Menjawab Kegusaran Publik pada Agenda Pemberantasan Korupsi
Proses hukum kasus ekspor minyak sawit mentah, impor garam, serta impor besi dan baja terkait erat dengan kehidupan masyarakat. Namun, belum tentu persepsi masyarakat terhadap penegakan hukum akan meningkat.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·6 menit baca
Proses hukum kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya seolah mewakili kegusaran publik. Terlebih setelah pejabat pemerintah menyatakan ada mafia minyak goreng di balik langka dan mahalnya minyak goreng. Ketika kemudian tersangka ditetapkan, mereka dituding sebagai biang masalah.
Mahalnya harga minyak goreng dirasakan salah satunya oleh Astrid (34), seorang ibu dengan dua anak yang tinggal di Jakarta. Dalam sebulan, ia mesti membeli minyak goreng paling sedikit 2 liter dan paling banyak sekitar 6 liter. Biasanya ia membeli minyak goreng kemasan seharga Rp 27.000 untuk kemasan 2 liter. Kini, harga minyak goreng tersebut adalah Rp 47.000 per 2 liter.
Dari pemberitaan, Astrid mengetahui bahwa aparat penegak hukum tengah mengusut kasus dugaan korupsi terkait ekspor minyak sawit. Serta-merta ia menyatakan dukungannya terhadap proses hukum tersebut. ”Kalau bisa murahin harga minyak, gue dukung,” ujarnya, Kamis (30/6/2022).
Kasus dugaan korupsi minyak sawit mentah dan produk turunannya adalah satu dari beberapa perkara yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Kasus serupa lainnya adalah kasus dugaan korupsi impor garam, kemudian kasus impor besi dan baja yang semuanya kini ditangani penyidik Kejaksaan Agung.
Dalam kasus dugaan korupsi minyak sawit mentah dan produk turunannya, penyidik telah menetapkan lima tersangka yang salah satunya adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana. Paralel, Kejaksaan Agung juga menyidik kasus dugaan korupsi impor besi dan baja, serta belum lama ini meningkatkan status kasus dugaan korupsi impor garam yang terjadi pada 2018.
Kepada wartawan, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan bahwa pihaknya tidak hanya fokus untuk mencari kerugian keuangan negara, tetapi juga mendalami kerugian perekonomian negara. Sebab, kasus tersebut, semisal dalam kasus impor besi dan baja, membuat produk besi dan baja dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri.
”Ada korupsi yang dilakukan yang menyentuh rakyat kecil, mulai dari minyak goreng, kemudian garam, kemudian impor besi, sampai pengadaan pesawat,” kata Burhanuddin.
Sementara dalam perkara impor garam industri, diduga garam yang diimpor tidak diverifikasi sehingga jumlahnya melebihi kuota yang diberikan. Tidak hanya itu, garam impor yang dikhususkan sebagai garam industri tersebut kemudian dilabeli sebagai produk dalam negeri yang terstandardisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga bisa masuk ke pasar lokal. Akibatnya, petani garam menjadi pihak yang paling terdampak.
Dari penyidikan Kejaksaan Agung dalam kasus impor garam, pada 2018 terdapat 21 perusahaan importir yang mendapatkan persetujuan impor garam industri sebanyak 3,77 juta ton senilai Rp 2,05 triliun.
Melanggar HAM
Pengajar dari Universitas Trisakti yang juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Yenti Garnasih berpandangan, penegakan hukum terhadap dugaan pidana yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk yang terkait sumber daya alam, sudah seharusnya terus dilakukan. Sebab, melalui kasus tersebut, peran negara untuk melindungi hak asasi warganya dijalankan.
Menurut Yenti, pada dasarnya, semua kasus korupsi, termasuk suap dan gratifikasi, berdampak pada kepentingan banyak orang. Sebab, suatu tindak pidana korupsi biasanya diberikan terkait dengan kewenangan yang mempunyai kebijakan yang berdampak luas. Kejahatan korupsi pun terkait dengan sektor atau bidang lain, semisal persoalan minyak goreng juga terkait dengan petani dan lingkungan hidup.
