Bayang-bayang Plagiarisme Seni di NFT
Persoalan plagiarisme atau yang dikenal dengan istilah ”copyminter” membayangi para kreator yang menjual karyanya melalui NFT atau ”non-fungible token”. Salah satu cara mengatasinya dengan melaporkan bersama komunitas.
NFT atau non-fungible token seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan bagi para kreator seni. Satu sisi menjadi pasar baru bagi kreator untuk menjual karyanya, tetapi di sisi lain persoalan plagiarisme atau yang dikenal dengan istilah copyminter membayangi mereka. Karya sang kreator diplagiat dan dijual dengan mudah tanpa ada pelindungan.
Perasaan sedih dan senang itu dirasakan Imelda Victoria Nauli Hutabarat (37), ilustrator asal Tangerang Selatan, Banten. Ia senang karena karyanya sampai diplagiat berarti memiliki nilai jual, tetapi juga sedih karena merasa dibohongi.
”Aku sudah buat susah payah dengan waktu dan effort yang banyak. Itu ga adil karena dicurangi dan dibohongi. Aku seperti dilibatkan dalam kegiatan membohongi dengan menggunakan karyaku,” tutur Melda, Selasa (21/6/2022).
Sejak Desember 2021 lalu, ada karyanya yang mulai diplagiat dan dijual di platform OpenSea, marketplace atau lokapasar NFT. Hal yang mengejutkan, akun tersebut juga menjual karya teman-temannya yang diplagiat.
Alhasil, mereka pun bersama-sama melaporkan plagiarisme yang dilakukan akun tersebut ke situs yang bersangkutan dan media sosial yang digunakan untuk promosi. Meskipun akun tersebut masih ada, tetapi kolektor tidak akan membeli karya yang dijual karena tahu bahwa karya tersebut hasil plagiarisme.
Kasus plagiarisme karya yang dijual NFT terjadi karena keuntungan yang tidak kecil. Melda setidaknya mendapatkan 0,15 ETH (aset kripto Ethereum) sampai 0,5 ETH dari hasil karya yang dijualnya. Per 1 ETH memiliki nilai 1.129,10 dollar AS. Jika dikonversikan ke rupiah, senilai sekitar Rp 16 juta. Apabila kolektor pertama menjual ke kolektor kedua, ia masih memperoleh pendapatan 10 persen dari penjualan tersebut.
”Bisa dapat 10 persen (dari penjualan). Istilahnya tidak ada produk, kita bisa tetap mengiklankan. Ini menguntungkan kolektor dan kreator,” tuturnya.
Sebagai ilustrator, Melda tak bisa menutup mata terhadap kasus plagiarisme. Karena itu, seorang kreator harus bisa membuat nama dan karyanya dikenal publik. Semakin dia dikenal, maka calon pembeli pun akan bisa membedakan mana yang asli dan plagiat. Salah satu cara paling efektif untuk memperkenalkan karya adalah melalui media sosial dan bergabung dengan komunitas.
Hal senada diungkapkan oleh ilustrator asal Jakarta, Addien Fachruroji (29). Menurut dia, sulit untuk mengetahui proses plagiarisme suatu karya terjadi di NFT. Sebab, kreator tidak mungkin mengecek satu per satu akun di NFT. Usaha yang bisa dilakukan oleh kreator hanya dengan melaporkan akun plagiator, baik di lokapasar, maupun media sosial yang digunakan.
Baca juga: Selisik di Balik Sensasi NFT
Menurut Addien, akan lebih efektif lagi ketika bergabung dengan komunitas, lalu bersama-sama menyampaikan bahwa akun tersebut telah melakukan plagiarisme. ”Satu akun kita ungkap (telah melakukan plagiarisme). Ketika berita bahwa akun tersebut telah berbohong, orang tidak akan membeli karya yang dijual,” ungkap anggota komunitas ID NFT tersebut.
Ia mengungkapkan, meskipun copyminter telah mendapatkan keuntungan finansial, ketika kreator mampu membongkar kasus plagiarisme, ia akan mendapatkan nama baik dan semakin dikenal. Dari sejumlah kasus yang pernah ditanganinya, copyminter melakukan plagiarisme seluruh karya tanpa usaha untuk mengubahnya sedikit pun. Hal itu tentu saja merugikan kreator yang telah berusaha membuat karya dengan sebaik mungkin.
Manfaatkan komunitas
Dikutip dari The New York Times, OpenSea telah menjadi pasar NFT yang dominan dan salah satu perusahaan rintisan kripto dengan profil tertinggi dalam 18 bulan terakhir. Perusahaan ini telah mendapatkan lebih dari 400 juta dollar AS dari investor dengan nilai valuasi 13,3 miliar dollar AS.
