DPR belum memutuskan agenda rapat paripurna untuk mengesahkan RKUHP. Pemerintah juga masih menyempurnakan rumusan RKUHP yang telah disosialisasikan kepada masyarakat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Mereka mendesak Presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna.
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat belum satu suara terkait penyelesaian Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Tak hanya target pengesahan, mekanisme pembahasan rancangan aturan pembaruan hukum pidana itu juga belum disepakati. Sebagian menginginkan RKUHP langsung disahkan karena sudah dibahas oleh DPR periode sebelumnya, sedangkan sebagian lainnya mengusulkan kembali dibahas karena masih ada pasal-pasal yang dinilai bermasalah.
Pembahasan RKUHP kembali dimulai pada pekan terakhir Mei setelah hampir tiga tahun dihentikan. Saat itu, Komisi III DPR serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sepakat untuk mengesahkan RKUHP pada Juli ini.
Kesepakatan itu menuai protes dari kalangan masyarakat sipil, termasuk mahasiswa. Mereka mendesak pembuat undang-undang tetap membahas kembali RKUHP karena masih ditemukan sejumlah pasal bermasalah, bahkan bisa mengancam demokrasi.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para mahasiswa berusaha menghindari gas air mata yang ditembakkan oleh petugas kepolisian saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Meski begitu, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menegaskan, target penyelesaian RKUHP tak berubah, yakni disahkan pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 yang berakhir pada 7 Juli nanti.
”Targetnya masa sidang ini selesai. Kalau tidak memungkinkan, ya, mundur lagi,” kata Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/6/2022).
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengklaim semua fraksi di Komisi III sudah setuju RKUHP disahkan pada awal Juli. Menurut dia, DPR sudah menyepakati substansi pasal-pasal RKUHP yang disampaikan pemerintah dalam rapat dengar pendapat, 25 Mei 2022. Salah satunya pasal yang mengatur tentang penghinaan kepala negara yang banyak dikritik masyarakat. Dalam draf terbaru RKUHP, pasal penghinaan kepala negara telah diubah menjadi delik aduan. Artinya, hanya presiden dan wakil presiden yang bisa melaporkan pidana penghinaan tersebut.
Begitu pula masalah norma hukum yang hidup di masyarakat (living law). Permasalahan living law itu masuk dalam 14 isu krusial yang disosialisasikan pemerintah kepada masyarakat di 12 kota di Indonesia. Selain itu, pasal yang dianggap mengkriminalisasi ahli gigi dan advokat juga sudah dihapus sesuai dengan aspirasi masyarakat.
”Prinsipnya substansi peraturan perundang-undangannya selesai, RKUHP-nya rampung, tetapi prosedurnya yang belum,” ujarnya.
Bambang menegaskan, masih ada waktu tujuh hari bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan pembahasan. Dengan begitu, masih terbuka kemungkinan RKUHP disahkan pada Juli ini.
Prinsipnya substansi peraturan perundang-undangannya selesai, RKUHP-nya rampung, tetapi prosedurnya yang belum
Pernyataan berbeda disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, M Nasir Djamil. Menurut dia, sebagian fraksi di Komisi III menginginkan RKUHP dibahas kembali. Pembahasan terutama dilakukan untuk pasal-pasal bermasalah menurut masyarakat sipil.
”Minimal masyarakat diberi ruang untuk menyampaikan pendapatnya secara resmi terkait dengan pasal-pasal tersebut. Semestinya pimpinan DPR bisa lebih arif dan bijaksana menghadapi situasi ini,” tuturnya.
Nasir menyebut, RKUHP adalah perubahan undang-undang pidana yang sangat monumental. Karena itu, pembahasan harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat yang bermakna.
Belum ada kemajuan
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan belum ada kemajuan yang berarti dalam pembahasan RKUHP. Sampai saat ini, pimpinan DPR belum menerima draf RKUHP hasil perbaikan yang telah disosialisasikan pemerintah. DPR juga belum menjadwalkan paripurna pengesahan RKUHP.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) mendengarkan pertanyaan dari anggota DPR saat rapat Panitia Kerja Komisi III DPR RUU tentang Narkotika di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/5/2022).
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej juga menyampaikan kemungkinan RKUHP tidak disahkan pada masa sidang ini. Sebab, pemerintah masih memperbaiki draf RKUHP. Perbaikan dilakukan pada lima hal, yaitu revisi pasal berdasarkan masukan dari masyarakat, salah tik, sinkronisasi batang tubuh dan penjelasan, serta sinkronisasi pasal pidana untuk menghindari disparitas pemidanaan.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana di Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Anugerah Rizki Akbari, mengatakan, persoalan RKUHP tak hanya menyangkut masalah teknis seperti yang disampaikan pemerintah. Lebih dari itu, permasalahan juga menyangkut hal yang substantif.
Menurut dia, sebenarnya hal yang krusial bukan hanya 14 materi. Ada pasal lain yang juga masih bermasalah, seperti pasal penghinaan presiden dan lembaga negara. Keberadaan pasal itu dinilai bertolak belakang dengan tujuan pembentukan RKUHP, yakni dekolonialisasi dan demokratisasi.
Selain itu, permasalahan besar yang justru harus diantisipasi, menurut Anugrah, adalah hal-hal yang timbul pasca-pengesahan RKUHP. Permasalahan itu mencakup waktu transisi yang dinilai sangat pendek, yakni dua tahun, dan tidak jelasnya peta jalan dalam masa transisi tersebut. Demikian pula pihak yang nantinya akan memimpin proses transisi pasca-pengesahan RKUHP tidak jelas.