Adu Jaringan dan Relevansi Isu Lokal untuk Jadi Senator
Tak mudah bisa terpilih menjadi anggota DPD atau kerap disebut senator saat pemilu. Apalagi jika calon adalah orang baru di dunia politik dan tak memiliki bekal popularitas. Lantas bagaimana strateginya agar terpilih?
Seperti halnya calon anggota legislatif yang diusung oleh partai politik, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah harus pula berjuang keras di wilayah masing-masing untuk memperoleh dukungan. Bahkan, jika dibandingkan dengan calon anggota DPR, upaya calon anggota DPD untuk bisa duduk di parlemen jauh lebih berat. Mereka harus terlebih dahulu memenuhi syarat dukungan. Jika lolos, mereka harus meyakinkan lebih banyak pemilih agar memilihnya saat hari pemungutan suara tiba.
Syarat dukungan dimaksud bervariasi tergantung pada provinsi tempat bakal calon anggota DPD berkontestasi. Kian besar jumlah pemilih di provinsi itu, maka makin banyak pula syarat dukungan yang harus dipenuhi. Provinsi dengan jumlah pemilih kurang dari 1 juta orang, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengamanatkan syarat dukungan minimal 1.000 pemilih. Adapun syarat dukungan minimal terbesar harus dipenuhi jika maju pada provinsi dengan jumlah pemilih lebih dari 15 juta orang, yakni minimal 5.000 pemilih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dukungan ini pun harus tersebar di lebih dari 50 persen kabupaten/kota di provinsi tempat bakal calon anggota DPD berkontestasi. Setiap dukungan harus menyertakan fotokopi KTP setiap pendukung plus tanda tangan atau cap jempol jari tangan.
Syarat dukungan itu kelak akan diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika lolos, barulah mereka ditetapkan sebagai calon. Untuk tahap ini saja, tak mudah melaluinya. Banyak bakal calon gugur karena syarat dukungan minimal tak terpenuhi. Maka, jika memang lolos tahapan ini, bisa dikatakan separuh jalan dilalui calon untuk menjadi anggota DPD.
Baca juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik
Namun, separuh jalan tersisa tetap tak mudah dilalui. Di setiap pemilu, calon yang memperebutkan 136 kursi anggota DPD bisa mencapai ratusan hingga ribuan orang. Pada Pemilu 2019 sebagai gambaran, total calon mencapai 807 orang. Pada Pemilu 2009 bahkan total ada 1.116 kandidat.
Kemudian, umumnya calon harus meraih suara jauh lebih besar daripada seorang calon anggota DPR agar bisa terpilih. Untuk provinsi berpopulasi besar di Jawa, misalnya, minimal seorang calon harus mengumpulkan lebih dari satu juta suara untuk memastikan satu kursi DPD. Berbeda dengan seorang calon anggota DPR yang minimal memerlukan 150.000-200.000 suara per kursi untuk wilayah yang sama.
Situasi itu agaknya tidak terlalu merisaukan bagi calon anggota DPD yang berlatar belakang tokoh, baik dari kalangan elite lokal maupun tokoh politik, hingga artis. Namun, perjuangan berliku harus dilakukan oleh calon anggota DPD yang ”bukan siapa-siapa”.
Lika-liku menjalin jaringan dengan komunitas lokal, dan organisasi masyarakat, misalnya, adalah jalan yang ditempuh oleh Abdul Kholik (53), anggota DPD dari Jawa Tengah. Senator kelahiran Cilacap ini setidaknya bekerja sama dengan 65 jaringan dan simpul masyarakat di lapangan untuk dapat meraih satu kursi di DPD.
Pada Pemilu 2019, Kholik meraih 1,4 juta suara. Raihan ini menempatkannya di posisi keempat peraih suara terbanyak untuk DPD di Jateng. Untuk DPD, setiap provinsi di Tanah Air dapat menempatkan empat wakilnya di parlemen.
Kholik mengenang, ketika KPU mengumumkan namanya sebagai satu dari empat anggota DPD terpilih, banyak temannya yang bahkan tidak memercayainya.
”Teman saya di Jakarta tidak ada yang percaya. Sebab, di survei tidak ada nama saya. Saya memang banyak tidak diperhitungkan waktu itu,” ucapnya yang ditemui di kantornya, pertengahan Juni lalu.
Raihan suara itu, menurut Kholik, bisa terwujud berkat kerja-kerjanya menyapa jaringan yang dibangunnya sejak berbulan-bulan sebelum pemilu. Ia menemui tokoh-tokoh simpul masyarakat, jaringan organisasi masyarakat, dan komunitas-komunitas di setiap zona, yakni wilayah utara, timur, dan selatan Jateng.
”Waktu itu seperti tidak ada rasa lelah. Saya berangkat dari rumah jam 8 atau 9 pagi, dan kembali lagi pukul 2 pagi,” katanya.
