Komisi III Loloskan Dua Hakim Agung dan Dua Hakim ”Ad Hoc” Tipikor
Komisi III DPR meloloskan dua hakim agung dan dua hakim ”ad hoc” tindak pidana korupsi seusai uji kelayakan dan kepatutam. Meski demikian, Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir mengatakan, jumlah hakim masih kurang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III DPR meloloskan dua hakim agung dan dua hakim ad hoc tindak pidana korupsi seusai uji kelayakan dan kepatutan selama dua hari, Selasa-Rabu (28-29/6/2022). Jika dilihat dari kebutuhan hakim agung yang diajukan oleh Mahkamah Agung, jumlahnya masih kurang dari yang diajukan.
Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir, seusai rapat pleno di Komisi III, Rabu malam, mengatakan, Komisi III memberikan persetujuan atas nama calon hakim agung dan calon hakim ad hoc tipikor pada MA tahun 2021/2021 kepada Nani Indrawati untuk kamar perdata, Cerah Bangun untuk kamar tata usaha negara (TUN) khusus pajak. Adapun untuk hakim ad hoc tipikor yang diloloskan adalah Agustinus Purnomo Adi dan Arizon Mega Jaya.
”Bapak ibu Komisi III, pimpinan yang terhormat, apakah nama-nama calon tersebut dapat disetujui? tanya Adies.
”Setuju,” jawab anggota DPR yang mengikuti rapat.
Bapak ibu Komisi III, pimpinan yang terhormat, apakah nama-nama calon tersebut dapat disetujui?
Palu kemudian diketok sebagai tanda bahwa keputusan itu disetujui oleh anggota rapat pleno. Berdasarkan pandangan fraksi yang dibacakan oleh kapoksi dan juru bicaranya, Komisi III resmi memberikan persetujuan atas nama calon hakim agung dan calon hakim ad hoc tipikor di MA tersebut.
Sebelumnya, MA mengajukan tiga hakim ad hoc tindak pidana korupsi untuk menangani perkara korupsi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Selain itu, MA juga mengajukan kebutuhan satu orang untuk kamar perdata, empat orang kamar pidana, satu orang kamar agama, dan dua orang kamar tata usaha negara.
Calon hakim agung yang mengikuti seleksi dari kamar agama adalah Abdul Hakim, calon hakim agung kamar tata usaha negara (TUN) khusus pajak Triyono Martanto, calon hakim agung kamar pidana Subiharta, Suradi, dan Willem Saija. Serta, calon hakim agung kamar perdata Nani Indrawati.
Calon hakim agung yang mengikuti seleksi dari kamar agama adalah Abdul Hakim, calon hakim agung kamar tata usaha negara (TUN) khusus pajak Triyono Martanto, calon hakim agung kamar pidana Subiharta, Suradi, dan Willem Saija. Serta, calon hakim agung kamar perdata Nani Indrawati.
Tiga calon
Adapun tiga calon hakim ad hoc tipikor yang sebelumnya mengikuti seleksi itu adalah Rodjai S Irawan, Agustinus Purnomo Hadi, dan Arizon Mega Jaya. Rodjai S Irawan sebelumnya menjabat hakim ad hoc tipikor di Pengadilan Tinggi Mataram, Nusa Tenggara Barat. Sementara Agustinus Purnomo Hadi adalah hakim ad hoc tipikor di Pengadilan Tinggi Makassar, Sulawesi Selatan. Adapun Arizon Mega Jaya adalah mantan hakim ad hoc tipikor di Pengadilan Negeri Palembang.
Ketiganya mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR pada Rabu (29/6/2022). Dalam presentasi makalahnya, Rodjai menyoroti soal penerapan hukuman mati pada perkara korupsi. Rodjai termasuk hakim yang mendukung penerapan hukuman mati terhadap koruptor apabila kejahatan luar biasa itu dilakukan dalam situasi bencana alam atau krisis. Dia juga sempat menyebutkan bahwa penerapan hukuman mati di Tiongkok efektif untuk memberikan penjeraan kepada koruptor.
Sontak, makalah yang dibuat Rodjai itu dihujani berbagai pertanyaan dari anggota Komisi III. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, misalnya, mempertanyakan tentang teori hukum yang dipakai untuk menjatuhkan pidana mati terhadap koruptor. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dicantumkan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan saat bencana alam dan kerusuhan sosial. Di UU tersebut tidak dicantumkan berapa batasan kerugian negara untuk menjatuhkan hukuman maksimal pidana mati.
Dalam pandangan Saudara, teori hukum apa untuk menjatuhkan hukuman mati itu? Apakah Anda pengikut tren hukuman yang menimbulkan efek jera, atau memulihkan kerugian keuangan negara?
