Pemekaran Tiga Provinsi Baru di Papua Tinggal Selangkah Lagi
Setelah disetujui disahkan dalam pembahasan tingkat pertama, tiga RUU DOB Papua akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR, Kamis ini. Artinya, tinggal selangkah lagi, tiga provinsi baru akan lahir di Papua.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru Papua disetujui untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk memperoleh persetujuan pengesahan menjadi undang-undang. Menurut rencana, rapat paripurna pengesahan ketiga aturan itu akan digelar pada Kamis (30/6/2022). Konsistensi dan keseriusan pembuat kebijakan untuk memberikan afirmasi bagi orang asli Papua akan sangat menentukan keberhasilan upaya pemekaran itu, sekaligus untuk meminimalkan potensi konflik di lapangan.
Ketiga RUU Daerah Otonom Baru (DOB), yakni RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, diputuskan dibawa ke Rapat Paripurna DPR setelah memperoleh persetujuan pada pembahasan tingkat pertama antara Komisi II DPR dan pemerintah dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/6/2022). Hadir mewakili pemerintah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Meski pengesahan ketiga RUU itu ditentang sejumlah kelompok masyarakat sipil dan sebagian warga Papua, tidak ada fraksi di DPR yang menolak pengesahannya. Begitu pula Komite I DPD yang dilibatkan dalam pembahasan ketiga RUU menyetujui pengesahan. Menurut rencana, Rapat Paripurna DPR dengan agenda persetujuan pengesahan ketiga RUU menjadi UU akan digelar pada Kamis (30/6/2022).
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pemekaran Papua itu tidak tiba-tiba dan telah melalui proses panjang, termasuk karena adanya masukan dari perwakilan masyarakat Papua ke DPR. Ide itu bahkan sudah muncul sejak 2002, yakni usulan pemekaran Provinsi Papua Selatan. Beberapa tokoh daerah juga memunculkan aspirasi tersebut, termasuk Gubernur Papua Lukas Enembe.
”Secara embrio konkretnya, ide tersebut muncul secara intensif dalam pembahasan revisi UU Otonomi Khusus. Sejak itu, kami di Komisi II cukup intensif berkomunikasi dengan pemerintah dan Kementerian Dalam Negeri. Sampai muncullah inisiatif dari Komisi II untuk menyusun naskah akademis dan draf RUU,” kata Doli, Selasa.
Dengan persetujuan terhadap tiga RUU DOB Papua tersebut, Doli mengatakan, pihaknya menekankan pada dua hal, yakni penerapan afirmasi atau keberpihakan pada eksistensi orang asli Papua, serta menghindari migrasi atau perpindahan orang dari luar Papua secara besar-besaran ke Papua. Dua penekanan itu merupakan hasil penyerapan aspirasi anggota Panja RUU DOB Papua saat mengunjungi Papua, 23-26 Juni 2022.
Dalam kunjungan kerja tersebut, anggota Panja RUU DOB Papua bertemu dengan kelompok perwakilan masyarakat Papua, seperti kepala daerah di 29 kota/kabupaten, panitia pemekaran DOB, masyarakat adat, tokoh pemuda, Pangdam XVII Cenderawasih, Kepala Polda Papua, dan Kejati Papua.
”Semuanya kami undang, dan kesimpulannya, mereka, masyarakat Papua, menerima dengan tangan terbuka pemekaran ini dengan beberapa catatan. Pertama, tecermin adanya afirmasi atau keberpihakan kita pada eksistensi orang asli Papua dan kita menghindari migrasi besar-besaran,” kata Doli.
Orang asli Papua
Untuk merealisasikan hal itu, panja telah menyepakati pengisian formasi birokrasi, aparatur sipil negara (ASN), dalam struktur pemerintahan daerah yang baru atau lama itu harus mengakomodasi 80 persen orang asli Papua. Ketentuan Pasal 21 RUU DOB Papua juga mengatur rincian mengenai kebijakan afirmasi ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pembicaraan mengenai afirmasi ini juga telah disepakati saat rapat antara Komisi II DPR dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ad interim Mahfud MD di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Soal penempatan ASN dengan kebijakan afirmasi terhadap orang asli Papua di tiga daerah baru, Mahfud mengatakan, pemerintah dapat menerima dan mendukungnya. Kebutuhan ASN di tiga DOB Papua nantinya, antara lain, dapat dipenuhi dari tenaga honorer dan calon pegawai negeri sipil formasi 2021 dari provinsi induk, penerima beasiswa S-2 asal Papua sebanyak 434 orang, dan lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebanyak 487 orang.
