Pasal tentang penyerangan atas harkat dan martabat presiden atau wakil presiden di dalam RKUHP bersifat delik aduan. Meskipun delik aduan, pasal itu tetap dipandang berpotensi membatasi hak kebebasan berekspresi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Mereka mendesak Presiden dan DPR untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta membahas RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna.
JAKARTA, KOMPAS — Pasal tentang penyerangan atas harkat dan martabat presiden atau wakil presiden di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana bersifat delik aduan. Apabila presiden atau wakil presiden mau mengadu, maka bisa diproses hukum. Ketentuan delik aduan ini juga berlaku bagi lembaga negara lain terkait dengan pasal tentang penghinaan.
Pada Pasal 218 Ayat (1) RKUHP disebutkan, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Di dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri merupakan merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengungkapkan, dari sisi yuridis, di dalam KUHP terdapat pasal tentang penghinaan terhadap kepala negara dan kepala pemerintahan negara lain yang berkunjung ke Indonesia bisa dituntut pidana.
Oleh karena itu, ahli hukum pidana menyampaikan, tidak logis kalau menghina atau menyerang martabat dan kehormatan kepala negara atau pemerintahan lain yang sedang berkunjung ke Indonesia bisa dihukum. Namun, menyerang, menghina, atau menista kepala negara atau presiden dan wakil presiden negara sendiri tidak dihukum.
”Itu perdebatan-perdebatan yang ada di pembahasan,” kata Arsul dalam diskusi bertajuk ”Orientasi RKUHP dalam Sistem Hukum Indonesia” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Sabtu (9/7/2022).
”Ketika kami sedang di internal, ya, sudah kalau begitu pasal ini ada, tetapi ini harus kita rumuskan, kita tata ulang. Yang jelas supaya tidak bertabrakan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Yang pertama, menata ulangnya adalah dengan menggeser sifat delik ini dari delik biasa menjadi delik aduan,” kata Arsul menambahkan.
Oleh karena itu, kata Arsul, apabila presiden atau wakil presiden mau mengadu, kemungkinan bisa diproses hukum. Namun, apabila presiden menanggapinya hanya dengan tertawa, tidak akan ada proses hukum pidana. Menurut Arsul, seringnya presiden dan wakil presiden mengadu atau tidak akan berhubungan dengan kredibilitas mereka.
Apabila presiden atau wakil presiden mau mengadu, kemungkinan bisa diproses hukum. Namun, apabila presiden menanggapinya hanya dengan tertawa, tidak akan ada proses hukum pidana.
Arsul menegaskan, ketentuan delik aduan ini juga berlaku untuk lembaga negara lain tentang pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum. Semuanya sudah diubah dari delik biasa menjadi delik aduan.
Adapun kritik tidak akan dipidana. Arsul mengatakan, pada bagian penjelasan terdapat perbedaan antara kritik dengan penistaan dan penghinaan. Bagian ini masih perlu diperbaiki karena belum memuaskan publik. Karena itu, ruang publik dibuka untuk memberikan masukan terhadap isi pasal ataupun bagian penjelasan.
Dengan dibuka ruang publik tersebut, kekhawatiran bahwa sebuah pasal menjadi pasal karet bisa direduksi dan diminimalkan sedemikian rupa.
”Ini yang sebetulnya kami di Komisi III pada masa sidang yang akan datang menunggu dari berbagai cerdik pandai, dari berbagai elemen masyarakat sipil,” kata Arsul.
Menurut Analis Kebijakan Ahli Madya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mimin Dwi Hartono, pasal tentang penyerangan atas harkat dan martabat presiden atau wakil presiden berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi. Padahal, hak tersebut dilindungi UUD 1945 dan hak sipil serta politik.
Oleh karena itu, pasal tersebut perlu disikapi. Sebab, kata Mimin, pejabat negara harus memiliki akuntabilitas atas setiap kritik yang disampaikan masyarakat. Ia merekomendasikan agar pasal tersebut merujuk pada Standar Norma dan Pengaturan (SNP) HAM tentang hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Ia menjelaskan, di dalam SNP diatur bagaimana bentuk ekspresi yang bisa dibatasi, tetapi tidak boleh sewenang-wenang. Legalitasnya harus kuat dan proporsional. Jangan sampai pembatasan berekspresi ini akan merugikan masyarakat dan mengganggu iklim demokrasi.
Analis Kebijakan Ahli Madya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Mimin Dwi Hartono
Mimin menegaskan, muatan hukum di dalam RKUHP harus jelas dan pasti, dapat diakses dan diprediksi oleh subyek hukum, dan penerapannya bersifat umum.
”Dalam hal prosedur pembentukan muatan hukum atau tindakan hukum, partisipasi masyarakat merupakan elemen penting dalam negara hukum,” ujarnya.
Peneliti hukum dan HAM LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Milda Istiqomah, mengatakan, pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.
Milda menegaskan, pasal tentang penghinaan ini juga berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi.
Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum sebab sangat rentan pada tafsir apakah suatu protes pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden.
Milda menegaskan, pasal tentang penghinaan ini juga berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi. Ketiga pasal pidana tersebut selalu digunakan aparat hukum terhadap momen-momen unjuk rasa di lapangan.
Peneliti hukum dan HAM LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Milda Istiqomah
”Kebutuhan akan pembaruan hukum pidana sangat tinggi. Namun, asas, prinsip hukum pidana dan pasal-pasal krusial perlu diatur secara komprehensif dan menyeluruh,” kata Milda.