Survei Litbang "Kompas": Kepuasan Publik ke Pemerintah Turun
Angka kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menurun. Pemerintah mesti lebih optimal mengatasi sejumlah persoalan.
Oleh
Tim Kompas
·6 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin menghadiri sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/1/2019).
JAKARTA, KOMPAS - Hasil survei Litbang Kompas pada periode Juni 2022 menunjukkan ada penurunan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebesar 6,8 persen jika dibandingkan dengan hasil survei pada Januari 2022. Terkait hal ini, kinerja Kabinet Indonesia Maju perlu lebih dioptimalkan, terutama dalam mengatasi kenaikan harga barang, penyediaan lapangan kerja, dan pemberantasan korupsi.
Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Amin pada Juni 2022 ada di angka 67,1 persen. Sementara pada Januari 2022, tingkat kepuasan publik ada di 73,9 persen. Penurunan tingkat kepuasan ini terlihat di bidang yang disurvei, yakni politik dan keamanan (polkam), penegakan hukum, ekonomi, serta kesejahteraan sosial. Aspek ekonomi dan penegakan hukum mencatatkan penurunan tingkat kepuasan terdalam, masing-masing 14,3 persen dan 8,4 persen. Dua aspek lainnya, yakni polkam dan kesejahteraan sosial, mengalami penurunan tingkat kepuasan 4,5 persen dan 4,9 persen.
Khusus di bidang ekonomi, ketidakpuasan tertinggi terkait kinerja pemerintah mengendalikan harga barang dan jasa dengan angka mencapai 64,5 persen. Di urutan kedua, dalam penyediaan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran sebesar 54,2 persen. Adapun di bidang penegakan hukum, ketidakpuasan tertinggi dalam hal pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum (44,7 persen) serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (43,2 persen).
Turunnya tingkat kepuasan publik tersebut selaras dengan menurunnya angka keyakinan publik kepada kinerja pemerintahan Jokowi-Amin. Jika pada survei Januari 2022 angka keyakinan sebesar 70,5 persen, pada survei Juni ini menjadi 63,5 persen.
Menanggapi hasil survei itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Sabtu (18/6/2022), meminta masyarakat memahami efek dari situasi global yang tidak mudah diatasi, tak hanya oleh Pemerintah Indonesia, tetapi juga semua negara. Saat ini pemerintah masih fokus untuk mencari keseimbangan akibat perkembangan geopolitik global, di antaranya dengan mencari solusi atas problem pangan dan energi yang harganya terus melambung.
Oleh karena ketidakpastian global itu, Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro mengelak jika penurunan angka kepuasan publik dianggap sebagai kegagalan pemerintah. Apalagi jika melihat sejumlah negara lain justru telah mengalami resesi.
”Situasi saat ini yang tecermin dari hasil survei itu justru harus dinilai sebagai langkah dan keberhasilan pemerintah mengendalikan situasi, di mana berbagai kesulitan yang mengimpit dunia, Indonesia masih bisa survive,” ujar Juri, Minggu (19/6).
Kendati demikian, pemerintah tidak menutup mata atas sejumlah kesulitan yang dihadapi masyarakat. Berbagai kebijakan, seperti efisiensi, penekanan pada belanja barang dalam negeri, dan memangkas subsidi yang tidak tepat sasaran, terus didorong.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo menuturkan, langkah Presiden Jokowi mengganti sejumlah menteri dan wakil menteri pada Rabu pekan lalu merupakan bagian dari upaya menjawab persoalan publik dan meningkatkan kinerja. Sebagai contoh, dilantiknya Zulkifli Hasan menjadi Menteri Perdagangan merupakan upaya mengatasi kenaikan harga bahan pokok.
”Kenaikan harga dengan alasan apa pun akan membuat publik merasa tidak puas dan dirugikan,” ucap Arif.
Setelah pergantian menteri dan wakil menteri tersebut, penting agar koordinasi dan konsolidasi dalam Kabinet Indonesia Maju diperkuat. Begitu pula kinerja setiap menteri dan wakil menteri. Untuk itu, menurut Arif, ketegasan dari Presiden dibutuhkan.
”Presiden harus lebih tegas kepada para menteri, baik dari partai politik maupun para profesional yang mau berpolitik (di Pemilu 2024), agar mereka tidak abai pada tanggung jawabnya sebagai menteri,” ujarnya.
