PKS Minta ”Presidential Threshold” Diturunkan, Perludem Memandang Perlu Revisi UU Pemilu
PKS mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu terkait dengan ambang batas pencalonan presiden ke MK. Alasannya, agar lahir lebih banyak calon presiden dan mengurangi polarisasi di masyarakat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Keadilan Sejahtera meminta Mahkamah Konstitusi memutuskan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold sebesar 7-9 persen. Permohonan dinilai sulit dikabulkan karena besaran angka merupakan kebijakan hukum terbuka sehingga lebih ideal diajukan melalui revisi Undang-Undang Pemilu.
Pendaftaran uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera dan Ketua Dewan Syura PKS Salim Segaf Al’Jufrie, Rabu (6/7/2022). Mereka ingin syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur sebesar 20 persen kursi di DPR diturunkan menjadi 7-9 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Presiden PKS Ahmad Syaikhu mengatakan, berdasarkan kajian tim hukum PKS, hingga saat ini tidak ada kajian ilmiah terkait besaran angka presidential threshold 20 persen. Sementara angka yang rasional dan proporsional berdasarkan hasil kajian mereka adalah pada interval 7-9 persen. Dasar perhitungan angka tersebut dituangkan dalam permohonan gugatan.
”Oleh karena itu, kami memohon kepada MK untuk memutuskan inkonstitusional bersyarat terhadap ketentuan Pasal 222 UU Pemilu,” ujarnya.
Syaikhu menuturkan, tim hukum PKS telah mengkaji tidak kurang dari 30 permohonan uji materi terkait presidential threshold yang pernah diajukan ke MK. PKS kemudian mengikuti alur pemikiran MK yang menyebutkan bahwa angka presidential threshold ini sebagai open legal policy atau kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
”PKS sepakat dengan argumen ini. Namun, open legal policy seharusnya disertai dengan landasan rasional dan proporsional agar tidak bertentangan dengan UUD 1945,” katanya.
Tim hukum PKS telah mengkaji tidak kurang dari 30 permohonan uji materi terkait presidential threshold yang pernah diajukan ke MK.
Menurut Syaikhu, ada tiga alasan PKS mengajukan uji materi presidential threshold ke MK. Pertama, PKS menjadi penyambung lidah rakyat yang menginginkan adanya perubahan aturan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Keputusan tersebut diambil setelah PKS bertemu dan mendengarkan aspirasi masyarakat untuk menolak aturan tersebut,
Kedua, PKS ingin memperkuat sistem demokrasi dan membuka peluang lebih banyak lahirnya calon presiden dan calon wakil presiden terbaik pada masa-masa yang akan datang. Oleh sebab itu, angka 20 persen yang menjadi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden harus diturunkan. Terakhir, PKS ingin mengurangi polarisasi di tengah masyarakat akibat hanya ada dua kandidat capres dan cawapres.
”Semoga permohonan judicial review ini dapat dikabulkan agar rakyat Indonesia dapat memilih presiden dan wakil presiden terbaik yang mampu membawa Indonesia adil dan sejahtera sesuai cita-cita para pendiri bangsa,” tutur Syaikhu.
Secara terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengatakan, sulit menemukan besaran angka presidential threshold yang ideal. Sebab, tidak ada formula yang rasional dalam menentukan angka karena memang tidak ada rumusan angka yang ideal.
Menurut dia, logika yang dibangun oleh pembentuk UU dalam menentukan angka presidential threshold hanya agar presiden-wakil presiden yang dicalonkan memiliki basis kekuatan politik yang kuat di parlemen. Namun, angka 20 persen itu sangat mudah dibantah karena bisa saja kelompok lawan politik memiliki kekuatan yang lebih dominan. Apalagi setelah penetapan presiden-wakil presiden, komposisi parpol pendukung pemerintah biasanya bertambah.
Di sisi lain, lanjut Fadli, MK pun dalam beberapa putusan menilai angka presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka. Ia pun meyakini MK tidak akan memutuskan sampai ke angka seperti yang diminta PKS. ”Untuk memutus perlu atau tidak presidential threshold saja MK menyebutkan sebagai open legal policy, apalagi masuk ke angka,” ujarnya.
Menurut Fadli, angka presidential threshold lebih ideal jika diubah melalui revisi UU Pemilu. PKS sebagai parpol di parlemen bisa mengusulkan revisi dan membangun kekuatan politik agar mampu menurunkan angka presidential threshold. Jalur melalui MK akan lebih sulit dibandingkan merubah UU Pemilu karena diajukan oleh parpol yang ikut membuat UU tersebut.
Ia menilai, presidential threshold sebaiknya dihilangkan seperti negara-negara lain yang menganut sistem presidensial. Adapun syarat sebaiknya cukup mengenai syarat keterpilihan yang sudah diatur di UUD 1945, yakni dipilih 50 persen plus 1. ”Presidential threshold justru menjebak parpol serta capres-cawapres dalam praktik politik transaksional jangka pendek,” kata Fadli.