa pelanggaran yang dilakukan, bukti-bukti selama persidangan, sebelum akhirnya dijatuhkan putusan etik. Senada dengan Kurnia, Feri juga sepakat jika sanksi etik dalam dugaan pelanggaran kali ini seharusnya sangat berat. Sebab, ini adalah pelanggaran etik kali ketiga yang dilakukan oleh wakil ketua KPK tersebut.
”Kalau melanggar sampai tiga kali dan merugikan marwah KPK, ini membuat pimpinan KPK itu tidak lagi dipercayai di mata publik. Seharusnya dia layak diberhentikan. Standar etik KPK itu seharusnya lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga lain yang bukan penegak hukum,” kata Feri.
Feri berpendapat, pimpinan KPK mensyaratkan kepribadian yang memiliki integritas dan moral etik yang kuat. Namun, sayangnya, tindakan pimpinan KPK saat ini justru mendegradasi marwah kelembagaan KPK.
Ketua KPK Firli Bahuri dijatuhi sanksi etik karena menggunakan fasilitas mewah naik helikopter carter untuk keperluan pribadi, sementara Lili untuk kesekian kalinya dilaporkan karena dugaan pelanggaran etik. Menurut dia, Dewas KPK harus melindungi dan menegakkan marwah KPK. Bukan justru menjadi lembaga untuk melindungi pimpinan KPK.
”Jangan sampai Dewas jadi lembaga yang hanya berani memberikan sanksi ringan ketika ada pimpinan KPK yang melanggar etik. Dewas harus berani menjatuhkan putusan yang bermakna terhadap kasus Lili ini,” kata Feri.
Feri menyebut, putusan Dewas KPK ini seharusnya bisa menyelamatkan marwah KPK. Jangan sampai marwah dan kepercayaan publik terhadap KPK terus tergerus karena pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinannya. Menurut dia, rekam jejak pimpinan KPK sudah dapat terbaca dalam seleksi uji kepatutan dan kelayakan.
Dalam kasus Lili, setelah terpilih menjadi pimpinan KPK, dia sudah dua kali melakukan syukuran di kampung halamannya yang dihadiri oleh forum pimpinan daerah. Hal itu sebenarnya sudah bisa menjadi indikasi negatif potensi konflik kepentingan dalam wewenangnya sebagai wakil ketua KPK.
”Sanksi tegas terhadap kasus Lili ini penting untuk memperlihatkan niat berubah memperbaiki marwah KPK ke depannya sehingga publik berharap sanksi yang dijatuhkan harus sangat berat,” kata Feri.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan KPK menghormati seluruh proses di Dewas KPK sebagaimana tugas dan kewenangan yang diatur di Pasal 37B UU KPK. ”KPK meyakini, setiap tahapan dilakukan secara profesional sesuai fakta dan penilaian Dewas. Hasilnya pun akan disampaikan kepada masyarakat sebagai prinsip akuntabilitas dan transparansi,” kata Ali seperti dikutip di Kompas (5/7/2022).
Ali juga menegaskan, penegakan kode etik oleh Dewas adalah bagian untuk memperkuat pemberantasan korupsi KPK. Karena itu, proses yang sedang berlangsung di Dewas harus dihormati.