Presiden Jokowi Semestinya Pimpin Langsung Pemberantasan Korupsi
Turunnya kepuasan publik terhadap kinerja penegakan hukum semestinya ditanggapi dengan perbaikan kinerja. Jika tak ada perbaikan, publik akan makin skeptis dengan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi-Amin.
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan kinerja penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi, menjadi peringatan serius bagi semua lembaga penegak hukum. Jika tak ada perbaikan, publik akan semakin skeptis melihat komitmen pemerintahan dalam pemberantasan korupsi. Selain perbaikan kinerja lembaga penegak hukum, pemberantasan korupsi juga semestinya dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Karena itu, penegak hukum perlu mengupayakan perbaikan yang dimulai dari internal lembaga hingga penyamaan persepsi antarsemua lembaga penegak hukum terkait dengan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, Juni 2022 ini, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam bidang penegakan hukum berada di angka 57,5 persen. Turun hingga 8,4 persen dibandingkan dengan survei pada Januari 2022. Kinerja pemberantasan korupsi dan penuntasan kasus hukum paling banyak membuat publik kecewa.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman saat dihubungi dari Jakarta, Senin (20/6/2022), mengatakan, penurunan kepuasan publik ini menjadi peringatan serius bagi institusi penegak hukum untuk memperbaiki kinerja. Perbaikan kinerja harus dilakukan mulai dari dalam institusi penegak hukum untuk membersihkan internalnya, khususnya dari judicial corruption.
Jika tidak ada perbaikan, publik tentu akan semakin skeptis melihat komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintahan Jokowi-Amin. Publik akan menilai, pemerintah tidak serius dan tidak menaruh perhatian pada isu pemberantasan korupsi. Akibatnya, masyarakat tidak akan percaya lagi terhadap sistem dan penegakan hukum.
”Ini menjadi legacy buruk bagi pemerintahan Presiden Jokowi jika terus tidak ada perbaikan,” ujar Zaenur.
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Kepuasan Publik ke Pemerintah Turun
Menurut Zaenur, respons publik ini merupakan cerminan dari apa yang dilihat oleh publik dalam beberapa bulan terakhir. Di antaranya, semakin merebaknya korupsi di Indonesia dengan terungkapnya kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak goreng. Kasus ini menyita perhatian publik karena berpengaruh pada kelangkaan minyak goreng di nasional.
Ini menjadi legacy buruk bagi pemerintahan Presiden Jokowi jika terus tidak ada perbaikan.
Selain itu, semakin banyak kasus korupsi yang tidak bisa dituntaskan oleh lembaga penegak hukum, salah satunya di Kejaksaan Agung. Sampai saat ini publik masih belum mendapatkan titik terang terkait dengan sosok ”king maker” dalam kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk kepentingan Djoko Tjandra.
Di Mahkamah Agung, publik melihat upaya bersih-bersih tidak serius dilakukan dengan adanya operasi tangkap tangan hakim di Pengadilan Negeri Surabaya beberapa waktu lalu. Ini tentu juga menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Di KPK, sejumlah kasus yang masih mengganjal dan menjadi catatan buruk, seperti kasus korupsi bantuan sosial yang melibatkan bekas Menteri Sosial Juliari Batubara. Kemudian, belum tertangkapnya Harun Masiku yang diduga terlibat dalam kasus suap terhadap salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Alih-alih berusaha menuntaskan kasus-kasus tersebut, internal KPK justru banyak memunculkan kontroversi. Misalnya, kasus pemberhentian pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan serta pelanggaran etik yang dilakukan komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, dalam kasus berkomunikasi dengan pihak yang berperkara. Kini, Dewan Pengawas KPK juga tengah mendalami dugaan pelanggaran etik Lili lagi soal dugaan menerima gratifikasi berupa fasilitas menonton MotoGP Mandalika.
”Ini menjadi contoh, betapa KPK saat ini sangat buruk kinerjanya dalam pemberantasan korupsi. Ini menjadi catatan besar dan catatan penting bagi publik dalam melihat KPK sehingga sekarang citra KPK sangat anjlok,” ucap Zaenur.
Untuk diketahui, dalam survei Kompas, rendahnya tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintah di bidang hukum ini juga diikuti dengan kekecewaan mereka pada kinerja institusi lembaga hukum terkait. Pada survei kali ini, citra semua lembaga hukum di mata publik turun.
Isu korupsi yang memberikan kontribusi besar pada anjloknya apresiasi publik pada kinerja pemerintah di bidang hukum membuat citra KPK pun menurun drastis. Dalam survei Juni ini, citra KPK hanya berada di angka 57 persen. Ini apresiasi paling rendah dari publik kepada KPK sepanjang survei Kompas sejak Januari 2015.
Tak serius
Dengan kondisi yang ada itu, Zaenur melihat, tak ada satu program pun yang signifikan dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari tak kunjung disahkannya sejumlah rancangan undang-undang (RUU), seperti RUU tentang Perampasan Aset Hasil Kejahatan dan RUU tentang Pembatasan Transaksi Tunai.
”Jadi, publik melihat tak ada satu program pemerintah pun yang sungguh melakukan pemberantasan korupsi secara keras dan tegas,” ujar Zaenur.
Baca juga: Kepuasan Publik Turun, Mahfud MD: Jadi Motivasi Tingkatkan Kinerja
Menurut Zaenur, jika pemerintah ingin mengembalikan kepuasan publik dalam pemberantasan korupsi, buatlah program pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh dan dipimpin secara langsung oleh Presiden. Hal itu dilakukan dengan segera mengesahkan RUU Perampasan Aset Hasil Kejahatan, dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Selain itu, kembalikan independensi KPK dengan merevisi UU Tindak Pidana Korupsi.
Lebih dari itu, prinsip zero tolerancedi internal penegak hukum juga dibutuhkan. Misalnya, seperti kasus Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno yang tak dipecat dari kepolisian walau pernah mendekam di penjara akibat kasus korupsi. Seharusnya, kepolisian tegas memberhentikannya. Lalu, KPK juga zero tolerance jika ada insan KPK, apalagi komisionernya, yang sudah terbukti melanggar etik.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, pengukuran kepuasan publik terhadap kinerja penegakan hukum di Indonesia ini tentu akan menjadi catatan masukan bagi KPK. Terlebih, hampir semua aparat penegak hukum memiliki tren penilaian yang sama.
”Perlu disadari modus korupsi sebagai kejahatan extra ordinary terus mengalami perkembangan sehingga menjadi tantangan bagi seluruh aparat penegak hukum untuk terus meningkatkan kompetensinya sekaligus komitmennya untuk memberantas korupsi melalui tugas, kewenangan, dan instrumen hukum yang dimiliki secara konsisten,” kata Ali.
Dengan konsistensi penegakan hukum, ujar Ali, itu akan memberikan efek jera yang nyata bagi para pelaku sekaligus pembelajaran terhadap publik agar tidak mengulangi kejahatan serupa. Dengan demikian, semua aparat penegak hukum harus mempunyai semangat dan napas yang sama dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi.