Lili Pintauli Tidak Hadir, Sidang Etik Ditunda Pekan Depan
Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi gagal menggelar sidang etik terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, Selasa (5/7/2022), karena Lili tidak hadir.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang kode etik perdana terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar yang sedianya digelar pada Selasa (5/7/2022) ini diputuskan untuk ditunda. Dewan Pengawas KPK memutuskan menjadwal ulang sidang etik pada Senin (11/7/2022) karena Lili sedang berada di Bali untuk mengikuti G20 Anti-Corruption Working Group. Penundaan sidang etik lantaran ketidakhadiran Lili menunjukkan buruknya koordinasi dalam penyusunan jadwal di KPK.
”Ditunda sampai tanggal 11 Juli karena yang bersangkutan tidak hadir di sidang,” kata anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Albertina Ho, saat dihubungi dari Jakarta seusai memutuskan penundaan persidangan.
Dewas KPK telah mengagendakan sidang etik perdana terhadap Lili yang diduga telah menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dari sebuah perusahaan milik negara pada Selasa (5/7/2022). Namun, Lili tidak menghadiri persidangan tersebut karena mengikuti pertemuan G20 Anti-Corruption Working Group di Bali.
Sebelum persidangan, Albertina mengatakan, sejauh ini Dewas KPK sudah melakukan klarifikasi terhadap sejumlah pihak. Dewas sudah membuat laporan hasil klarifikasi dan pemeriksaan pendahuluan sehingga diputuskan perkara Lili dilanjutkan ke sidang etik.
Klarifikasi salah satunya dilakukan kepada Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati pada 27 April 2022. Namun, Dewas KPK belum memeriksa Lili karena yang bersangkutan tidak hadir dalam sidang.
Sampai berita ini diturunkan, Lili ataupun Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri belum memberikan keterangan. Sebelumnya, Ali Fikri menegaskan, KPK menghormati seluruh proses di Dewas sebagaimana tugas dan kewenangannya diatur dalam Pasal 37B Undang-Undang KPK. Menurut dia, penegakan kode etik oleh Dewas adalah bagian untuk memperkuat pemberantasan korupsi KPK. Karena itu, proses yang sedang berlangsung di Dewas harus dihormati.
Secara terpisah, mantan Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang berpandangan, ketidakhadiran Lili menunjukkan buruknya koordinasi dalam penjadwalan di KPK. Saut mengungkapkan, ketika ia masih menjadi pimpinan KPK, jadwal dan agenda pimpinan KPK dikoordinasikan oleh sekretaris pimpinan.
Acara G20 Anti-Corruption Working Group (ACWG) di Bali, lanjut Saut, memang penting. Akan tetapi, sidang etik lebih penting karena menyangkut bangsa Indonesia. ”Hal yang dibahas di G20, Ibu Lili mengatakan transparansi dan integritas. Bagaimana bicara integritas dan transparansi, sedangkan dia sedang diperiksa di Dewas KPK?” ujarnya.
Oleh karena itu, seharusnya Lili lebih memprioritaskan sidang etik. Saut menduga Lili telah melakukan pelanggaran etik berat. Sebab, dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK ditegaskan bahwa pimpinan KPK harus memelihara integritas.
Di dalam Pasal 4 Perdewas 2/2020 juga ditegaskan, setiap insan KPK dilarang menerima gratifikasi. Bahkan, insan KPK juga dilarang menggunakan point atau manfaat dari program frequent flyer, point rewards, atau sejenisnya yang diperoleh dari pelaksanaan perjalanan dinas untuk ditukarkan dengan tiket pesawat, barang, dan/atau voucer guna kepentingan pribadi. Selain itu, pimpinan KPK juga tidak boleh bertemu dengan pihak yang sedang beperkara seperti yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Jika melakukan pelanggaran berat lagi, maka seharusnya Lili diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK. Bahkan, dalam kasus pertama, Lili seharusnya dijatuhi hukuman untuk mengundurkan diri karena sanksi berat terdiri atas pemotongan gaji dan mengajukan pengunduran diri.
Jika melanggar, maka diberi sanksi berat. Jika merujuk pada Pasal 10 Perdewas 2/2020, sanksi berat bagi pimpinan KPK berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen gaji selama 12 bulan dan diminta mengundurkan diri sebagai pimpinan.
Saut menceritakan, saat menjadi pimpinan KPK, ia menghindari pertemuan dengan menteri meskipun itu kegiatan keagamaan. Sebab, ia direkomendasikan oleh pengawas internal untuk menghindari konflik kepentingan.
Penerimaan gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika ini pun dinilai sarat dengan konflik kepentingan. Sebab, sejak Oktober 2021, KPK telah melanjutkan penyidikan perkara dari Kejaksaan Agung terkait dengan penyalahgunaan kewenangan dalam kebijakan pengelolaan gas alam cair atau LNG Portofolio di PT Pertamina (Persero).
Menurut Saut, Dewas mempunyai argumentasi hukum yang tinggi. Pada kasus pertama, Dewas KPK menyatakan Lili terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Lili berkomunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Pada kasus ini, Lili dijatuhi sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.
Jika melakukan pelanggaran berat lagi, kata Saut, seharusnya Lili diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK. Bahkan, dalam kasus pertama, Lili seharusnya dijatuhi hukuman untuk mengundurkan diri karena sanksi berat terdiri atas pemotongan gaji dan mengajukan pengunduran diri.
Saut menambahkan, pimpinan KPK yang telah melakukan pelanggaran berat tidak bisa hanya mundur begitu saja, lalu kasusnya selesai. Ia harus diproses secara hukum, bahkan oleh KPK sendiri. Sebab, KPK bisa mengadili kasus gratifikasi.