Reforma Agraria, Kemarahan Jokowi, dan Pergantian Menteri
Presiden Jokowi memutuskan mengganti Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN setelah satu pekan sebelumnya mengungkapkan kemarahannya karena reforma agraria terhambat ego sektoral antar-kementerian dan lembaga.
Oleh
IQBAL BASYARI, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil berjalan tergesa-gesa berjalan menuju pintu masuk di samping Istana Negara, Jakarta, Selasa (14/6/2022) petang. Tak lama berselang, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra menyusul masuk ke kompleks Istana Kepresidenan.
Kedatangan keduanya di tengah menguatnya isu perombakan kabinet tentu menimbulkan tanya. ”Enggak tahu saya, nanti saja ya,” kata Surya ketika ditanya wartawan mengenai agenda kedatangannya ke Istana Kepresidenan pada Selasa petang.
Jawaban senada disampaikan Sofyan saat ditanya perihal tema yang akan dibahas dalam pertemuan dengan Presiden. ”Enggak tahu, agenda ibu kota kali, agenda PTSL (pendaftaran tanah sistematis lengkap) kali. Tunggu aja nanti. Tunggu Pak Presiden,” tuturnya.
Pemanggilan dua nakhoda Kementerian ATR/BPN itu tentu juga menimbulkan spekulasi, termasuk kemungkinan keduanya diganti. Seminggu sebelumnya, Jokowi, Sofyan, dan Surya masih berada dalam satu forum yang sama pada pembukaan pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (9/6/2022).
Situasi hening mengawali pidato Presiden Jokowi yang dibuka dengan bahasan sertifikasi tanah. Sejak 2015, Presiden menyebut berkali-kali memerintahkan jajarannya untuk meningkatkan capaian sertifikasi tanah. Sebab, saat itu baru 46 juta dari 126 juta bidang lahan di Tanah Air yang bersertifikat. Artinya, masih ada sekitar 80 juta bidang lahan yang belum bersertifikat.
Kala itu penerbitan sertifikasi tanah masih sangat rendah. Setiap tahun, BPN hanya menerbitkan sekitar 500.000 lembar sertifikat tanah. Ini artinya, butuh waktu hingga 160 tahun agar seluruh bidang tanah milik rakyat terdaftar secara hukum. Apalagi, masih banyak tumpang tindih pemanfaatan lahan, bahkan setiap kali ke desa sering kali mendapat laporan ada sengketa tanah. Hal ini disebutnya menimbulkan kekhawatiran pada investasi.
”Yang lebih menjengkelkan lagi, justru yang gede-gede kita berikan. Saya ulang-ulang, HGB 10.000 hektar nih, HGB 2.000 hektar nih, HGB 30.000 hektar ini, tetapi begitu yang kecil-kecil 200 meter persegi saja, entah itu hak milik entah itu HGB tidak bisa kita selesaikan. Inilah persoalan besar kita kenapa sengketa lahan di mana-mana,” kata Jokowi dengan nada agak tinggi.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi juga sempat mengungkapkan kemarahan lantaran perkembangan reforma agraria yang kurang optimal. Tak hanya menyentil Kementerian ATR/BPN sebagai leading sector reforma agraria, Presiden juga menyeret Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Presiden mengungkapkan kendala reforma agraria salah satunya adalah ego sektoral antar-kementerian dan lembaga. ”Ternyata ributnya antar-kementerian. Ndak bisa, Pak, ini haknya KKP, KLHK juga. Ndak bisa, Pak, ini adalah kawasan hutan lindung karena di sana ada koral, ada terumbu karang, itu hak kami,” ujar Jokowi kala itu.
Kemarahan Jokowi itu bukan tanpa sebab. Dikutip dari Sistem Informasi Geografis Tanah Obyek Agraria tentang pelaksanaan reforma agraria 2015-2020, realisasi reforma agraria memang mencapai 9,26 juta hektar dari target 9 juta hektar. Namun, hanya legalisasi aset yang melampaui target, yakni 7,8 juta hektar dari target 4,5 juta hektar. Sementara redistribusi tanah, dari target 4,5 juta hektar realisasinya baru 1,46 juta hektar atau 32,62 persen.
Tak hadir
Informasi yang dihimpun Kompas, sebenarnya Presiden Jokowi pada awalnya membatalkan agenda menghadiri pertemuan GTRA Summit 2022. Kementerian ATR/BPN kemudian mengonfirmasi ulang kedatangan Presiden pada Rabu atau sehari sebelum pembukaan pertemuan GTRA Summit 2022. Padahal, jadwal pembukaan itu sudah diagendakan sesuai waktu yang bisa dihadiri oleh Presiden.
Dalam wawancara seusai gelaran GTRA Summit, Surya mengatakan, ada anggapan bahwa reforma agraria yang benar adalah redistribusi karena ada tanah yang diberikan kepada yang tidak punya tanah. Surya, yang sadar posisinya sebagai pejabat politik tak bisa bertahan selamanya, pun menaruh harapan kepada birokrasi di Kementerian ATR/BPN untuk melanjutkan program-program reforma agraria.
”Ini kan proses. Makanya kalau ditanya sampai di mana, saya kira reforma agraria ini seperti cita-cita, perjalanan yang terus-menerus, timeless,” katanya.
Pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, menilai, reforma agraria di Indonesia sangat lambat. Perlu pendekatan yang tidak biasa agar dapat mengendalikan ”tangan-tangan tak terlihat” yang selama ini menghambat program-program Presiden di sektor pertanahan. Terobosan pun amat jarang terlihat dari Kementerian ATR/BPN untuk mengakselerasi penyelesaian masalah pertanahan.
Reforma agraria di Indonesia sangat lambat. Perlu pendekatan yang tidak biasa agar dapat mengendalikan ’tangan-tangan tak terlihat’ yang selama ini menghambat program-program Presiden di sektor pertanahan.
”Khususnya yang terkait dengan program agraria yang selalu dikalahkan untuk kepentingan investasi,” tuturnya.
Hari Rabu (15/6/2022), Presiden memutuskan mengganti Sofyan dan Surya sebagai Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN. Tepat pukul 13.40, Presiden Jokowi melantik mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/Kepala BPN dan Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni sebagai Wakil Menteri ATR/BPN.
Penunjukan Hadi Tjahjanto berlatar belakang militer, menurut Yando, masuk akal untuk membuat pendekatan yang tidak biasa dalam menyelesaikan masalah pertanahan. Begitu pula politikus PSI, Raja Juli Antoni, sebagai Wamen ATR/BPN menggantikan Surya yang kemungkinan akan disambut baik masyarakat sipil yang bergerak di bidang reforma agraria. ”Raja Juli membawa harapan baru,” kata Yando.
Reforma agraria merupakan salah satu program prioritas Presiden Jokowi sejak periode pertama pemerintahannya. Keluhan rakyat tentang persoalan pertanahan menjadi pertimbangan Presiden untuk menjadikan reforma agraria sebagai program prioritas. Selain itu, sengketa lahan yang terjadi antarmasyarakat, antara masyarakat dan instansi pemerintah, dan masyarakat dengan korporasi, juga menjadi alasan Presiden menaruh perhatian besar pada reforma agraria.
Presiden sadar reforma agraria bukan hanya jawaban untuk persoalan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah, melainkan juga salah satu jalan keluar untuk meningkatkan akses ekonomi sekaligus memakmurkan rakyat. Karena itu, berbagai program reforma agraria ditargetkan bisa diselesainya sebelum pemerintahan di bawah Joko Widodo-Ma’ruf Amin berakhir pada 2024.