Pemerintah Akan Membina dan Mengawasi Tiga DOB Papua Selama Tiga Tahun
Kemenko Polhukam telah mengidentifikasi dan membuat skenario untuk mengantisipasi konflik yang mungkin terjadi pasca-pembentukan DOB baru di Papua. Potensi konflik itu antara lain penentuan ibu kota Papua Tengah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah memitigasi potensi konflik yang muncul akibat pembentukan tiga daerah otonom baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Kementerian Dalam Negeri akan melakukan pembinaan dan pengawasan DOB selama tiga tahun. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan juga terus berkomunikasi dengan elite lokal Papua untuk meminimalkan potensi konflik.
Hal itu terungkap dalam diskusi ”Pemekaran sebagai Resolusi Konflik” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada secara daring, Rabu (6/7/2022). Narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOD Kementerian Dalam Negeri Valentinus Sudarjanto Sumito, Asisten Deputi Koordinasi Otonomi Khusus Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Brigadir Jenderal TNI Danu Prionggo, Ketua Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Cendrawasih Basir Rohrohmana, Guru Besar Fisipol UGM Purwo Santoso, dan Deputi Jaringan Damai Papua Bidang Politik dan Pemerintahan Pares L Wenda.
Valentinus memaparkan, Kemendagri juga terus mengawal pasca-pemekaran wilayah dan implikasinya terhadap perbaikan tata kelola Papua. Menurut dia, pemerintah pusat melakukan pemekaran wilayah dengan tujuan percepatan peningkatan kesejahteraan orang asli Papua (OAP). Pemerintah juga ingin memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintahan, pemerataan pembangunan, dan pembinaan masyarakat khusus untuk OAP. OAP diberi ruang partisipasi yang lebih tinggi, membuka lapangan pekerjaan, mengurangi kriminalitas, membuka keterisolasian wilayah, hingga memperkokoh Papua sebagai bagian dari NKRI.
Namun, masyarakat yang kontra terhadap kebijakan pemekaran ini berpendapat bahwa DOB akan membuka keran migrasi penduduk dalam jumlah besar ke Papua. Dampaknya, OAP akan semakin termarjinalisasi, terancam stigmatisasi, pandangan negatif, dan pemberontakan.
”Banyak hal yang harus kami lakukan terkait antisipasi pembentukan DOB itu. Misalnya, pembentukan majelis rakyat Papua (MRP), pengisian DPR Papua, penetapan daerah pemilihan (dapil) pemilu yang setidaknya membutuhkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau revisi UU Pemilu,” tutur Valentinus.
Kemendagri juga akan melakukan pengalihan aset dan dokumen, penyusunan tata wilayah, alokasi cipta kondisi, dan lain-lain. Pembinaan dan pengawasan terhadap daerah otonom baru itu dirancang selama tiga tahun. Kemendagri akan memberikan asistensi selama tiga tahun lamanya.
Untuk pembentukan organisasi perangkat daerah (OPD), Kemendagri juga telah menetapkan 1.050 personel per provinsi. Penjabat kepala daerah di tiga provinsi, baik di Papua Selatan, Papua Tengah, maupun Papua Pegunungan, juga sudah dipanggil untuk duduk bersama-sama. Mereka diundang untuk menentukan lokasi ibu kota, aset wilayah, dan sebagainya. Terkait anggaran, sesuai dengan UU DOB Papua, juga akan sepenuhnya didukung oleh APBN. Provinsi lain atau kabupaten kota bisa memberikan dana hibah jika ada kemampuan fiskalnya.
”Walaupun dalam perjalanannya masih ada kekurangan seperti penetapan ibu kota di wilayah Papua Pegunungan. Pemerintah dituntut untuk lebih serius melihat dengan mata terbuka untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Yang jelas, pemekaran ini bertujuan untuk mempercepat pelayanan publik di Papua,” terang Valentinus.
Brigjen TNI Danu Prionggo menjelaskan, Kemenko Polhukam telah mengidentifikasi dan membuat skenario untuk antisipasi konflik yang mungkin terjadi pasca-pembentukan DOB baru. Menurut dia, potensi konflik yang diantisipasi itu adalah aspirasi masyarakat Pegunungan Bintang yang menginginkan untuk tetap ikut provinsi induk Papua. Sebab, ada kekerabatan antara masyarakat dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di wilayah Pegunungan Bintang.
