Wacana koalisi partai politik masih dipandang lebih memberi panggung yang mengedepankan kepentingan elite. Publik cenderung melihat kepentingan rakyat belum menonjol dalam proses pembentukan koalisi partai politik.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Kecenderungan koalisi di antara partai politik yang dianggap lebih elitis tergambar dari penilaian publik dalam jajak pendapat Litbang Kompas awal Juni 2022. Sebagian besar responden (66,3 persen) menilai upaya partai politik membangun koalisi menuju Pemilu 2024 cenderung lebih mengedepankan kepentingan partai politik dan elite partai.
Sebaliknya, pendapat yang mengatakan proses pembangunan koalisi partai lebih mengutamakan kepentingan rakyat hanya disebutkan oleh seperempat bagian responden. Sikap ini bahkan ditunjukkan oleh separuh lebih dari kelompok responden yang mengikuti perkembangan pemberitaan terkait langkah-langkah partai politik membangun koalisi demi kepentingan Pemilihan Presiden 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dari sisi tingkat pendidikan, kelompok responden dengan pendidikan tinggi cenderung lebih kritis menilai langkah partai membangun koalisi. Dari kelompok responden pendidikan tinggi, hanya 8,4 persen yang menjawab koalisi partai lebih mengedepankan kepentingan rakyat. Sisanya, mayoritas menilai koalisi partai hanya untuk kepentingan elite.
Sebagian besar responden (66,3 persen) menilai upaya partai politik membangun koalisi menuju Pemilu 2024 cenderung lebih mengedepankan kepentingan partai politik dan elite partai.
Hal ini cenderung berbeda dengan kelompok responden berlatar belakang pendidikan dasar. Meskipun secara umum juga menilai koalisi politik jelang pemilu ini lebih banyak menguntungkan partai, setidaknya sepertiga dari kelompok responden ini masih percaya langkah partai membangun koalisi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pandangan publik yang menilai koalisi partai politik lebih mengedepankan kepentingan partai dibandingkan kepentingan rakyat sebangun dengan pendapat soal pertimbangan-pertimbangan partai membangun koalisi. Kesamaan kepentingan politik praktis lebih menonjol disebutkan dibandingkan kesamaan ideologi ataupun program partai. Artinya, di mata responden, koalisi tak ubahnya langkah pragmatis untuk kemenangan di pemilu.
Jawaban kesamaan kepentingan politik praktis disebutkan oleh 67 persen responden dibandingkan pertimbangan ideologi ataupun program partai politik. Lagi-lagi, penilaian ini lebih banyak disebutkan kelompok responden pendidikan tinggi yang memang cenderung lebih kritis.
Sikap konstituen
Menariknya, penilaian terhadap langkah-langkah partai politik membangun koalisi yang lebih mengedepankan kepentingan partai ini juga diakui responden pemilih dari partai-partai tersebut. Sebagai gambaran, kita lihat kelompok responden dari partai-partai politik besar, seperti PDI-P, Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Rata-rata dari responden yang juga konstituen partai-partai itu menyebut langkah partai membangun koalisi hanya untuk kepentingan partai dan elite.
Hal yang sama bisa dilihat dari jawaban responden dari pemilih partai-partai tersebut terkait pertimbangan koalisi. Pertimbangan politik praktis rata-rata disebutkan oleh sebagian besar responden yang juga pemilih dari partai-partai politik itu. Hal ini jadi sinyal bahwa partai-partai semestinya perlu memperhatikan bagaimana aspirasi konstituennya, terutama dalam mengambil langkah-langkah menuju koalisi.
Meskipun penilaian pertimbangan politik praktis lebih menonjol, pertimbangan kesamaan ideologi dan program partai juga mendapat tempat di sebagian responden. Kelompok responden dari pemilih PDI-P, PKB, dan PKS, misalnya, cenderung lebih banyak menyebutkan kesamaan ideologi sebagai pertimbangan membangun koalisi. Survei periodik Litbang Kompas periode Juni 2022 juga merekam bagaimana ketiga partai itu memiliki bobot ideologi lebih menonjol dibandingkan partai politik lain.