Di luar pergantian menteri dan wakil menteri, Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, pemerintah telah mengambil beragam cara untuk mengatasi problem ekonomi. Ia pun yakin pemerintah akan merespons persoalan yang masih membelit publik. Ia bahkan menilai tanda-tanda perbaikan sudah terlihat, misalnya harga minyak goreng yang mulai terkendali, indikator positif di sektor perdagangan, serta belanja pemerintah yang berangsur normal.
”Tinggal sekarang kita semua menjaga hal yang fundamental, seperti agar daya beli terjaga, dan membuat iklim ekonomi yang lebih kondusif,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR ini.
Sebaliknya, Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra melihat belum ada terobosan pemerintah untuk mengatasi problem ekonomi. Laporan dari berbagai daerah, masyarakat masih kesulitan menghadapi terus meningkatnya harga barang. Pergantian sejumlah menteri dan wakil menteri pun dilihatnya tidak menjawab problem itu.
”Pergantian seharusnya untuk kepentingan pemerintahan, bukan hanya elite,” kata Herzaky.
Turunnya angka kepuasan pada penegakan hukum juga dilihatnya imbas dari ketidakseriusan pemerintah. Penegakan hukum kasus minyak goreng oleh Kejaksaan Agung, misalnya, prosesnya berlarut-larut. ”Harus ada koreksi menyeluruh oleh Presiden menyikapi penurunan ini,” katanya.
Demokrat pun mengingatkan pemerintah agar segera memperbaiki kinerja. Jika tidak, dikhawatirkan memicu gelombang ketidakpuasan masyarakat yang berujung pada instabilitas politik. ”Bagi setiap menteri, bekerja dengan sungguh-sungguh dan maksimal. Rakyat bisa melihat siapa yang serius atau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan politik. Ini akan jadi pertimbangan publik saat memilih di Pemilu 2024,” ujar Herzaky.
Rektor Universitas Paramadina sekaligus Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Didik J Rachbini menilai ada sejumlah kekeliruan dalam kebijakan pemerintah dalam mengatasi problem ekonomi.
Aneka program subsidi, misalnya, tidak terarah. Program yang semestinya difokuskan untuk masyarakat kelas bawah justru diberikan kepada semua kalangan, termasuk masyarakat kelas atas. Akibatnya, defisit APBN tidak terhindarkan dan untuk menutupinya, pemerintah harus menambah utang.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga membeli minyak goreng kemasan yang dijual Rp 14.000 per liter di Rusunawa KS Tubun, Jakarta Barat, Rabu (19/1/2022).
Sensitivitas pada krisis
Selain itu, kebijakan ekonomi nasional juga tidak memperlihatkan sensitivitas terhadap krisis. Pemerintah justru menjalankan proyek-proyek besar, salah satunya pemindahan ibu kota negara di saat negara seharusnya berhemat. ”Saat ini tak ada berhemat, pemerintah justru jorjoran sehingga membuat tekor APBN,” ucap Didik.
Hal lain yang juga jadi problem, di tengah beratnya ujian di sektor ekonomi, terkait profesionalitas kabinet. Pembentukan kabinet dilihat lebih dipengaruhi kompromi politik. Yang lebih riskan, saat ini sudah memasuki tahun politik. Fokus sejumlah menteri yang berasal dari partai politik atau punya intensi menjadi peserta Pemilu 2024 bisa terbelah antara menjalankan tugas menteri dan kepentingan politik. Harapannya, keraguan-keraguan ini tak terjadi dan para menteri tetap bekerja optimal. ”Mereka harus bisa menunjukkan kepemimpinan yang kuat sehingga bisa menggerakkan pihak-pihak profesional di kementerian untuk bekerja optimal,” ujarnya.
Menyangkut penurunan kepuasan publik pada penegakan hukum, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Lalola Easter Kaban mengingatkan pentingnya pemerintah lebih serius mengimplementasikan strategi nasional pencegahan korupsi. Pemerintah juga perlu memperkuat sejumlah regulasi untuk pemberantasan korupsi, misalnya mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, serta revisi UU Tindak Pidana Korupsi.
Menurunnya angka kepuasan publik pada penegakan hukum, menurut Lalola, juga dipengaruhi banyaknya vonis pengadilan yang justru menguntungkan koruptor. (INA/CAS/SYA/REK/NIA)