NFT, Peluang Menggiurkan bagi Bisnis Jurnalisme
Tren menyimpan karya dalam aset sertifikat digital ”non-fungible token” atau NFT ikut melanda media massa. NFT digadang-gadang menjadi sekoci baru bisnis media. Namun, tantangan juga membayangi tren itu.
Efek domino krisis pandemi Covid-19 menekan kinerja ekonomi dan bisnis global. Semua lini kehidupan terdampak, tak terkecuali bisnis media. Media cetak, terutama koran dan majalah, termasuk yang mengalami pukulan keras krisis pandemi.
Survei yang dilakukan Reuters Institutedi sejumlah negara mengungkap fenomena turunnya pembaca media cetak akibat pandemi. Pada 2020 didapati ceruk pasar media cetak di dunia sebesar 20 persen, turun dari sebelumnya 32 persen pada 2019. Riset Reuters Institute dan Universitas Oxford itu juga mengungkap bahwa ada pergeseran perspektif tentang sumber pendapatan perusahaan bagi media.
Survei dilakukan di 43 negara, termasuk Indonesia. Survei menunjukkan bahwa saat ini ada lima sumber pendapatan yang diandalkan perusahaan media, yaitu dari pengiklan, pelanggan, penyelenggaraan acara (event), e-dagang, dan donatur. Sayangnya, kelimanya menunjukkan tren penurunan (Kompas, 5/1/2022).
Kabar buruk lainnya, tren penurunan iklan itu diproyeksikan akan terus terjadi di masa depan. Penyebabnya adalah para pengiklan berpaling pada kanal media sosial yang terus berkembang dan diminati oleh masyarakat. Iklan media cetak harus bersaing dengan platform media sosial yang menyediakan layanan iklan terarah atau targeted ads. Dengan layanan itu, iklan bisa langsung ditujukan kepada pengguna media sosial dengan minat mereka yang spesifik. Dari sisi target market audiens, hal ini dinilai lebih efektif.
Gambaran situasi pelik bisnis media ini akhirnya mendorong media-media asing untuk berinovasi menciptakan sekoci baru sumber penghasilan. Koran lama New York Times di Amerika Serikat pada tahun 2021 mengubah salah satu kolomnya menjadi non-fungible token (NFT). Seorang pengisi kolom teknologi di NYT, Kevin Roose, mengatakan bergabungnya jurnalis dalam hiruk pikuk NFT adalah sebuah keniscayaan.
The Times adalah media massa pertama yang ikut mengeksplorasi kegunaan NFT. NFT sendiri adalah sertifikasi atau tag digital yang terhubung pada sebuah karya seni atau karya kreatif. Data seperti desain grafis, foto, dan berita disimpan dalam bentuk token di jaringan rantai blok (blockchain) dengan gagasan bahwa token itu unik dan langka. Pembelian menggunakan aset digital Ethereum (ETH).
Baca juga: NFT dan Seni Merawat Keguyuban
Sesuai dengan namanya, non-fungible, NFT tidak dapat dipertukarkan atau digantikan karena memiliki nilai atau keunikan tersendiri yang relatif sangat berharga bagi seseorang. Non-fungible juga berarti bahwa barang itu bersifat unik dan orisinal sehingga asetnya bisa dikuasai oleh satu orang.
Adapun majalah Time juga sudah mencetak dan sedang dalam proses menjual tiga sampul majalahnya. Kantor berita Associated Press (AP) yang berpusat di New York, AS, juga menjual koleksi foto yang pernah diambil selama 175 tahun bersejarah. Koleksi foto mulai dari foto luar angkasa, iklim, perang, hingga sejumlah karya terkenal dari fotografer AP telah dirilis sejak awal Januari 2022. Hasil penjualan koleksi foto bersejarah itu akan digunakan kembali untuk mendanai kegiatan jurnalismenya.
Kantor berita CNN tak mau kalah. Mereka meluncurkan karya berjudul ”The Vault” yang merupakan salah satu koleksi NFT dari momen berita teratas dalam sejarah 41 tahun.
Sekoci baru
Pakar media Agus Sudibyo saat diwawancarai, Kamis (16/6/2022), mengatakan, NFT memang bisa menjadi terobosan baru untuk menghadapi krisis bisnis yang dihadapi media-media di seluruh dunia. Model bisnis baru yang dijajaki oleh media, yaitu konten berbayar (paywall) untuk konten berkualitas, belum sepenuhnya berhasil melawan kuasa algoritma. Masyarakat masih lebih meminati konten berita gratis dibandingkan dengan konten berkualitas berlangganan.
Baca juga: "Bear Market" Aset Kripto, Akhir dari NFT?