”Korupsi itu melanggar hak asasi manusia, berkaitan dengan ekonomi, kesehatan, dan hak hidup secara layak. Jadi, korupsi tidak hanya yang berdampak secara langsung ke masyarakat,” tutur Yenti.
Korupsi, lanjut Yenti, juga rawan terjadi di sektor infrastruktur ataupun sarana pendidikan dan kesehatan. Semisal, infrastruktur jembatan atau jalan yang dikorupsi berdampak pada lebih cepatnya infrastruktur tersebut rusak daripada usia seharusnya. Dengan demikian, penegakan hukum di sektor tersebut sama saja dengan memperbaiki kualitas masyarakat.
Masalah data
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch, Dewi Anggraeni, mengatakan, dari kajian selama ini, tindak pidana korupsi yang terkait dengan bahan pokok, seperti minyak goreng dan garam, erat kaitannya dengan persoalan data. Sebab, angka atau jumlah kebutuhan suatu komoditas yang dimiliki pemerintah sering kali tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan.
”Keakuratan data pemerintah masih dipertanyakan, misalnya berapa sih kebutuhan kedelai, gandum, bawang putih, gula. Menurut saya, angka ini menjadi titik persoalan. Karena ketika angka ini tidak akurat, maka ini memengaruh kebijakan yang diambil, termasuk rentan dimainkan,” kata Dewi.
Selain masalah data, mekanisme ekspor dan impor juga memiliki banyak celah untuk dimainkan, termasuk melalui mekanisme kuota. Mekanisme tersebut memiliki celah mulai dari data kebutuhan, cara pemberian kuota antara satu perusahaan dan yang lain, serta proses verifikasinya.
Belum lagi jika ternyata eksportir atau importir tersebut merupakan bagian dari perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang dan menguasai hulu sampai hilir. Dengan demikian, peluang untuk memainkan data bisa semakin besar.
Masalah lainnya adalah kebijakan politik terhadap suatu komoditas. Dalam kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) yang kini kembali menjangkiti Indonesia, sapi untuk kebutuhan dalam negeri didatangkan dari negara yang belum bebas PMK dengan alasan harga lebih murah. Namun, kini pemerintah dan masyarakat mendapatkan dampak negatif karena harus menangani PMK yang di dalam negeri.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, kejaksaan akan selalu memproses setiap perkara yang masuk tanpa membedakan besar kecilnya kasus. Jika saat ini kejaksaan menangani kasus yang menyangkut orang banyak, hal itu bukan kesengajaan. ”Skala prioritasnya kebetulan yang terkait orang banyak,” kata Ketut.
Kepuasan publik turun
Hasil survei Litbang Kompas pada periode Juni 2022 menunjukkan terjadinya penurunan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebesar 6,8 persen jika dibandingkan dengan hasil survei pada Januari 2022. Salah satu bidang yang menurun, yakni bidang penegakan hukum, turun hingga 8,4 persen.
Ketika dibedah lebih jauh, ketidakpuasan tertinggi adalah dalam pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum (44,7 persen) serta dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (43,2 persen).
Menurut Dewi, persepsi masyarakat terhadap penegakan hukum sangat terkait dengan dampak yang mereka rasakan secara langsung dalam bidang penegakan hukum, semisal terkait pungutan liar (pungli). Sementara meski publik mengetahui bahwa aparat penegak hukum sedang menangani kasus dugaan korupsi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti ekspor minyak sawit mentah dan turunannya, hingga saat ini belum tampak tindak lanjutnya.
”Meskipun ada penetapan tersangka, belum ada pengaruhnya ke masyarakat karena harga minyak goreng masih tinggi,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Dewi, ketika dalam hidup sehari-hari masyarakat masih menghadapi pungli oleh petugas atau penegakan hukum yang berlarut-larut, ketidakpuasan publik akan selalu ada. Persepsi terhadap penegakan hukum oleh masyarakat bukan hanya banyaknya kasus yang ditangani, melainkan sejauh apa hal itu berdampak pada hidup mereka.