Transparansi Dana Partai Politik, Mungkinkah?
Partai politik didorong agar transparan dan akuntabel dalam melaporkan dana yang dikelola. Namun, pelaporan tersebut dinilai hanya bersifat formalitas belaka. Di sisi lain, pembentukan partai membutuhkan biaya besar.
Ketergantungan partai politik pada elite atau konglomerasi tertentu ditengarai menyebabkan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana oleh partai politik sangat minim. Padahal, sebagian besar praktik korupsi terkait dengan pendanaan politik yang melibatkan partai politik.
Di sisi lain, insentif negara bagi partai politik masih rendah. Saat ini, untuk partai politik di tingkat pusat yang mendapatkan kursi di DPR memperoleh dana bantuan partai politik sebesar Rp 1.000 per suara sah.
Pemberian dana bantuan parpol yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko berpandangan, banyaknya masalah atau praktik korupsi yang muncul karena terkait dana politik, baik itu dana kampanye legislatif, dana kampanye eksekutif, maupun dana partai politik (parpol). Selama ini, parpol mendapatkan dana bukan hanya dari negara, tetapi juga dari masyarakat, anggota, hingga pihak yang berperan sebagai donor. Masalahnya, masuknya dana dari pihak tertentu juga sekaligus membawa berbagai kepentingan.
”Ini menjadi persoalan karena minim transparansi. Kalo dicek di website parpol, transparansi dan akuntabilitas dana parpol diterjemahkan sebagai audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara dana yang lain tidak (dilaporkan),” kata Danang dalam seminar ”Pendanaan Politik oleh Negara, Tantangan Akuntabilitas dan Keterbukaan Keuangan Partai Politik” yang diselenggarakan Transparency International Indonesia (TII), Rabu (6/7/2022), di Jakarta.
Untuk mendorong agar partai semakin transparan dan bekerja dengan baik, lanjut Danang, perlu tambahan insentif dari negara. Hal itu pernah dikaji oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tiga tahun lalu.
Baca Juga: Politik Uang Merusak Demokrasi di Indonesia
Dari penelitian KPK dan LIPI terhadap lima parpol, disimpulkan bahwa bantuan keuangan partai sebesar Rp 1.000 per suara sah masih sangat jauh dari kebutuhan partai. Sementara, idealnya negara membiayai 50 persen dari kebutuhan partai.
Dari kajian tersebut, pada Pemilu 2019 parpol rata-rata mengeluarkan uang sebesar Rp 16.922 untuk mendapatkan satu suara. Jika 50 persen dari kebutuhan parpol menjadi tanggungan negara, jumlah bantuan dana bagi parpol sebesar Rp 8.461.
Regulasi yang mengatur pengawasan maupun audit juga tidak jelas oleh siapa, dengan biaya dari mana. Oleh karena itu, audit seolah menjadi inisiatif masing-masing parpol, bukan kewajiban.
Namun, tambahan insentif dari negara tersebut memerlukan dukungan APBN. Di sisi lain, ada pihak-pihak yang ternyata tidak setuju jika bantuan negara ke parpol semakin besar. ”Ada rekan dari parpol yang bilang, ya, dibantu 50 persen saja. Jadi malah tidak menerima untuk dibantu sepenuhnya. Ada kekhawatiran peran mereka akan digantikan oleh negara karena sahamnya di parpol berkurang atau terdelusi,” tutur Danang.
Selain itu, kata Danang, ketentuan yang mengatur mengenai dana parpol tersebar di beberapa regulasi. Tidak hanya itu, regulasi yang mengatur pengawasan maupun audit juga tidak jelas oleh siapa, dengan biaya dari mana. Oleh karena itu, audit seolah menjadi inisiatif setiap parpol, bukan kewajiban.
Baca Juga: Ketimpangan dan Korupsi Menyandera Demokrasi Indonesia
Anomali
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpandangan, persoalan transparansi dan akuntabilitas parpol relevan untuk diangkat. Sebab, parpol memiliki peran sentral yang besar karena pemilu presiden, wakil rakyat di tingkat pusat maupun daerah, serta berbagai lembaga negara tidak lepas dari peran parpol.
Namun, survei terhadap lembaga demokrasi menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap parpol berada di nomor buntut. ”Anomalinya muncul, di satu sisi perannya sentral dan menentukan, tetapi kepercayaan publik konstan rendah,” kata Titi.
Anomali berikutnya, menurut Titi, elite parpol selalu mengeluh tentang politik berbiaya tinggi atau mahalnya ongkos politik. Namun, di sisi lain, parpol selalu mampu membiayai kegiatan yang membutuhkan dana besar untuk unjuk diri parpol. ”Misalnya, pada pemilihan kepala daerah tahun 2020, ada yang melaporkan dana kampanye sampai selesai pilkada hanya Rp 38 juta. Apakah betul dana kampanye hanya Rp 38 juta?” ujar Titi.
Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi adalah adanya kekuatan modal besar yang menyokong pendanaan parpol. Di sisi lain, laporan dana kampanye juga sekadar basa-basi atau formalitas belaka. Sementara itu, tidak ada lembaga pengawas dana politik dan tidak maksimalnya mekanisme sanksi administratif.
Baca Juga: Potret Buram Demokrasi Indonesia
Oleh karena itu, kata Titi, pihaknya mengusulkan agar alokasi dana bagi parpol diperkuat. Usulan itu juga didasari dari praktik yang dilakukan negara lain, seperti di Jerman, parpol dibiayai negara sampai 30 persen. Sementara di Kanada, pemerintah memberikan insentif pengurangan pajak dan insentif bagi parpol untuk meminta penggantian atas dana yang telah dikeluarkan berdasarkan perolehan suara yang didapat.
Tidak hanya itu, penguatan alokasi dana bagi parpol perlu dibarengi dengan pengawasan yang ketat. Untuk itu perlu ada lembaga khusus yang mengawasinya, entah dibentuk lembaga baru atau dari lembaga yang sudah ada.
Dana parpol
Dalam kesempatan itu, Direktur Politik Kementerian Dalam Negeri Syarmadani mengatakan, pemerintah menyadari bahwa biaya politik yang terlalu tinggi akan menimbulkan jebakan pragmatisme berupa korupsi. Hal itu tampak dari banyaknya kader parpol yang ditangkap karena kasus korupsi. Sejak 2004 sampai 2021, terdapat 739 terdakwa kasus korupsi yang separuh lebih merupakan kader parpol.
Sejauh ini, iuran anggota untuk memenuhi kebutuhan parpol bukan sesuatu yang mudah. Oleh karena itu, pemerintah sudah memikirkan untuk menaikkan dana bantuan keuangan bagi parpol.
"Tahun 2023 ada kenaikan. Semangatnya bukan untuk mendukung kontestasi (Pemilu 2024) semata, harapannya adalah parpol melakukan pendidikan internal maupun eksternal sehingga kader yang maju memiliki pemahaman yang baik," kata Syarmadani.
Sejauh ini, iuran anggota untuk memenuhi kebutuhan parpol bukan sesuatu yang mudah.
Di sisi lain, Syarmadani juga mengingatkan agar publik juga tidak bersikap pragmatis dengan memaklumi jika terjadi politik uang atau transaksi politik. Sebab, transaksi politik tersebut akan berdampak pada politik berbiaya tinggi. Syarmadani pun berharap agar dengan naiknya dana bantuan bagi parpol, maka transparansi dan akuntabilitas parpol juga meningkat.
Baca juga: Ubah Paradigma Penanganan Politik Uang
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik berpandangan, party ID atau derajat kedekatan warga dengan parpol yang terus menurun akan menjadi tantangan bagi demokrasi di Indonesia dalam menghimpun dana publik. Sebab, pendanaan parpol menjadi representasi kesadaran politik masyarakat.
Menurut Idham, dana kampanye yang akuntabel dan transparan merupakan bagian dari integritas elektoral. Itu sebabnya, pemberian dana kampanye dibatasi untuk menjaga agar semua parpol berada pada tataran yang sama meski yang terjadi di lapangan bisa berbeda. "Mudah-mudahan ke depan kami bisa mendorong transparansi dana kampanye," kata Idham.
Namun demikian, Titi mengingatkan bahwa upaya untuk memperbaiki internal partai tidak hanya dari sektor keuangan partai. Sebab, sistem kepartaian saat ini memang mahal. Hal itu tampak dari pembentukan partai yang membutuhkan biaya besar.
Faktor yang juga membuat biaya politik mahal adalah sistem pemilu di Indonesia. Untuk mengurai dilema keuangan di tubuh parpol, mesti dilakukan pula perbaikan terhadap sistem pemilu. Sementara, biaya politik semakin mahal karena kemudian diisi pemilik modal. Akibatnya, terjadi politik dinasti yang minus kaderisasi.
Pada akhirnya, mendorong transparansi dan akuntabilitas parpol terkait dana yang dikelolanya bukan satu hal mudah. Sebab, hal itu berkelindan dengan banyak hal lain yang juga menuntut penyelesaian secara bersamaan.
Maka, sebagaimana ditulis dalam "Kuasa Uang, Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru" (Burhanuddin Muhtadi, 2019), jual beli suara marak terjadi sejak sistem pemilu proporsional terbuka diadopsi tahun 2009. Hal itu seperti membuka kotak pandora politik uang secara masif dalam sistem demokrasi. Akibatnya, akuntabilitas lembaga-lembaga demokrasi dan representasi kebijakan di Indonesia memburuk. Bagaimana menurut Anda?