Di dunia media digital, persaingan untuk merebut kue iklan begitu sengit. Dalam percaturan digital, kue iklan dikuasai oleh perusahaan raksasa Google dan Facebook. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bahkan menyebut 80 persen kue iklan lari ke kedua perusahaan raksasa digital itu. Jika penjualan konten unik dan menarik NFT berhasil, tentu ini bisa menjadi sekoci baru sumber penghasilan media.
”Untuk media massa, ini bisa dibilang kabar gembira. Ada satu inovasi dan peluang untuk menjual konten secara super-eksklusif,” kata Agus.
Meskipun demikian, menurut dia, tak semua konten jurnalistik menarik untuk dijual di NFT. Menurut Agus, ada sejumlah syarat atau kriteria konten jurnalistik unik menarik untuk dijual di NFT, misalnya konten yang mengandung unsur sejarah dan lokalitas. Jika media di Indonesia ingin mengikuti tren tersebut, dua konten tersebut dinilai memiliki nilai lebih untuk dipasarkan di lokapasar atau marketplace.
Agus juga mengingatkan, untuk mengikuti tren NFT, media massa juga harus berhitung apakah pendapatan yang diperoleh dari penjualan itu signifikan. Signifikan yang dimaksud dilihat setidaknya dari tiga parameter. Pertama, menghitung nilai penjualan NFT, bisa menghasilkan berapa persen dari total revenue penghasilan bulanan, kuartal, semester, hingga tahunan.
Ada sejumlah syarat atau kriteria konten jurnalistik unik menarik untuk dijual di NFT, misalnya konten yang mengandung unsur sejarah dan lokalitas. Jika media di Indonesia ingin mengikuti tren tersebut, dua konten tersebut dinilai memiliki nilai lebih untuk dipasarkan di lokapasar atau marketplace.
Agus menjelaskan, selama pandemi Covid-19, banyak media di Indonesia yang mengoptimalkan sumber penghasilan baru, yaitu penyelenggaraan acara publik. Misalnya, media mengorganisasikan seri webinar selama pandemi dan hasilnya bisa mencapai 20 persen dari total revenue.
Kedua, kalkulasi lain juga bisa dilihat dari berapa biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi karya NFT. Kemudian, biaya produksi itu dibandingkan dengan potensi penghasilan yang didapatkan. Ketiga, menghitung pertumbuhan penjualan produk jurnalistik NFT. Walaupun dari sisi total revenue jumlahnya masih kecil, jika pertumbuhannya pesat, bisa dipertimbangkan menjadi ceruk baru sumber penghasilan.
”Meskipun persentasenya masih kecil, sebagai bagian dari sumber penghasilan baru, itu lumayan. Apakah itu memberikan kontribusi penghasilan yang signifikan jika dihitung pendapatan per bulan, per triwulan, per semester atau per tahun,” terang Agus.
Peneliti Columbia University, Bernat Ivancsics, dalam artikel berjudul ”Blockchain in Journalism” yang dirilis di situs CJR.org tahun 2019 menyebutkan bahwa blockchain bisa menjadi solusi potensial bagi industri jurnalisme. Setiap hari, puluhan ribu cerita dihasilkan dalam industri media dengan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi berita yang rumit.
Dengan mengikuti tren blockchain, organisasi media dapat melacak metadata konten dengan lebih aman, seperti stempel waktu, hak cipta, kepengarangan, dan distribusi aset digital. Reporter atau jurnalis lepas bisa menghindari konten mereka diambil alih secara ilegal oleh orang lain. Konten berita yang telah tersindikasi hanya bisa berfungsi jika royalti dibayarkan kepada penyedia konten sesuai harga yang disepakati. Pengarsipan berita di blockchain juga dianggap mendorong tingkat keamanan lebih melalui catatan waktu dan tempat publikasi yang tak dapat diubah.
Dengan mengikuti tren blockchain, organisasi media dapat melacak metadata konten dengan lebih aman, seperti stempel waktu, hak cipta, kepengarangan, dan distribusi aset digital. Reporter atau jurnalis lepas bisa menghindari konten mereka diambil alih secara ilegal oleh orang lain.
”Bagi jurnalis dan organisasi berita, blockchain adalah hal baru yang berpotensi dapat dimonetisasi. Ini menggiurkan karena blockchain dapat digunakan sebagai solusi pembayaran mikro, pelacakan iklan digital, atau validasi hak cipta, yang semuanya mengamankan dan meningkatkan laba perusahaan media,” terang Ivansics.
Eksklusif
Agus juga berpandangan, kehadiran NFT dengan sifat eksklusifnya sebenarnya adalah antitesis dari adagium media sosial dengan karakteristiknya yang cenderung ingin membagikan berbagai konten kepada siapa pun (shareability). Di era media sosial, orang-orang seolah berlomba-lomba untuk membagikan apa pun milik mereka. Adagium ini juga berlaku pada era jurnalisme media digital.
