Pembahasan Pemekaran Papua Tidak Boleh Terburu-buru
Pembahasan daftar inventarisasi masalah atau DIM tiga rancangan undang-undang terkait pemekaran provinsi di Papua hanya berlangsung sekitar empat setengah jam. Pembahasan pemekaran ini diharapkan tidak terburu-buru.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan daftar inventarisasi masalah atau DIM tiga rancangan undang-undang terkait pemekaran provinsi di Papua hanya berlangsung selama sekitar empat setengah jam. Sementara publik berharap pembahasan terkait pemekaran provinsi di Papua tidak terburu-buru agar ke depan tidak menjadi persoalan.
Pembahasan sebelumnya dilakukan oleh panitia kerja Komisi II DPR bersama dengan Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, serta perwakilan dari Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Dalam pembahasan ini, DIM yang disusun oleh DPD tidak bisa dibahas karena berbeda jumlahnya dengan rancangan undang-undang (RUU) seperti yang diusulkan DPR dan rumusan pemerintah. DIM yang disusun DPD sebanyak 173 buah, sedangkan rumusan yang dibuat DPR dan pemerintah sebanyak 151 buah. Adapun DIM yang dibuat oleh DPD ternyata baru disampaikan pada Selasa (21/6/2022). Akibatnya, DIM DPD tidak sempat disandingkan bersama DIM DPR dan pemerintah.
”Kalau dari awal DIM sama, itu tidak masalah. Masalahnya, DIM dari DPD melebih DIM dari kita. Mungkin sekarang sampai 150 sama, 20 lain sama yang mana? Kita bingung DIM sampai 151, di antara 151 ada yang tetap, tetapi DPD 170 yang tetap. Kita punya sampai 151,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung saat memimpin rapat panitia kerja RUU tentang pembentukan provinsi di Papua, Rabu (22/6/2022), di Gedung Parlemen, Jakarta.
Kalau dari awal DIM sama, itu tidak masalah. Masalahnya, DIM dari DPD melebih DIM dari kita. Mungkin sekarang sampai 150 sama, 20 lain sama yang mana? Kita bingung DIM sampai 151, di antara 151 ada yang tetap, tetapi DPD 170 yang tetap. Kita punya sampai 151.
Pembahasan secara intens hanya terkait dengan keuangan di daerah pemekaran dan menyangkut Majelis Rakyat Papua. Pembahasan mengenai pengisian jumlah kursi DPR, DPD, dan DPR Papua Selatan serta penetapan daerah pemilihan sempat berjalan alot. Namun, akhirnya disepakati masuk dalam ketentuan peralihan. Sisanya praktis mudah disetujui oleh semua pihak.
DIM yang dibahas pun hanya untuk Provinsi Papua Selatan. DIM yang ada di Papua Selatan dianggap dapat diterapkan untuk dua provinsi lain, yakni Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah.
Adapun dalam rapat ini, nama Provinsi Papua Pegunungan Tengah diganti dengan Provinsi Papua Pegunungan seperti usulan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Komarudin Watubun.
Sementara Filep Wamafma mengingatkan, perihal teknis dukungan anggaran sangat penting untuk diperhatikan. Di sisi lain, pada 2024 harus ada anggota DPR dari Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Hal itu menjadi konsekuensi dari pemekaran di Papua.
Pemerintah juga harus membuktikan tujuan pemekaran ini menjawab persoalan di Papua, seperti kemiskinan dan keterbelakangan. Karena itu, sebelum dilakukan pemekaran, perlu ada kepastian anggaran yang jelas.
Ia menegaskan, pemerintah juga harus membuktikan tujuan pemekaran ini menjawab persoalan di Papua, seperti kemiskinan dan keterbelakangan. Karena itu, sebelum dilakukan pemekaran, perlu ada kepastian anggaran yang jelas.
Setelah pembahasan DIM, Komisi II melanjutkan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Sekretaris Daerah Provinsi Papua Ridwan Rumasukun, Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib, dan Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw. RDP berlangsung hampir dua jam.
