Menkumham Yasonna H Laoly menyampaikan, UU Pemasyarakatan yang baru ini diharapkan bisa mewujudkan keadilan restoratif; Memperkuat sistem pemasyarakatan yang menganut konsep reintegrasi sosial.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Kamis (7/7/2022). RUU ini diharapkan dapat menyelesaikan berbagai masalah di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, salah satunya terkait kelebihan kapasitas penghuni.
Wakil Ketua DPR Pangeran Khairul Saleh dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 mengatakan, ada sejumlah kelemahan dan persoalan hukum yang kini masih dihadapi sistem pemasyarakatan. Misalnya, tingginya angka kelebihan penghuni (over crowded) di hampir seluruh lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan), serta kurang layaknya fasilitas, sarana, dan prasarana.
Pangeran juga melihat, pengawasan terhadap peredaran barang-barang ilegal juga masih lemah. Sistem keamanan dan pengawasannya pun tidak berjalan optimal. Selain itu, ada urgensi untuk melakukan reorientasi sistem pemasyarakatan dalam menjamin dan menghormati hak warga binaan.
”Oleh karena itu, RUU tentang Pemasyarakatan ini dibutuhkan untuk menjawab sejumlah persoalan tersebut dan menegaskan kembali peran dan kedudukan sistem pemasyarakatan dalam mendukung pencapaian tujuan dari penegakan hukum sebagaimana dalam sistem peradilan pidana terpadu,” ujar Pangeran.
Rapat paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel. Turut hadir dalam rapat tersebut Ketua DPR Puan Maharani, Wakil Ketua Lodewijk F Paulus, dan Sufmi Dasco Ahmad. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly juga hadir mewakili pemerintah.
Dalam rapat paripurna tersebut, semua fraksi di DPR menyepakati agar RUU Pemasyarakatan disahkan menjadi UU. Sebelumnya, RUU ini batal disahkan dalam rapat paripurna pada September 2019 karena muncul penolakan dari masyarakat. Masyarakat sipil menilai, jika RUU Pemasyarakatan disahkan, akan mempermudah pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa, seperti koruptor. Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak pengesahan RUU tersebut di rapat paripurna kala itu.
Kala itu, publik mengkritisi RUU Pemasyarakatan karena meniadakan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana dengan jenis kejahatan luar biasa. Namun, pada akhir Oktober 2021, PP itu dicabut oleh Mahkamah Agung.
Dalam rapat paripurna tersebut, semua fraksi di DPR menyepakati agar RUU Pemasyarakatan disahkan menjadi UU.
Terkait dengan remisi tersebut, pada Rabu (6/7/2022) Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Golkar Adies Kadir telah mengingatkan bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Pasal 14 Ayat 1 huruf i UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan, tak ada lagi persoalan di dalam RUU Pemasyarakatan. Dengan putusan itu, MK berpandangan, semua narapidana memiliki hak untuk mendapatkan remisi. ”Jadi, tidak ada lagi hal yang menjadikan alasan untuk menghalangi RUU Pemasyarakatan ini tidak segera kita sahkan,” ujar Adies.
Lebih lanjut disampaikan Pangeran, ada beberapa substansi yang diatur dalam RUU Pemasyarakatan yang baru disahkan ini. Pertama, penguatan posisi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu. Kedua, pembaruan asas dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan didasarkan pada asas pengayoman, nondiskriminasi, dan kemanusiaan.
Ketiga, pengaturan tentang fungsi pemasyarakatan yang mencakup tentang pelayanan, pembinaan, pembimbingan, kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan pengamatan. Keempat, pengaturan mengenai kode etik dan kode perilaku petugas pemasyarakatan, serta jaminan perlindungan hak petugas pemasyarakatan untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kelima, pengaturan mengenai kewajiban sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan, termasuk sistem teknologi informasi dalam pemasyarakatan. Keenam, pengaturan tentang pengawasan terhadap penyelenggaraan fungsi pemasyarakatan.
Pidana terpadu
Yasonna H Laoly menyampaikan, pemasyarakatan merupakan salah satu bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu. Artinya, terdapat satu tatanan mengenai arah dan batas, serta metode pelaksanaan fungsi pemasyarakatan secara terpadu antara petugas pemasyarakatan, tahanan, anak, warga binaan, dan masyarakat.
Fungsi pemasyarakatan yang dimaksud meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Hal ini sesuai dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Dengan demikian, menurut Yasonna, pemasyarakatan tidak lagi hanya pada tahap akhir dari sistem peradilan pidana. Namun, sudah bekerja sejak dimulainya proses peradilan pidana.
”UU (Pemasyarakatan) ini dibentuk untuk memperkuat sistem pemasyarakatan di Indonesia, yang dengan UU No 12/1995 telah menganut konsep reintegrasi sosial, sebagai pengganti dari konsep pembalasan dan penjeraan,” kata Yasonna.
Menurut Yasonna, pemasyarakatan tidak lagi hanya pada tahap akhir dari sistem peradilan pidana. Namun, sudah bekerja sejak dimulainya proses peradilan pidana.
Selain itu, lanjut Yasonna, UU Pemasyarakatan yang baru ini juga diharapkan memperkuat terwujudnya konsep keadilan restoratif yang dianut dalam sistem peradilan anak, serta pembaruan hukum pidana nasional.