Media berlomba secepat-cepatnya membagikan informasi yang mereka punya sehingga terkadang melanggar prinsip dan kaidah jurnalistik. Padahal, wartawan yang memiliki konten berkualitas bisa menjual karya jurnalistiknya kepada audiens tertentu. Dengan kehadiran platform NFT, kata Agus, peluang untuk memonetisasi karya lebih terbuka.
Pengajar Jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto, juga melihat tren NFT sebagai peluang. Namun, di Indonesia, tren itu tidak bisa diikuti oleh semua media. Hanya media-media lama yang memiliki kekayaan arsip, foto, infografik, video, dan karya jurnalistik lain yang memiliki unsur sejarah yang bisa mengikuti tren tersebut.
Dia menyebut koran Kompas yang berdiri sejak 28 Juni 1965 bisa dan siap mengikuti tren tersebut. Menurut Haryanto, dalam perjalanannya, Kompas telah merekam banyak momen bersejarah. Kompas ikut mengabadikan perjalanan bangsa di bawah kepemimpinan tujuh presiden Indonesia yang berbeda.
Kompas juga memiliki aset desain halaman muka dan foto-foto bersejarah yang berpeluang diburu oleh para kolektor, misalnya arsip berita, foto, dan halaman muka jatuhnya rezim otoritarian militer Soeharto.
”Harian Kompas memiliki banyak aset foto, judul-judul headline, dan desain halaman muka yang sudah beberapa kali memenangi ajang bergengsi World Association of News Publishers(WAN-IFRA). Ini tentu berpeluang untuk diminati para kolektor,” terang Haryanto.
Tanggung jawab kepada publik
Meskipun peluang NFT menggiurkan, Agus tetap mengingatkan bahwa sifat eksklusifnya bisa menjauhkan produk jurnalistik dari khitahnya. Menurut dia, jurnalisme bertanggung jawab kepada publik. Oleh karena itu, produk jurnalistik juga harus aksesibel bagi publik. Jika kemudian bersifat eksklusif pada kelompok kolektor, dampaknya pun kurang terasa bagi publik.
Menurut Agus, fenomena NFT ini pada akhirnya nanti akan mencapai titik keseimbangan baru di dunia media. Keseimbangan baru yang dia maksud adalah saat ini pengaruh dan kekuatan media sosial tidak terkalahkan. Media sosial dan digitalisasi media akhirnya membawa dampak pada jurnalisme kecepatan sehingga berita yang ditayangkan ke publik dangkal.
Kehadiran tren NFT ini setidaknya akan menyadarkan bahwa jurnalisme dengan konten berkualitas akan kembali dibutuhkan masyarakat. Lama-lama, masyarakat juga akan jengah dengan berita yang hanya mengejar clickbait.
Ignatius Haryanto menambahkan, salah satu dampak negatif dari tren digital adalah perkembangannya yang begitu pesat. Karena perubahan yang pesat itu, belum bisa dipastikan bisnis NFT akan berkelanjutan. Dia khawatir model bisnis ini bersifat rapuh dan hanya menjadi gelembung tren sesaat seperti batu akik dan tanaman hias. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk sepenuhnya masuk dalam tren bisnis NFT, media harus mengalkulasikan secara cermat.
”Menurut saya, NFT hanya sekadar bonus dari kerja-kerja jurnalistik yang unik, menarik, mendalam, investigatif media, sehingga karya-karya itu layak dijual untuk dikoleksi. Kalau kemudian ini dijadikan tujuan utama, rasanya tidak pas, karena NFT bagi media masih dalam tahapan eksperimen,” terang Haryanto.
Pada akhirnya, fenomena jurnalisme dan tren NFT mengingatkan kita pada teori Jay David Bolter dan Richard Grusin dalam buku Remediation: Understanding The New Media yang diterbitkan pada tahun 1999. Dalam buku itu, Bolter dan Grusin menyebut bahwa media-media baru akan memberikan dampak terhadap media-media lama secara bentuk, fungsi, ataupun budaya yang tercipta karenanya.
Ada dua kondisi yang digarisbawahi Bolter dan Grusin, yaitu, pertama, immediacy di mana media baru menggantikan media lama. Kedua, hypermediacy di mana media lama masih tetap bertahan karena masih ada yang menggunakannya. Dalam pandangan mereka, di luar dimensi sosial dan determinasi teknologi, ada dimensi ekonomi dalam proses remidiasi.
Secara bisnis, media baru akan memberikan nilai lebih dari sisi ekonomi terhadap media lama. Dengan demikian, media lama tak sepenuhnya mati. Media lama hanya bertransformasi, beradaptasi dengan format baru….