Baca juga: Caleg Tandem, Simbiosis Mutualisme demi Gaet Suara Pemilih
Ia sedikit diuntungkan karena pernah mencoba maju sebagai calon bupati Cilacap dari jalur independen. Sekalipun gagal, salinan kartu tanda penduduk (KTP) dukungan dari warga dapat digunakannya untuk mendaftar sebagai anggota DPD. Itu pun dia lakukan di saat-saat akhir menjelang berakhirnya pendaftaran pencalonan DPD.
Kholik lama menjadi tenaga ahli di Badan Legislasi DPR, yakni 2005-2015. Selanjutnya, ia berpindah menjadi tenaga ahli di DPD. Keahliannya di dalam perumusan dan perancangan UU memberinya perspektif mengenai pembuatan kebijakan yang lebih solutif dan menyasar kebutuhan regulasi masyarakat. Pemahamannya itu pula yang menjadi kekuatannya untuk menjalin jaringan dan komunikasi dengan masyarakat.
Kepada masyarakat, Kholik memaparkan persoalan kewilayahan berdasarkan karakter lokalitas masing-masing. Misalnya, untuk wilayah utara Jateng, Kholik menyampaikan persoalan ekologi kawasan pesisir dan potensi solusi yang dapat dilakukan jika ia menjadi senator dari Jateng.
Demikian pula untuk wilayah selatan Jateng, yang terdiri dari kawasan Kedu dan Banyumas, Kholik menjelaskan problem kemiskinan di wilayah itu dan potensi agrowisata yang dapat dikembangkan di sana sebagai pengungkit kesejahteraan masyarakat.
Adapun wilayah timur Jateng, yang meliputi Solo Raya, Kholik menawarkan potensi aglomerasi wilayah. Sukoharjo, Karanganyar, dan Klaten yang berada di sekitar Solo masing-masing memiliki kekuatan dan keunggulan, dan daerah-daerah itu tinggal dikolaborasikan menjadi satu kawasan yang terkoneksi satu sama lain. ”Solo bisa dikoneksikan dengan angkutan transportasi atau logistiknya sehingga daya saing kawasan itu lebih tinggi,” ucapnya.
Dengan mengelaborasi isu-isu lokal, ternyata masyarakat setempat memberikan respons positif. Dibantu dengan jaringan dan simpul-simpul masyarakat yang diajak bekerja sama, Kholik mengakui, ada hasil yang baik dari hal itu. Sampai hari ini, Kholik terus merawat jaringan masyarakat itu dan aspirasi mereka berusaha diagregasi, baik disampaikan kepada pemerintah pusat maupun dikelola dengan sejumlah program bersama pemerintah daerah.
”Ketika masyarakat diajak berdiskusi mengenai profil dari daerah mereka, problem, dan solusi, serta potensi daerah, mereka ternyata bisa memahami. Jadi, sebenarnya sepanjang hal-hal itu dapat disampaikan, masyarakat akan bisa menerima proyeksi program yang kami sampaikan,” ucapnya.
Modal sosial
Dengan pola yang mirip, anggota DPD dari DI Yogyakarta, Hilmy Muhammad (50), mengandalkan pada modal sosial yang dimilikinya, selain jaringan. Sebagai kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mulai dari bawah sebagai pengurus ranting, hingga menjadi Pengurus Wilayah NU (PWNU) DIY, dan kini Katib Syuriah PBNU, Hilmy mengaku ditugasi oleh organisasi untuk duduk di parlemen.
Baca juga: Jatuh Bangun Caleg Pendatang Baru Menembus Parlemen
Pada Pemilu 2019, Hilmy memperoleh 299.168 suara, sementara untuk menjadi anggota DPR dari Yogyakarta cukup diperlukan 60.000-70.000 suara. Secara mengejutkan, ia mendapatkan raihan suara di bawah GKR Hemas, dan unggul dari dua calon terpilih lainnya. Terpilihnya Hilmy ini menimbulkan semangat tersendiri bagi kalangan NU. Sebab, kerap kali mereka merasa tidak dominan di wilayah Yogyakarta.
Modal sosial sebagai kader NU, menurut Hilmy, adalah kekuatan yang menurut dia sangat signifikan untuk membantunya meraih kursi di parlemen. Dengan jaringan NU yang sampai ke tingkat desa, Hilmy memiliki hubungan baik, dan itu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kendati demikian, ia secara pribadi juga bergerak dengan berkeliling ke pesantren-pesantren.
”Saya berusaha mendapatkan dukungan dari guru, dosen, dan tokoh-tokoh masyarakat yang saya kenal, baik dari kalangan Muslim dan umat lainnya,” kata Hilmy yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
Basisnya sebagai dosen dan pengajar, membuat Hilmy merawat betul jaringan di kalangan pendidikan. Sejak 14 bulan sebelum pemilu, ia telah berkeliling dari tokoh ke tokoh, dan dari ranting ke ranting NU. Sampai seluruh kecamatan di DIY berusaha dijangkaunya. Hingga sekarang, jaringannya itu terus dikembangkan.
”Ketika sudah terpilih, pada tahun pertama, saya menyelesaikan seluruh kecamatan di Provinsi DIY. Sekarang, jaringan di badan otonom seperti Ansor dan Fatayat di kota/kabupaten sudah berjalan,” ucapnya.