Akan tetapi, besarnya keuntungan yang diperoleh OpenSea tidak berbanding lurus dengan pelayanan. Banyak pengguna yang mengeluh bahwa OpenSea lambat memblokir penjualan NFT yang dilakukan oleh peretas. Selain itu, karya seni yang diplagiat juga telah menjamur. Situs komunitas desainer grafis DeviantArt mengidentifikasi ada lebih dari 290.000 karya plagiarisme di OpenSea dan lokapasar NFT lainnya.
Melalui cuitan di akun Twitter-nya, OpenSea pada akhir Januari 2022 mengakui bahwa lebih dari 80 persen NFT yang dibuat dan dijual melalui platform tersebut adalah hasil plagiarisme, koleksi palsu, dan spam.
Melihat lemahnya perlindungan hak cipta di lokapasar NFT dan maraknya kasus plagiarisme, komunitas NFT juga bahu-membahu berusaha mengatasi persoalan tersebut seperti yang dilakukan NFT Indonesia. Pendiri NFT Indonesia Hendra Maulana mengungkapkan, ia bersama komunitasnya berusaha membantu para kreator yang karyanya diplagiat.
”Ketika ada satu karya mereka di-copyminter di Opensea, lalu wara-wara di Twitter dan tag saya, saya laporkan ke situsnya,” ungkap Hendra.
Ia menceritakan, biasanya kolektor NFT tidak memiliki kesadaran untuk mencari tahu sebelum melakukan pembelian. Situasi tersebut dimanfaatkan copyminter yang biasanya memiliki jaringan luas. Berbeda dengan kreator yang lebih fokus berkarya.
Jaringan tersebut cukup terorganisasi seperti ada bagian yang mengirimkan di Twitter lalu di-retweet dan disukai oleh akun yang berada di jaringan tersebut. Alhasil, jaringan copyminter bisa menemukan calon pembelinya dan berhasil menjual karya yang diplagiatnya.
Biasanya karya seni digital yang banyak diplagiat, apalagi gambar profil yang sangat mudah laku dan mudah diplagiat. Ironisnya, copyminter mengambil secara utuh karya tersebut dan menjual di NFT atas nama dirinya.
Saat ini, satu-satunya cara yang bisa ditempuh oleh komunitas adalah dengan melaporkan akun-akun yang diduga melakukan plagiarisme. ”Ketika sudah ketemu (akun copyminter) lapor di Twitter. Kalau ketemu akunnya di marketplace, kita lapor ke dua-duanya,” kata Hendra.
Menurut Hendra, plagiarisme karya di NFT, khususnya di lokapasar OpenSea, sangat mudah terjadi karena tidak ada proses penyaringan. Semua karya bisa diterima oleh OpenSea. Di sisi lain, kreator kesulitan untuk melaporkan plagiarisme tersebut sebagai sebuah pelanggaran hak cipta. Sebab, sulit menemukan identitas asli dari copyminter tersebut.
UU Hak Cipta
Analis Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM, Stevanus Rionaldo, mengatakan, Undang-Undang Hak Cipta sudah jelas mengatur bahwa proses komersialisasi dari sebuah ciptaan tidak boleh menggunakan kekayaan intelektual orang lain tanpa izin.
”Tidak boleh mencuri. Itu memang harus karya orisinal. Orisinal bukan berarti baru. Orisinal itu artinya di situ buatan dia sendiri,” kata Rio.
Ia menjelaskan, penjualan melalui NFT adalah proses komersialisasi, sama dengan ketika sebuah karya diperjualbelikan secara fisik.
Adapun plagiarisme tidak melulu mengambil satu karya secara utuh, tetapi juga bagian-bagian kecil dari karya orang lain lalu dikompilasi tanpa ada sebuah modifikasi yang orisinal. Namun, jika orang tersebut mengambil bagian dari sebuah karya yang diperbolehkan oleh pemilik karya tersebut, maka tidak menjadi persoalan. Apabila mengambil dari karya seniman lain tanpa ada izin, hal itu dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
Baca juga: NFT dan Seni Merawat Keguyuban
Subkoordinator Pertimbangan Hukum dan Litigasi Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkumham Achmad Iqbal Taufiq menambahkan, delik pidana di dalam UU Hak Cipta ada di aduan. Terkait dengan pidana, ciptaan yang pertama kali jadi atau diumumkan secara otomatis dilindungi oleh undang-undang.
”Pelanggaran hak cipta itu bisa terjadi secara seluruh atau sebagian atau substansial. Jadi, kalau kita punya hak, merasa keberatan dipersilakan (mengadukan). Artinya, bisa melalui jalur pidana atau take down melalui aplikasinya. Itu terserah. Opsi bisa dilakukan sepanjang mengadukan hal tersebut,” kata Iqbal.
Adapun untuk proses pemblokiran melalui aplikasi, DJKI akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Bagi yang punya aduan terkait dengan kekayaan intelektual dapat melaporkan melalui https://e-pengaduan.dgip.go.id/.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi telah mengingatkan platform transaksi NFT untuk tidak memfasilitasi penyebaran konten yang melanggar peraturan perundang-undangan, baik berupa pelanggaran ketentuan pelindungan data pribadi maupun pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahan dan peraturan pelaksananya, mewajibkan seluruh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memastikan platform-nya tidak digunakan untuk tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan.
”Pelanggaran terhadap kewajiban yang ada dapat dikenai sanksi administratif, termasuk di antaranya pemutusan akses platform bagi pengguna dari Indonesia,” kata Dedy melalui keterangan tertulis.
Tak terhindarkan
Menurut Akademisi di Jurusan Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Kurator Galeri Nasional Indonesia, Sudjud Dartanto, plagiarisme dalam menyalin karya sebagian atau keseluruhan dari sebuah karya seni tidak akan terhindarkan di era teknologi rantai blok atau blockchain.
Meskipun demikian, adanya NFT sangat menguntungkan kreator. Sebab, sebuah karya akan teregistrasi ke sebuah sistem rantai blok. ”Blockchain ini prinsipnya melindungi aset digital. Sebelumnya, perlindungan aset ini tidak ada caranya,” ungkap mahasiswa Doktoral Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang melakukan riset terkait karya seni digital yang diunggal ke metaverse (metasemesta), terutama NFT tersebut.
Sudjud menjelaskan, karya yang sudah teregistrasi akan mendapatkan kode persandian. Nomor seri yang diperoleh tersebut menyatakan sebagai sebuah autentitas. Meskipun demikian, persoalan plagiarisme tetap bisa terjadi dalam ekosistem teknologi, terutama di NFT. Sebab, saat ini ada banyak lokapasar, sedangkan pengelolanya hanya bisa melakukan tindakan berupa pernyataan suatu karya itu sebagai plagiarisme ketika diminta oleh kreator. Selain itu, rantai blok akan tetap meregister apapun itu, baik asli maupun tidak.
Karena itu, solusi yang bisa ditempuh kreator atau seniman kripto adalah dengan menggunakan keistimewaan NFT yang berbasis komunitas. Komunitas bersama-sama melakukan validasi. Sesama kreator menyampaikan pernyataan melalui akun Twitter yang menjadi identifikasi pemilik entitas NFT. Cara lainnya melalui aplikasi Discord yang banyak digunakan oleh gamer dalam berinteraksi. Para kreator bisa menyatakan adanya plagiarisme di dalam aplikasi ini.
Dari perspektif seni, kata Sudjud, dalam fenomena kontemporer dan modern, suatu karya memuliakan autentitas bahasa artistik sehingga bisa terjadi publikasi copyminting. Dalam praktik karya seni, timbul budaya massal yang selama ini tidak menjadi persoalan. Seniman merayakan kutipan tanda, seperti seniman Amerika Serikat Andy Warhol yang sering menggunakan produk perusahaan dalam karyanya. Itu dinyatakan sebagai milik Andy dan masyarakat seni kontemporer tidak mempersoalkannya.
Oleh karena itu, kreator harus punya wawasan sejarah seni kreatif sehingga bisa membedakan mana kecurangan dan tendensi seni dalam praktik pengutipan. Seniman juga harus menyatakan tujuan pengutipan tanda tersebut.
”Saat melakukan minting ini harus menyatakan tujuannya apa. Kreator juga harus hati-hati melakukan kutipan tanda karena prinsip teknologi blockchain itu kan dalam konteks melindungi aspek digital terkait kepemilikan,” kata Sudjud.
Di sisi lain, kata Sudjud, negara perlu masuk dalam ekosistem teknologi rantai blok. Sebab, saat ini bentuk validasi yang ada dilakukan secara kolektif. Orang butuh kepastian perlindungan hukum.
Menurut akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan anggota Kehormatan Asosiasi Blockchain Indonesia, Budi Rahardjo, saat ini secara teknik sulit mengecek suatu karya yang diunggah di NFT tersebut asli atau plagiat. Namun, Budi meyakini, suatu saat akan ada mesin yang bisa dipasang untuk mengecek orisinalitas tersebut. Sama seperti ketika seseorang mengunggah jurnal, di mana saat ini sudah ada perangkat lunak untuk mengecek karya tersebut asli atau hasil plagiarisme.
”Kalau di dunia jurnal, ada software untuk mengecek makalah yang dibuat mahasiswa itu plagiat atau bukan. Software ini akan memberi tahu berapa persen unsur plagiatnya,” ujarnya.
Menurut Budi, jika ada perangkat lunak serupa yang bisa dipasang di NFT, hal itu bisa mengurangi plagiarisme tersebut. Selain itu, perlu ada jaminan. Ketika karya yang dijual merupakan hasil plagiarisme, maka harus mengembalikan uang hasil penjualannya. Tak hanya itu, perlu juga ada sistem untuk pelacakan ulang terhadap akun seseorang.
Budi menegaskan, NFT perlu dukungan secara teknis dari sisi teknologi maupun nonteknis seperti kebijakan dan kontrak untuk membuatnya menjadi lebih banyak manfaat daripada mudaratnya.