Konsistensi
Selain kecenderungan koalisi lebih dilihat sebagai langkah pragmatis partai politik, jajak pendapat Litbang Kompas juga merekam bagaimana publik cenderung meragukan konsistensi bangunan koalisi yang sudah terbentuk akan lebih mapan dan permanen, khususnya setelah pemilu digelar. Hal ini semakin mempertegas penilaian soal betapa pragmatisnya sebuah koalisi dibangun.
Sebut saja sikap responden yang menilai keberadaan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang menjadi koalisi pertama yang terbentuk menjelang Pemilu 2024. Koalisi yang dibangun Golkar, PAN, dan PPP ini memiliki modal 148 kursi DPR (25,7 persen) dan sudah memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden. Sayangnya, koalisi ini diyakini tidak akan bertahan lama, bahkan cenderung diragukan akan bertahan menjelang Pemilu 2024.
Menariknya, anggapan ini juga banyak disampaikan oleh kelompok responden pemilih dari partai-partai yang tergabung dalam KIB. Dari responden pemilih Golkar, misalnya, separuh lebih (64,5 persen) tidak yakin KIB akan konsisten dalam koalisinya, terutama jika nanti mengalami kekalahan di pemilihan presiden.
Tentu, pandangan ini tidak lepas dari jejak sejarah koalisi partai politik, khususnya di pemilu terakhir pada 2019. Rekam jejak koalisi hasil Pemilu 2019, misalnya, partai politik yang sebelumnya ”berseberangan” dalam pilihan politik di pemilihan presiden, ketika kalah ujung-ujungnya juga bergabung dalam pemerintahan. Pada akhirnya, konsistensi dalam memperkuat koalisi menjadi ukuran bagi penilaian publik soal sejauh mana masa depan koalisi tersebut berlangsung.
Apalagi jika mengacu pada perkembangan terakhir, setelah KIB dideklarasikan pada 4 Juni 2022 tanpa menyebutkan calon presiden yang diusung—yang diwujudkan dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh ketiga ketua umum partai yang tergabung dalam KIB—sejumlah gerakan politik dari partai- partai lain pun bermunculan.
Sebut saja Partai Nasdem. Hasil rakernas partai ini menyebutkan, meskipun belum memastikan koalisi, partai ini menjadi yang pertama merekomendasikan nama calon presiden, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Setelah mengeluarkan rekomendasi, Nasdem menerima kunjungan dari Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Ketiga partai ini disebut-sebut berpotensi membangun koalisi karena sudah memenuhi minimal 20 persen kursi DPR. Jika bergabung, ketiga partai ini mengumpulkan 163 kursi (setara 28,3 persen).
Jika koalisi di atas terbangun, potensi terbentuknya tiga atau empat koalisi bisa saja terjadi. Tinggal bagaimana arah koalisi yang dibangun PDI-P. Sebagai partai dengan modal 128 kursi (22,3 persen), PDI-P bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain. Apalagi dalam rakernas pekan lalu, PDI-P memberikan sinyal sulit menjalin kerja sama atau koalisi dengan Partai Demokrat dan PKS.
Jika arahnya demikian, tinggal posisi Partai Gerindra dan PKB yang berpotensi menjadi mitra koalisi PDI-P. Jika ketiganya jadi berkoalisi, proyeksi ada tiga koalisi di Pemilu 2024 akan terjadi. Namun, jika PDI-P percaya diri maju di pemilihan presiden tanpa koalisi, potensi empat koalisi bisa terjadi. Hal ini dengan asumsi Gerindra dan PKB jadi satu paket koalisi sendiri dengan modal 136 kursi (23,7 persen).
Tentu pada akhirnya bangunan koalisi yang tengah diupayakan partai politik saat ini semestinya tak mengabaikan kepentingan rakyat. Bagaimanapun kemenangan partai di pemilu, yang kemudian diwujudkan dengan kursi di parlemen, sejatinya partai itu tengah mengemban mandat dari rakyat.