Tuah Elektoral Partai Oposisi
Berada di luar pemerintahan tak selamanya berarti kekalahan bagi partai politik. Dalam dua dekade terakhir, parpol yang mengambil peran sebagai oposisi justru bisa mencuri simpati publik yang berujung elektabilitas.
Twibbon berisi pernyataan politik dan foto wajah para politisi Partai Demokrat mendominasi di antara 5.000 unggahan akun Instagram resmi @pdemokrat. Ide pokok setiap gagasan dituliskan dengan huruf kapital. Beberapa di antaranya juga diberi latar belakang merah, seolah memberikan penekanan.
”Wabah PMK (penyakit mulut dan kuku) merebak jelang Idul Adha, Demokrat minta pemerintah beri anggaran khusus,” sebagaimana tertulis dalam unggahan terakhir akun Instagram Partai Demokrat, Sabtu (18/6/2022). Judul besar itu diikuti dengan pernyataan senada dari anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Demokrat Suhardi Duka dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak yang sama-sama mengingatkan bahwa anggaran khusus penanganan penyakit mulut dan kuku diperlukan. Tanpa intervensi di ranah anggaran, mewabahnya penyakit tersebut dinilai bisa mengancam perekonomian peternak.
Penolakan terhadap rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) juga berulang kali diunggah dalam sepekan terakhir. Begitu pula harga minyak goreng yang belum juga turun sejak mengalami kenaikan pada akhir 2021.
Isu yang sempat mengemuka, kontroversial, dan memicu amarah publik pun masih disuarakan. Sepekan lalu, misalnya, akun tersebut mengunggah pernyataan Andi Arief, Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, terhadap kemunculan kembali wacana masa jabatan presiden tiga periode. Sebelumnya, penolakan terhadap wacana itu pernah memuncak dan memicu gelombang demonstrasi masyarakat di berbagai wilayah. Presiden Joko Widodo juga telah menyatakan, tak mau masa jabatannya diperpanjang.
Baca juga: Sedia Data Sebelum Berhadapan dengan Sipol
Tak hanya di media sosial, kritik dan masukan dari Demokrat terhadap berbagai kebijakan pemerintah juga terdengar dalam berbagai rapat di DPR. Fraksi Partai Demokrat, misalnya, pernah menyerahkan rekomendasi penanganan dampak pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina di berbagai sektor. Desakan untuk memberikan kejelasan nasib bagi 1,7 juta guru honorer, protes terkait mahalnya harga pupuk, dan seruan antiimpor hasil pertanian, bukan hal yang sulit untuk ditemukan dari 54 anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR.
Sejumlah kritik itu merupakan realisasi dari sikap Demokrat yang memilih untuk berada di luar pemerintahan sejak 2014. Sejak saat itu pula, partai yang didirikan Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu menjalani peran sebagai partai oposisi.
”Teringat filosofi Jawa, urip koyo cokro manggilingan, hidup seperti roda berputar. Demokrat pernah menjadi bagian dalam pemerintahan selama 10 tahun dan saat ini kami menjadi bagian di luar pemerintahan kurang lebih sama lamanya. Sehingga, seperti roda berputar, kami cukup mengerti betul cara menjalankan pemerintahan dan juga bisa mengerti rasanya menjadi oposisi,” kata Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono, saat ditemui Kompas di ruangannya, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/6/2022).
Sebagai oposisi, tambahnya, Demokrat berupaya adil. Oposisi tidak berarti sekadar menolak atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah, tetapi juga belum tentu menolak kebijakan yang belum sesuai aspirasi masyarakat. Prinsipnya, mendukung dan mengawal kebijakan yang sudah sesuai dengan mekanisme dan keinginan publik. Kemudian, mengkritisi keras sambil memberikan catatan dan solusi untuk hal-hal yang tidak berjalan sesuai koridor.
Namun, dengan peta politik yang tidak seimbang, yakni tujuh parpol berada dalam koalisi pemerintahan, sedangkan hanya dua parpol yang berada di luar, menjadi oposisi bukan perkara mudah. Berbagai kesulitan dan tantangan harus dihadapi.
”Seperti David vs Goliath, he-he-he,” kata Edhie sambil berkelakar.
Sekalipun kecil, partainya berusaha menjaga suara kritis melalui berbagai saluran. Mulai dari lobi di parlemen melalui mekanisme rapat paripurna, komisi, dan alat kelengkapan lainnya. Komunikasi langsung kepada publik melalui media massa. Juga memanfaatkan kanal media sosial. Namun, jika semuanya dinilai buntu, penggunaan interpelasi dan hak angket akan menjadi opsi yang dipilih.
Peningkatan elektabilitas
Edhie mengakui, tidak semua kritik yang disampaikan diterima oleh pemerintah. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang kemudian menjadi pertimbangan. Lebih dari itu, Demokrat melihat bahwa konsistensi mereka menyuarakan aspirasi akar rumput ditangkap oleh publik.
Baca juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik
Hal itu setidaknya terlihat dari tren elektabilitas yang terus menanjak selama dua tahun terakhir. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, elektabilitas partai yang kini dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono itu bergerak dari 4,7 persen pada Oktober 2019 kemudian terus konsisten meningkat hingga mencapai angka 11,6 persen pada Juni 2022.
Capaian itu menempatkan Demokrat pada posisi ketiga di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan elektabilitas 22,8 persen dan Partai Gerindra yang elektabilitasnya sebesar 12,5 persen. Dengan capaian tersebut, Demokrat juga telah menggeser posisi Partai Golkar yang elektabilitasnya kini ada di angka 10,3 persen.