”Dalam pandangan Saudara, teori hukum apa untuk menjatuhkan hukuman mati itu? Apakah Anda pengikut tren hukuman yang menimbulkan efek jera, atau memulihkan kerugian keuangan negara?” kata Nasir.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta, juga sempat menanyakan apakah selama berkarier menjadi hakim ad hoc tipikor, Rodjai pernah menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor. Bagaimana sikapnya apabila jaksa penuntut umum tidak menuntut hukuman mati, apakah sebagai hakim dia bisa menjatuhkan hukuman itu?
Rodjai mengatakan, selama menjadi hakim ad hoc tipikor, dia belum pernah memutus hukuman mati. Sebab, jarang sekali jaksa penuntut umum (JPU) menuntut dengan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor. Menurut dia, hakim tidak bisa memutus maksimal jika tidak ada di dakwaan. Walaupun hukuman maksimal itu diatur di UU, menurut dia, dalam pelaksanaanya tidak bisa semena-mena. Hakim tetap harus mempertimbangkan derajat kesalahan berdasarkan dengan fakta-fakta yang terbukti di persidangan.
Menurut saya, di Indonesia trennya orang malah memilih untuk dipenjara daripada mengembalikan keuangan negara. Sebab, penjara koruptor fasilitasnya mewah, bahkan ada yang bisa keluar-keluar lapas dengan menyuap kepala lapas sehingga perlu diterapkan hukuman maksimal untuk mencegah korupsi.
Meskipun demikian, Rodjai tetap sepakat bahwa penerapan hukuman mati itu dinilai efektif untuk mencegah korupsi, seperti yang sudah diterapkan di Tiongkok. Menurut dia, angka korupsi di Tiongkok sangat rendah karena ada hukuman mati. Di Tiongkok, paradigma hukumnya juga lebih memilih hukuman yang memberikan efek jera daripada mengembalikan keuangan negara. Ini yang menginspirasinya untuk membuat makalah tentang penerapan hukuman mati bagi koruptor.
“Menurut saya, di Indonesia trennya orang malah memilih untuk dipenjara daripada mengembalikan keuangan negara. Sebab, penjara koruptor fasilitasnya mewah, bahkan ada yang bisa keluar-keluar lapas dengan menyuap kepala lapas sehingga perlu diterapkan hukuman maksimal untuk mencegah korupsi,” kata Rodjai.
Hukuman mati koruptor
Sementara itu, hakim Arizon Mega Jaya juga ditanya mengenai sikapnya tentang hukuman mati untuk koruptor. Politikus PDI-P, I Wayan Sudirta, menanyakan tentang sikapnya terhadap hukuman mati koruptor. Apakah hukuman itu bisa menjerakan dibandingkan dengan mengembalikan keuangan negara.
Arizon menjawab, UU Pemberantasan Tipikor sudah mengatur bahwa hukuman mati dapat diterapkan apabila korupsi dilakukan di masa bencana alam nasional. Aturan itu tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Jika memang tindak pidana tidak memenuhi syarat yang diatur dalam ketentuan itu, tidak mungkin hakim menjatuhkan hukuman mati.
”Tidak mungkin kami menjatuhkan hukuman yang bisa menghilangkan nyawa orang apabila kerugian negaranya tidak signifikan,” kata Arizon.
Seusai menggelar uji kelayakan dan kepatutan, DPR langsung mengadakan rapat pleno untuk menentukan siapa calon hakim agung yang layak dan pantas untuk diloloskan.
Kami punya kewenangan masing-masing, kalau DPR menganggap calon itu belum ’perform’, ya sudahlah. Kan, kami juga tidak pernah menggangu Komisi Yudisial saat memproses hakimnya. Kami juga punya kewenangan yang sedang dijalankan oleh Komisi III.
Terkait dengan kebutuhan hakim ad hoc tipikor di MA, Ketua Komisi III Bambang Wuryanto mengatakan, DPR tidak bisa memaksakan untuk meloloskan calon hakim tertentu apabila dinilai tidak memenuhi kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud adalah kualitas dan integritas. DPR juga melacak melalui Badan Intelkam terkait dengan rekam jejak calon hakim yang diseleksi.
”Kami punya kewenangan masing-masing, kalau DPR menganggap calon itu belum perform, ya sudahlah. Kan kami juga tidak pernah menggangu Komisi Yudisial saat memproses hakimnya. Kami juga punya kewenangan yang sedang dijalankan oleh Komisi III,” kata Bambang.
Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Saleh mengatakan, DPR tidak bisa memaksakan untuk meloloskan calon hakim tertentu. Sebab, DPR juga memiliki standar terkait dengan kualitas dan integritas hakim yang dicari.
Sebelumnya, Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Sunarto mengatakan, hakim ad hoc tipikor di MA hanya tersisa tiga orang. Sebelumnya, MA memiliki tujuh hakim ad hoc tipikor, tetapi sudah purnatugas. Kebutuhan hakim ad hoc tipikor itu semakin mendesak. MA kemudian mengajukan kepada Komisi Yudisial untuk mengisi kebutuhan tersebut.