Pemerintah Kaji Bentuk Payung Hukum Pemilu akibat Pemekaran Papua
Pemerintah selaku pembentuk undang-undang masih mempertimbangkan bentuk payung hukum apa yang akan dibuat untuk merespons dampak pembentukan tiga daerah otonom baru di Papua terhadap Pemilu 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan) memberikan pandangan pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (RUU DOB) Papua kepada Ketua DPR Puan Maharani (tengah) dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR diminta segera menerbitkan payung hukum revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau peraturan pemerintah pengganti UU sebagai payung hukum dampak elektoral akibat pembentukan tiga daerah otonom baru di Papua. Masih ada waktu sekitar tiga bulan untuk menentukan bentuk payung hukum di antara dua pilihan itu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD kepada wartawan, Senin (4/7/2022), mengatakan, pemerintah selaku pembentuk UU masih mempertimbangkan bentuk payung hukum apa yang akan dibuat untuk merespons dampak pembentukan tiga daerah otonom baru (DOB) di Papua. Hal-hal yang dipertimbangkan pemerintah, di antaranya terkait teknis keterisian wakil legislatif di tingkat pusat dan daerah pemekaran berdasarkan hasil pemilu.
”Itu saja yang pokok. Yang lain-lain biasanya muncul sendiri pada saat yang pokok sudah disepakati,” ujar Mahfud melalui keterangan tertulis.
Ditemui di ruang kerjanya, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), August Mellaz, mengatakan, sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024, penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan (dapil) adalah 14 Oktober 2022-9 Februari 2023. Jika merujuk pada tahapan itu, ada tenggat waktu tahapan penetapan jumlah kursi dan dapil ketika menerbitkan revisi UU Pemilu atau Perppu.
”Sekarang itu masih tahap pembicaraan awal (soal revisi UU Pemilu atau Perppu). Tentu kami berharap aspek-aspek teknis tahapan pemilu dan tenggat waktunya dipertimbangkan. Jika ditanya, kami akan sampaikan kepada DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat (RDP) PKPU pendaftaran, verifikasi, dan penetapan parpol peserta pemilu yang dijadwalkan 6 Juli nanti,” kata August.
August menerangkan, keberadaan tiga DOB baru di Papua akan berdampak pada empat hal, yaitu penataan dapil, pemutakhiran daftar pemilih, struktur penyelenggara, dan anggaran. Apalagi, secara anggaran, perencanaan yang dibuat oleh KPU belum bisa menjangkau dampak-dampak tersebut.
Secara penganggaran, KPU belum menjangkau itu. Namun, secara prinsip KPU menunggu hasil proses yang dilakukan pembentuk UU. (August Mellaz).
Penataan dapil berimplikasi pada penambahan dapil berikut kursi di dapil provinsi pemekaran. Sementara pemutakhiran daftar pemilih akan disesuaikan berdasarkan dapil tersebut. Penambahan tiga provinsi baru juga mengubah struktur penyelenggara karena saat ini belum ada KPU Provinsi di tiga DOB tersebut.
”Secara penganggaran, KPU belum menjangkau itu. Namun, secara prinsip KPU menunggu hasil proses yang dilakukan pembentuk UU,” jelas August.
Sembari menunggu proses itu selesai, lanjut August, KPU akan berfokus melaksanakan tahapan pemilu sesuai PKPU. Saat ini KPU sedang melaksanakan penyiapan pendaftaran dengan menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) bagi parpol calon peserta Pemilu 2024.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz.
Gerak cepat
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana berpandangan, keputusan politik terkait bentuk payung hukum akibat dampak pembentukan DOB Papua harus cepat. Melihat dinamika politik pembentuk UU yang sebelumnya tak mau merevisi UU Pemilu, dia memprediksi pembentuk UU akan memilih payung hukum perppu.
”Menurut saya, yang paling krusial dalam 2-3 bulan ke depan adalah pemerintah dan DPR segera berdiskusi soal penataan dapil dengan KPU. Setelah itu, inisiasi pembentukan payung hukum karena dampaknya tak hanya soal penataan dapil, tetapi juga infrastruktur penyelenggara dan anggaran pemilu,” kata Aditya.
Aditya menyebutkan, dampak dari tiga DOB Papua selain dari sisi penataan dapil adalah KPU harus membentuk infrastruktur penyelenggara pemilu di tiga provinsi baru, yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan. KPU harus membentuk kantor KPU provinsi, serta menyiapkan sumber daya manusia. Selain itu, kebutuhan logistik juga akan mengalami penyesuaian. Dampak elektoral dan teknis penyelenggaraan pemilu dari DOB baru di Papua itu harus selaras dengan tahapan pemilu yang sudah ditetapkan.
Y ang paling krusial dalam 2-3 bulan ke depan adalah pemerintah dan DPR segera berdiskusi soal penataan dapil dengan KPU. Setelah itu, inisiasi pembentukan payung hukum karena dampaknya tak hanya soal penataan dapil, tetapi juga infrastruktur penyelenggara dan anggaran pemilu. (Aditya Perdana).
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Aditya Perdana dalam diskusi bertema Mengelola Politik Identitas dalam Kampanye Pemilu 2019” di Pontianak, Selasa (12/2/2019).
”Jika melihat tahapan penetapan dapil Oktober 2022-Februari 2023, artinya harus segera dibuat perppu atau revisi UU Pemilu. Namun, saya yakin pembentuk UU akan memilih perppu karena sebelumnya mereka sudah mengatakan tidak akan merevisi UU Pemilu. Tidak mungkin mereka menjilat ludah sendiri,” kata Aditya.
Aditya juga meminta KPU segera menghitung implikasi anggaran akibat dampak DOB baru di Papua. Hitung-hitungan anggaran untuk pembentukan kantor KPU di tingkat provinsi, pengisian SDM, hingga pembentukan badan ad hoc harus dikalkulasi. Apalagi jika anggaran itu belum masuk dalam perencanaan anggaran yang sudah disusun KPU.
”Kemungkinan, anggaran pemilu yang sampai saat ini belum ditransfer pemerintah kepada penyelenggara itu karena masih dihitung ulang untuk antisipasi DOB Papua,” kata Aditya.