Tren peningkatan elektabilitas ini pun membuat Demokrat akan terus berikhtiar untuk bisa meninggalkan posisi oposisi dengan memenangi Pemilu Legislatif (Pileg). ”Tidak ada partai yang bercita-cita menjadi oposisi, semuanya ingin merebut kepercayaan rakyat dengan memenangkan pemilu,” kata Edhie.
Jauh sebelum Demokrat, PDI-P lebih dulu mendapatkan tuah elektoral dari peran oposisi. Pada 2004—2014 atau sepanjang dua periode kepemimpinan Presiden Yudhoyono, PDI-P konsisten berada di luar pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah tak lepas dari kritik pedas. Mulai dari program bantuan langsung tunai, harga bahan bakar minyak, hingga politisasi isu pemberantasan korupsi.
Sekitar dua tahun sebelum Pemilu 2014, yakni pada Desember 2012, survei Litbang Kompas merekam tingkat elektabilitas PDI-P yang ada pada angka 13 persen. Kemudian enam bulan setelahnya, raihan itu naik hampir dua kali lipat, yakni 23,6 persen pada Juni 2013. Lonjakan elektabilitas dalam posisi oposisi itu yang selanjutnya mengantarkan PDI-P menjadi pemenang Pemilu 2014. Bahkan mengulangi kemenangan pada Pemilu 2019.
Kualitas oposisi
Namun, tak selamanya pula menjadi oposisi lantas menikmati peningkatan elektoral. Ini setidaknya bisa dilihat dari Partai Keadilan Sejahtera yang bersama Demokrat menjadi oposisi sejak 2014. Survei Litbang Kompas merekam, elektabilitas PKS yang menanjak dari 4,1 persen pada Agustus 2020 menjadi 6,8 persen pada Januari 2022, justru kembali merosot ke angka 5,4 persen pada survei periode Juni 2022.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan, baik peningkatan maupun penurunan elektabilitas partainya sangat dipengaruhi oleh kualitas peran oposisi yang dijalankan. Peran tersebut yang selama ini memberikan kekuatan dan karakter bagi PKS sehingga bisa menarik simpati publik.
”PKS hanya bisa kuat ketika kembali ke habitatnya sebagai checks and balances power, tidak bisa PKS menjadi partai manis yang mencoba membangun beauty contest di hadapan pemerintah,” ujarnya.
Menurut Mardani, isu transformasi dan kolaborasi yang belakangan diangkat PKS kemungkinan besar tidak sejalan dengan keinginan publik. Konstituen dinilai masih berharap parpol tersebut menjalankan peran oposisi yang konstruktif.
Peran untuk menjalankan fungsi kontrol pemerintah sebenarnya juga telah dibuat secara sistematis. Dalam Fraksi PKS di DPR terdapat arahan bagi semua anggota untuk selalu mengkritisi kebijakan pemerintah secara substantif dan berbasis data.
Cara penyampaian pandangan pun telah diatur, yakni secara sopan dan tidak kasar. Mardani mengaku, tidak jarang ia mendapatkan peringatan dari fraksi karena terlalu keras dalam mengkritik.
”Kadang-kadang mencari keseimbangan menjadi oposisi yang kritis, konstruktif, santun, dan tidak berlebihan itu memang susah juga,” ujar Mardani.
Baca juga: Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol
Gagasan alternatif
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, parpol yang berada di luar pemerintahan memang memiliki kesempatan untuk terus menaikkan tingkat elektabilitasnya. Sebab, mereka berpeluang untuk mengemukakan suara alternatif di tengah pro-kontra publik terhadap kebijakan pemerintah.
”Suara alternatif yang memberikan kritik terhadap sistem politik itu memang bisa mendorong popularitas dan elektabilitas secara umum,” kata dia.
Namun, akumulasi yang didapatkan setiap parpol bisa berbeda. Dalam kasus Demokrat dan PKS, misalnya. Capaian PKS tidak bisa segemilang Demokrat, karena menghadapi persoalan umum parpol berbasis massa Islam di Indonesia, yakni sentimen publik yang tidak terlalu menggembirakan. Label sebagai partai berbasis Islam juga belum bisa sepenuhnya meyakinkan publik karena umumnya masyarakat belum bisa menemukan perbedaan mendasar dengan parpol lain yang berciri nasionalis.
Selain itu, kata Hurriyah, tingkat elektabilitas PKS terpengaruh oleh perpecahan internal yang menyebabkan hengkangnya sebagian elite dan mendirikan Partai Gelora. Sebagian pemilih PKS diperkirakan beralih ke Partai Gelora.
Terlepas dari hal itu, ia melihat efek elektoral lebih besar seharusnya bisa diraih partai-partai oposisi saat ini seandainya mereka bisa lebih optimal menjadi corong aspirasi publik. Berkaca dari perumusan beberapa undang-undang, seperti UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, relatif tidak terlihat pertentangan yang substansial di antara fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah. Perumusan UU yang kontroversial itu pun berjalan mulus.
”Mereka memang mendapatkan sedikit (tambahan) simpati publik, tetapi publik sendiri sebenarnya tidak banyak berharap pada parpol yang ada di luar pemerintahan. Sebab, tidak ada politik gagasan muncul sebagai suara alternatif,” kata Hurriyah.
Baca juga: Adaptasi Partai Politik untuk Membidik Pemilih Muda
Menurut dia, untuk menggaet suara publik, parpol semestinya kembali pada fungsi representasi, yakni mewakili kepentingan masyarakat dan memformulasikannya sebagai kebijakan publik.
Hal itu juga perlu dilengkapi dengan kemampuan menghasilkan gagasan alternatif yang genuine demi kepentingan publik, dan dijalankan secara konsisten, baik di dalam maupun luar pemerintahan.