Kisah Samin Tan, kisah AKBP Raden Brotoseno, dan kisah Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar adalah contoh bagaimana hukum dan etika ketika dipraktikkan.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Seorang doktor ilmu hukum berkeluh kesah. Ada apa dengan hukum kita? Ia mengirimkan berita: MK Tolak Kasasi KPK, Samin Tan Bebas! ”Kok bisa,” katanya. Saya menjawab sambil berkelakar; ”Mungkin masalahnya justru di fakultas hukum sehingga kondisi hukum kita seperti ini.” Dia menambahkan, ”Aneh. Yang menerima gratifikasi dipenjara. Si pemberi gratifikasi malah dilepaskan, katanya lagi. ”KPK harus melakukan peninjauan kembali (PK),” katanya. Saya setuju pendapatnya.
Saya teringat rubrik Radio BBC Seksi Indonesia, ”Law in Action”. Hukum dalam praktik berbeda dengan hukum yang diajarkan di kampus fakultas hukum. Law in Action mengupas kesenjangan antara idealisme hukum dan praktik hukum. Sebenarnya bukan hanya kesenjangan antara hukum di dunia perguruan tinggi dengan hukum di pengadilan, melainkan juga teks hukum di konstitusi dengan praktik hukum di lapangan. Teks konstitusi yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum belum sepenuhnya terwujud secara benar. Prinsip kesamaan di muka hukum yang diatur dalam konstitusi dalam praktiknya yang terjadi tidak sepenuhnya demikian adanya.
Kisah Samin Tan, kisah AKBP Raden Brotoseno, dan kisah Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar adalah contoh bagaimana hukum dan etika ketika dipraktikkan. Samin Tan adalah pengusaha tambang batubara. Untuk memperlancar urusan bisnisnya, Samin Tan dituduh menyuap Wakil Ketua Komisi VI DPR Eni Maulani Saragih. Eni telah dihukum Pengadilan Tipikor Jakarta enam tahun penjara. Hak politik Eni dicabut.
Samin Tan sempat menghilang dan kemudian ditangkap. Dalam persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hakim mengonstruksikan Samin Tan adalah korban pemerasan Eni. Dalam sidang di Pengadilan Korupsi pada 30 Agustus 2021, majelis hakim yang diketuai Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono membebaskan Samin Tan. Samin Tan dilepaskan dari tahanan. MA memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama itu.
Kisah Samin Tan, kisah AKBP Raden Brotoseno, dan kisah Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar adalah contoh bagaimana hukum dan etika ketika dipraktikkan.
Dalam resume putusan Samin Tan disebutkan, pada Mei hingga Juni 2018, Eni menerima uang dari Direktur PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Nenie Afwani dan Indri Savatri Purnama Sari. Uang diterima Tahta Maharaya selaku tenaga ahli Eni di DPR. Uang yang diterima Rp 4 miliar. Dari fakta terungkap, Samin Tan dan Eni sama-sama menyatakan tidak ada kesepakatan tentang pemberian uang sejumlah Rp 4 miliar. Nine Afwani, Indri Savatri, dan Tahta Maharaya juga tidak memberikan keterangan pasti untuk apa uang diberikan kepada Eni. ”Eni Maulani Saragih mengirim ucapan terima kasih melalui WA (Whatsapp) kepada terdakwa (Samin Tan) atas uang sejumlah Rp 4 miliar. Namun, pesan tersebut tidak ditanggapi terdakwa,” sebagaimana dikutip dari resume putusan.
Berkaitan dengan pesan WA dari Eni tersebut, Nenie selalu mengomunikasikannya dengan Samin Tan. ”Di persidangan tidak terungkap mengenai asal-usul uang dan peruntukan uang yang diberikan Nenie Afwani kepada Tahta Maharaya,” tulis putusan itu lagi. Samin Tan pun bebas.
Ketidakadilan terasa menganga. Yang menerima uang dihukum. Namun, yang memberi bebas karena jaksa gagal meyakinkan hakim soal hubungan uang dengan Samin Tan hanya karena WA ucapan terima kasih tidak dijawab oleh Samin Tan. Atau, para penegak hukum memang enggan mengejar untuk mendapatkan kebenaran materiil. Trik itu bisa dipakai penyuap di kemudian hari.
Ketidakadilan terasa menganga. Yang menerima uang dihukum. Namun, yang memberi bebas karena jaksa gagal meyakinkan hakim soal hubungan uang dengan Samin Tan hanya karena WA ucapan terima kasih tidak dijawab oleh Samin Tan.
Kisah Brotoseno juga mirip. Brotoseno menerima suap untuk pengaturan penyidikan perkara sawah fiktif di Ketapang, Kalimantan Barat. Ia dihukum lima tahun penjara. Ia jalani tiga tahun lebih. Sementara dalam persidangan di Mahkamah Agung, advokat yang dituduh menyuap Haris Haedar justru dibebaskan Mahkamah Agung. Duduk soalnya sama. Brotoseno menerima suap dan dihukum. Sementara advokat pemberi suap bebas!
Bebasnya pemberi suap jadi salah satu pertimbangan Komisi Etik untuk tetap mempertahankan Brotoseno sebagai polisi. Alasan lainnya, atasan Brotoseno menilai Brotoseno berkelakuan baik dan berprestasi sehingga bisa dipertahankan sebagai anggota Polri. Hukuman komisi etik berupa demosi. Publik bereaksi dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo berencana meninjau ulang putusan Komisi Etik. Langkah ini baik.
Problem etis juga terjadi pada pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar. Lili pernah disidang oleh Dewan Pengawas KPK karena berkomunikasi dengan pihak yang saat itu perkaranya sedang diselidiki di KPK dan mengarahkannya untuk memilih advokat tertentu. Lili terbukti melanggar etik berat. Namun, hukumannya hanya potong gaji selama setahun. Kini, ada laporan baru soal Lili. Ia dilaporkan menerima fasilitas dari BUMN untuk menonton MotoGP Mandalika. Perkaranya sedang ditangani Dewan Pengawas KPK.
Kisah-kisah di atas mempertontonkan betapa jungkir baliknya hukum kita. Fenomena ini, jika tak ditangani dengan baik, bisa menciptakan ketidakpercayaan publik pada hukum. Alarm itu sudah dinyalakan sejumlah lembaga survei yang menggambarkan turunnya kepercayaan publik pada penegakan hukum. KPK sebagai lembaga produk reformasi yang disegani kian kedodoran dengan perilaku komisionernya.
Pada Orde Baru dikenal lembaga Mahkejapol (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian) yang sering bertemu. Kini, lembaga itu tak ada lagi. Organisasi advokat tercerai-berai. Mahkamah Konstitusi belum memiliki Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang punya tugas mengawasi perilaku hakim konstitusi.
Tentunya ada yang baik di dunia hukum, seperti pembongkaran kasus Jiwasraya dan pengungkapan mafia minyak goreng. Namun, mendung terasa. Jangan biarkan langit mendung dunia hukum menjadi kian gelap.