Mahfud menambahkan, agar pelaksanaan berlangsung cepat dan efisien serta pengisian ASN di DOB Papua dapat segera dilakukan, ada tiga mekanisme yang dapat ditempuh. Pertama, pengukuhan dalam jabatan bagi yang telah menduduki jabatan setara yang masih satu rumpun jabatan dari provinsi induk. Kedua, melakukan uji kesesuaian bagi pegawai yang memiliki jabatan setara dalam rumpun jabatan yang berbeda.
”Ketiga, melakukan seleksi terbuka dan kompetitif berdasarkan peraturan perundang-undangan apabila tidak ada kesesuaian dengan jabatan, baik di dalam lingkungan Provinsi Papua maupun di luar Papua,” kata Mahfud yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Selain itu, pemerintah mempertimbangkan untuk memperbolehkan batas maksimal usia ASN yang masuk bekerja dalam birokrasi DOB Papua, yakni berusia 50 tahun. Hal ini sebagai kebijakan dispensasi yang juga diatur di dalam Pasal 21 RUU DOB Papua.
Doli mengatakan, ketentuan ASN 80 persen orang asli Papua ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dan DPR untuk menjaga eksistensi orang asli Papua, termasuk kultur dan adat-istiadatnya.
Antisipasi persoalan
Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Tryatmoko mengatakan, kebijakan afirmasi kepada orang asli Papua harus konsisten dan benar-benar dijalankan, termasuk dengan merekrut mereka dalam birokrasi daerah baru. Sebab, selama ini hal itu menjadi hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Papua.
”Perekrutan 80 persen orang asli Papua itu harus benar-benar dijalankan dan migrasi itu harus dibatasi karena ada sentimen lokal yang memandang migrasi besar-besaran ini menjadi persoalan bagi orang Papua. Hal ini bisa berdampak pada situasi keamanan di Papua,” ujar Mardyanto.
Namun, untuk menjamin birokrasi di daerah baru berjalan efektif dan efisien tetap diperlukan pelatihan dan peningkatan kompetensi. Hal ini pula yang sedang dipikirkan oleh sejumlah lembaga, termasuk BRIN, untuk mengembangkan kompetensi orang Papua dalam mengisi birokrasi di tingkat lokal.
”Ada kemungkinan juga pengisian ASN di DOB Papua itu diambilkan dulu dari kabupaten di wilayah baru tersebut. Namun, ketika ASN diambil dari wilayah kabupaten, pasti akan ada kebutuhan rekrutmen baru ASN di kabupaten bersangkutan,” katanya.
Dengan pengesahan RUU DOB Papua yang tinggal selangkah lagi, menurut Mardyanto, hal lain yang harus diantisipasi pemerintah ialah potensi konflik lokal dalam pengisian pejabat daerah dan kepala daerah dalam Pilkada 2024. ”Konflik lokal bisa sangat keras dalam Pilkada 2024 untuk mengisi posisi di provinsi baru. Oleh karena itu, hal ini harus diantisipasi jauh-jauh hari,” ujarnya.
Anggota Panja RUU DOB Papua DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Komarudin Watubun, mengatakan, persetujuan terhadap RUU DOB Papua ini hanyalah langkah awal, tetapi harus ditindaklanjuti dengan keseriusan pemerintah dalam penganggaran dan pembiayaan. ”Pemekaran daerah di Papua memerlukan dukungan kepastian anggaran dari Kementerian Keuangan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma mengatakan, kalau pemerintah benar-benar serius mengatasi kemiskinan di Papua dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemekaran, diperlukan alokasi dana sebesar 1 persen dari dana alokasi umum bagi setiap provinsi baru. Dana ini diharapkan dapat mengungkit upaya membangun daerah pemekaran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, DPD berpendapat, daerah di Papua akan tumbuh apabila infrastruktur ekonomi dibangun.