Jaringan yang kuat, menurut Hilmy, merupakan modal berharga. Oleh karena itu, ia rutin mendatangi mereka satu per satu. ”Kalau mau dikenal, ya harus datang. Tidak kenal, maka tak sayang. Kalau mau disayang lagi, ya harus datang lagi. Tidak harus menunggu menjelang pemilu. Setiap 2-3 bulan sekali saya berkunjung ke lapangan,” katanya.
Hilmy mengakui, peran DPD belum kuat dan signifikan. Oleh karena itu, setiap kali ada aspirasi dari daerah, sekalipun hal itu tidak dapat menjadi kebijakan di tingkat pusat, ia berusaha merealisasikannya di tingkat lokal.
”Kalau secara kelembagaan tidak bisa bicara di tingkat nasional, kami bicara di provinsi masing-masing. Bukan berarti tidak berbuat apa-apa. Kami bicara dengan gubernur, bupati, dan DPRD. Kami sampaikan persoalan dan kebutuhan masyarakat, dan kami berusaha memfasilitasi dengan bicara dengan pemda,” tuturnya.
Sementara itu, anggota DPD dari Papua Barat, Filep Wamafma (44), mengatakan, modal utamanya menjadi anggota DPD ialah relevansi isu yang diperjuangkan dengan kebutuhan masyarakat Papua. Dengan latar belakang sebagai akademisi di wilayahnya, Filep sejak lama sering dimintai pendapat oleh pemerintah daerah mengenai otonomi khusus Papua.
Baca juga: Jurus Jitu Para Penghuni Senayan Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Namun, pengetahuannya itu selama ini belum cukup kuat untuk memengaruhi pembuatan kebijakan. Oleh karena itulah, ia memutuskan untuk berkontestasi menjadi anggota DPD pada Pemilu 2019 dengan harapan dapat memengaruhi kebijakan. Ia mendapatkan 84.000 suara, dan merupakan yang terbanyak kedua di wilayahnya.
”Saya bersyukur karena ditempatkan di Komite I DPR, yang secara langsung memperjuangkan apa yang selama ini menjadi persoalan di daerah saya, yakni tentang Otsus Papua,” katanya yang juga merupakan Wakil Ketua Komite I DPD.
Sebagai pimpinan Komite I DPD, Filep merasa dapat ikut mengadvokasi sejumlah persoalan substantif bagi masyarakat Papua, termasuk posisinya yang juga Ketua Panitia Khusus Papua dari DPD.
Dengan isu lokal yang dikuasainya, Filep percaya diri pada Pemilu 2024 akan terpilih kembali menjadi anggota DPD. Selain itu, sebagai petahana, ia merasa dapat menyampaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua selama ini.
”Saya seorang dosen swasta, kadang digaji, dan kadang tidak digaji. Namun, saya meyakini modal utamanya bukan uang, melainkan masyarakat Papua akan melihat sejauh mana kinerja saya dalam mengagregasi kepentingan mereka di parlemen,” katanya.
Lebih berat
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Defbry Margiansah, mengatakan, dibandingkan dengan caleg DPR, calon anggota DPD memang memiliki tantangan lebih berat untuk mendapatkan kursi parlemen. Salah satu faktor yang memengaruhi ialah kewenangan dan peran DPD yang tidak terlalu terdengar di masyarakat. Hal itu membuat popularitas seorang tokoh DPD memang sangat menentukan keterpilihannya di dalam pemilu.
”Kalau orang itu tidak populer, atau bukan merupakan tokoh lokal, atau mantan tokoh nasional, memang persaingannya berat,” katanya.
Kendati demikian, bukan berarti pintu elektabilitas tertutup bagi mereka yang merintis dari bawah. Belajar dari keberhasilan para calon DPD yang membangun jaringan dan menawarkan isu lokalitas, menurut Defbry, itu dapat menjadi satu gambaran strategi yang dapat direplikasi calon lainnya pada Pemilu 2024.
”Popularitas di daerah dapat dibangun dengan tiga hal. Pertama, mereka bekerja dengan konsisten sehingga memiliki reputasi yang sudah melekat dengan berbagai kegiatan konstituensi yang dilakukan jauh-jauh hari, bukan hanya saat mendekati pemilu,” katanya.
Baca juga: Wacana Koalisi Parpol Nonparlemen, Akankah Layu Sebelum Berkembang?
Kedua, popularitas itu dapat juga dibangun dengan kombinasi antara jejaring kuat dan kinerja yang baik. Dua faktor itu membuat calon anggota DPD dikenal, dan karena itu potensi elektabilitas mereka menjadi tinggi.
Ketiga, bisa juga calon anggota DPD itu bekerja dengan memanfaatkan jejaring mesin parpol. Sebab, banyak pula calon anggota DPD yang dekat atau memiliki afiliasi dengan parpol tertentu.
”Apakah popularitas mereka dibangun melalui jaringan, kinerja, atau kombinasi keduanya. Ataupun dibangun melalui mesin afiliasi parpol, sama-sama dapat meningkatkan elektabilitas mereka. Kombinasi di antara itu semua dapat sangat menentukan keterpilihan,” kata Defbry.