Kepuasan Publik Menurun, Alarm bagi Pemerintahan Jokowi-Amin
Publik menilai pemerintah belum berhasil mengendalikan barang dan jasa. Pemerintah juga dianggap belum berhasil menyediakan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran. Hal ini semestinya jadi alarm bagi pemerintah.
Oleh
Tim Harian Kompas
·5 menit baca
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pernyataan di Jakarta, Kamis (14/4/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Keterlambatan pemerintahan mengantisipasi pandemi Covid-19 beserta dampaknya ditengarai menjadi salah satu penyebab turunnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kondisi itu diperparah dengan kenaikan harga sejumlah bahan kebutuhan pokok yang terjadi beberapa bulan terakhir. Kenyataan itu merupakan tanda bahaya yang harus segera diantisipasi oleh pemerintah agar tidak berakibat pada instabilitas sosial dan politik.
Hasil survei Litbang Kompas pada periode Juni 2022 menujukkan, ada penurunan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebesar 6,8 persen jika dibandingkan dengan hasil survei pada Januari 2022. Jika pada Januari tingkat kepuasan publik masih di angka 73,9 persen, kini turun menjadi 67,1 persen.
Penurunan tingkat kepuasan ini terlihat di bidang yang disurvei, yakni politik dan keamanan (polkam), penegakan hukum, ekonomi, serta kesejahteraan sosial. Aspek ekonomi dan penegakan hukum mencatatkan penurunan tingkat kepuasan terdalam, masing-masing 14,3 persen dan 8,4 persen. Dua aspek lainnya, yakni polkam dan kesejahteraan sosial, mengalami penurunan tingkat kepuasan 4,5 persen dan 4,9 persen.
Publik menilai pemerintah belum berhasil mengendalikan harga barang dan jasa. Hal itu tecermin dari hasil survei yang menunjukkan bahwa 64,5 persen responden tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam mengendalikan harga barang dan jasa. Sebanyak 54,2 persen responden juga menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran.
Ketua DPP Bidang Ekonomi dan Keuangan Partai Keadilan Sejahtera Anis Byarwati saat dihubungi di Jakarta, Senin (20/6/2022), mengatakan, penurunan kepuasan yang terjadi di awal tahun politik harus dijadikan alarm bagi pemerintah. Apalagi, defisit APBN pada 2023 diperkirakan sudah kembali ke 3 persen sehingga pemerintah mesti bekerja keras mengelola anggaran untuk kemakmuran rakyat. Jangan sampai hingga akhir pemerintahan kondisi masyarakat tak kunjung membaik. Sebab, hal itu tentu akan mengakibatkan kepuasan publik terus menurun sehingga akhir masa jabatan Jokowi-Amin tidak berlangsung dengan baik.
Ia menilai, penurunan kepuasan kinerja pemerintah adalah hal yang wajar dan sesuai dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Sebab, masyarakat sudah sejak beberapa bulan merasakan kenaikan harga barang, terutama bahan kebutuhan pokok. Hal ini diperparah dengan kenaikan tarif pajak yang akhirnya membuat harga barang konsumsi meningkat. Di saat yang sama, perekonomian masyarakat belum sepenuhnya pulih akibat dampak pandemi.
”Pemerintah jangan hanya bergantung pada angka pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi mengabaikan fakta di lapangan yang masih banyak masyarakat kesusahan,” tutur Anis.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menambahkan, penurunan di sektor ekonomi memang terjadi di banyak negara akibat pandemi Covid-19. Pembatasan kegiatan masyarakat dan peningkatan aktivitas secara daring menyebabkan anjloknya sektor riil.
Di bidang pariwisata, misalnya, meski Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno telah bekerja secara maksimal, pariwisata belum sepenuhnya pulih. Ini karena pertumbuhan sektor pariwisata sangat bergantung pada jumlah wisatawan, baik domestik maupun asing. Begitu juga industri, koperasi, serta usaha kecil menengah, yang hanya mampu bertahan di tengah serbuan produk dan jasa perusahaan asing.