Pemekaran paripurna
Ridwan mengungkapkan, pemda dan masyarakat Papua menginginkan pemekaran dilakukan secara paripurna di tujuh wilayah adat. Di samping itu, ketika pemekaran diresmikan, sumber daya aparaturnya berasal dari Provinsi Papua. Hal itu penting agar pengelolaan pemerintahan dapat langsung berjalan. Ia juga berharap keuangan untuk daerah pemekaran jangan terlalu rendah demi pembangunan yang lebih baik.
Adapun Timotius Murib berharap suara dari masyarakat Papua didengarkan karena dalam mengurus otonomi khusus harus hati-hati. Meskipun DIM sudah dibahas, menurut Timotius, perlu ada perjanjian antara Komisi II DPR dan rakyat Papua. Seharusnya proses pemekaran ini menunggu sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Suara dari masyarakat Papua didengarkan karena dalam mengurus otonomi khusus harus hati-hati.
”Kalau konflik terjadi, siapa yang bertanggung jawab? DPR harus ada langkah, minimal menunggu MK sampai ada kepastian hukum. Jangan terburu-buru, akan ada pro-kontra. Jadi, silakan proses dilakukan, tetapi kita hargai proses MK yang masih berlangsung hari ini,” kata Timotius.
Ia menambahkan, seharusnya ada kajian ilmiah dari Universitas Cenderawasih terkait Papua dan daerah otonom baru (DOB). Jangan sampai pembahasan pemekaran Papua ini tidak sesuai dan menabrak mekanisme hukum yang berlaku.
Jhony Banua Rouw mengungkapkan, dari sembilan fraksi di DPRP, ada tujuh fraksi yang menerima DOB dengan catatan, satu fraksi tidak berpendapat, dan satu fraksi menolak. Keputusan menerima karena pemekaran Papua direncanakan pemerintah pusat dan telah menjadi keputusan lembaga yang final. Sementara itu, penolakan terjadi karena ada kekhawatiran akan terjadi depopulasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah Papua.
Oleh karena itu, kekhawatiran tersebut harus direspons pemerintah pusat dan daerah dengan kebijakan nyata sesuai Pasal 76 Ayat (4) UU No 2/2021. ”Pemekaran harus menjamin orang asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial budaya,” kata Jhony.
”Lex spesialis” tak berarti dibahas cepat
Dihubungi secara terpisah, Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi mengatakan, UU DOB Papua memang lex spesialis atau bersifat khusus dari UU Otonomi Khusus Papua, tetapi bukan berarti dapat dibahas dengan cepat. Seperti DOB lain, seharusnya ada masa transisi dan persiapan sebelum undang-undangnya dibahas.
Meskipun masuk sebagai RUU kumulatif terbuka, seharusnya prinsip tata kelola pembentukan RUU yang transparan, partisipatif, dan akuntabel tetaplah dilaksanakan. Sebab, masyarakat Papua banyak yang protes terkait dengan pemekaran ini sehingga seharusnya didengarkan terlebih dahulu. Draf RUU, naskah akademik, DIM, dan dokumen legislasi lain seharusnya diumumkan secara proaktif.
Kalau ini dibahas secara cepat dan minim pelibatan publik, dikhawatirkan RUU DOB yang disahkan nanti tidak efektif untuk dilaksanakan serta tidak mampu menjadi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Papua.
”Kalau ini dibahas secara cepat dan minim pelibatan publik, dikhawatirkan RUU DOB yang disahkan nanti tidak efektif untuk dilaksanakan serta tidak mampu menjadi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Papua,” kata Ahmad.
Ia menambahkan, perbedaan DIM DPR dan DPD seharusnya disinkronkan, bukan menegasikan DIM yang satu dengan yang lain. Ini adalah preseden yang kurang baik dalam pembahasan UU. Ahmad menegaskan, UU ini sangat rawan digugat di MK.