Selain itu, juga ada polemik penentuan ibu kota Papua Tengah antara Nabire dan Mimika. Potensi KKB melakukan kontak senjata di wilayah Kabupaten Mimika ada kemungkinan terjadi. Di samping itu, juga ada potensi unjuk rasa penolakan-penolakan dari kelompok yang kontra kebijakan pemekaran wilayah terutama yang berseberangan dengan Negara Kesatuan RI (NKRI).
Potensi konflik lainnya yang mungkin terjadi adalah dampak dari pengisian jabatan politik dan pemerintahan. Misalnya, pengisian penjabat gubernur, DPRD provinsi, dan pengisian aparatur sipil negara (ASN) di provinsi baru. Arus migrasi ke Papua sebagai konsekuensi pemilihan ibu kota provinsi baru juga dipertimbangkan. Pemilihan ibu kota provinsi baru bisa memicu migrasi penduduk untuk bekerja yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial masyarakat.
Potensi konflik lainnya yang mungkin terjadi adalah dampak dari pengisian jabatan politik dan pemerintahan. Misalnya, pengisian penjabat gubernur, DPRD provinsi, serta pengisian aparatur sipil negara (ASN) di provinsi baru.
Pemerintah juga mengantisipasi konflik kepemilikan tanah untuk penyediaan fasilitas perkantoran, dan kantor urusan pemerintahan bagi ibukota baru. Pengadaan lahan ini bisa menimbulkan permasalahan apabila tidak dituntaskan dengan benar. ”Kami sudah memetakan sejumlah langkah pengelolaan potensi konflik akibat pemekaran wilayah,” kata Danu Prionggo.
Langkah yang akan dilakukan pemerintah itu, di antaranya komunikasi politik dengan elite politik lokal untuk menerima kebijakan pemekaran wilayah, komunikasi kepada masyarakat, penekanan kepada aparat untuk melakukan tindakan preemtif dan preventif dalam penanganan aksi massa, serta tindakan represif untuk menjaga dan melindungi kepentingan masyarakat yang lebih besar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemerintah juga akan melakukan koordinasi dan sinkronisasi antara kementerian dan lembaga, dan pemprov untuk memenuhi jabatan ASN. Terakhir, pemerintah juga akan melakukan pendekatan kultur kepada masyarakat melalui pemerintah daerah Kabupaten Nabire, Jayawijaya, dan Merauke untuk penuntasan hak ulayat.
Basir Rohrohmana mengatakan, pemekaran wilayah bukanlah hal baru bagi Papua. Sejak 1962, sebelum Papua bersatu dengan NKRI sampai dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dan rezim otonomi khusus selalu terjadi pemekaran wilayah. Dampak pemekaran wilayah itu juga menampilkan dampak konflik yang tidak sama dari waktu ke waktu. Hal itu lantaran dinamika yang terjadi di masyarakat Papua juga berkembang.
Sebelumnya, kebijakan pemekaran wilayah di Papua didasarkan pada aspek antropologis dan etnografi, yaitu berdasarkan tujuh wilayah adat. Pemetaan tujuh wilayah adat itu telah dilakukan sejak pemerintah kolonial Belanda berdasarkan karakteristik, geografis, dan kesukuan. Tujuh wilayah adat itu adalah Bomberay, Domberay, Meepago, La Pago, Anim Ha, Tabi/Mamta, dan Saireri.
Namun, menurut Basir, saat ini situasi Papua tidak bisa hanya dilihat dari aspek tersebut. Seluruh wilayah di Papua memiliki irisan wilayah adat yang luar biasa. Hal itu, di antaranya Meepago dan Saireri, ada irisan yang bisa menjadi wilayah adat baru. Di wilayah itu, sudah ada peleburan antarsuku dan antarfamili sehingga ekses akibat pembentukan tiga DOB baru, yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, harus diantisipasi.
”Ada kekhawatiran yang harus kita sikapi dengan serius. Potensi konflik lanjutan atas pembentukan tiga DOB baru ini jelas ada. Karena ada kelompok yang kontra terhadap kebijakan itu. Selain itu, juga karena Papua sekarang tidak bisa dilihat semata dari pemetaan tujuh wilayah adat,” terang Basir.
Basir juga menekankan agar pemerintah tidak menggunakan paradigma lama untuk memitigasi potensi konflik di Papua. Riak-riak penolakan seperti wilayah Pegunungan Bintang yang tidak mau masuk Provinsi Papua Pegunungan. Pendapat dari warga harus didengarkan. Jangan sampai kebuntuan komunikasi justru menjadi pemantik konflik.