Beberapa sektor itu, kata Ferry, berbeda dengan keuangan dan perdagangan, yang permasalahannya ada pada faktor pemain besar. Oleh karena itu, napasnya bergantung pada kemampuan pemerintah mengatur pasar. ”Pemerintah sejak awal terlambat mengantisipasi pandemi Covid-19 dan kurang berpihak pada sektor ekonomi rakyat,” tuturnya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Ferry Juliantono
Menurut dia, pemerintah memerlukan tim ekonomi yang lebih berpihak dan berorientasi melindungi perekonomian nasional. Program-program yang berdampak pada masyarakat secara luas harus lebih diprioritaskan. ”Prioritaskan yang berdampak luas, tangguhkan proyek mercusuar yang kurang pas dan membebani anggaran,” ujar Ferry.
Ketahanan pangan
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Irfan Yusuf Hasyim menilai, kepuasan publik pada kinerja pemerintah tidak bisa digeneralisasi karena harus dilihat per sektor. Di bidang ekonomi, dampak pandemi Covid-19 dan kenaikan harga bahan pokok memang dirasakan masyarakat secara langsung. Meski disebabkan banyak faktor, ia menyoroti pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang masih tergantung pada komoditas impor. ”Kami berharap, pemerintah bisa meningkatkan program swasembada pangan,” katanya.
Ia menambahkan, ketahanan pangan dalam negeri penting mengingat belum lama ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengumumkan krisis bahan pangan. Hal itu merupakan sinyal bagi Indonesia untuk bersiap dan bertindak menghadapinya. Sayangnya, hingga saat ini belum ada upaya untuk mengantisipasi krisis pangan.
KOMPAS
Ancaman krisis pangan secara global semakin mengemuka di tengah pusaran perang Rusia-Ukraina. Bukan tidak mungkin krisis pangan itu dapat berujung pada bencana kelaparan secara global.
Padahal, persoalan pangan merupakan hal mendasar yang bisa berakibat pada instabilitas sosial dan politik. ”Persoalan pangan harus benar-benar menjadi alarm bagi pemerintah, jangan sampai telat, seperti dulu ketika dunia sudah memberi peringatan adanya Covid-19, kita santai dan guyon saja, lalu kalang kabut ketika mulai masuk ke Indonesia,” ujar Irfan.
Peneliti senior Centre for Strategic International Studies (CSIS) J Kristiadi mengatakan, survei kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memang memotret persepsi publik saat itu. Namun, harus pula dipahami bahwa situasi yang belum ideal ini bukan semata-mata kesalahan pemerintah. Sebab, situasi geopolitik internasional yang tidak mudah sudah pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
”Belum lagi soal tatanan kekuasan, yang tidak semuanya dapat dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintahan kita tidak hanya eksekutif, tetapi ada legislatif, partai-partai, masyarakat sipil, sampai mafia, dan pemilik modal, yang semua unsur itu memiliki kepentingan. Bahkan, ada yang mengatakan kita bukan lagi demokrasi, tetapi korporatokrasi,” katanya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
J Kristiadi
Dalam perumusan kebijakan, menurut Kristiadi, pemerintah harus mulai memasukkan unsur unintended consequences (akibat yang tidak terduga). Dengan demikian, tidak terjadi akibat-akibat yang tidak diinginkan, misalnya, dalam kebijakan minyak goreng, tiket Borobudur, dan penghentian ekspor batubara.
Survei Kompas, menurut Kristiadi, memang harus diperhatikan serius dan menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah agar merespons situasi dengan tepat.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menambahkan, Presiden Jokowi, Wapres Ma’ruf Amin, serta para menteri Kabinet Indonesia Maju tetap fokus mengatasi problem yang ada. Di antaranya, menjaga stabilitas dan keterjangkauan harga pangan dan energi, pemulihan dan penciptaan lapangan kerja serta percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (CAS/INA/SYA/REK/NIA/BOW)