Soal Capres-Cawapres, PDI-P Tak Cari Sosok dengan Elektoral Tinggi
Bukan tokoh dengan elektoral tinggi, bukan pula kader partai lain yang dicari PDI-P untuk diusung menjadi calon presiden-calon wakil presiden pada Pemilu 2024.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak ingin terburu-buru dalam menetapkan sosok calon presiden dan calon wakil presiden karena tahapan pendaftaran Pemilihan Umum Presiden baru dimulai pada Oktober 2023. Namun, dipastikan PDI-P akan mengusung kader sendiri, bukan capres dari partai politik lain. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu juga tidak menjadikan tingginya elektabilitas tokoh sebagai pertimbangan untuk menetapkan calon presiden.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, dalam acara bimbingan teknis kepada anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dari PDI-P di seluruh Indonesia, di Jakarta, Selasa (14/6/2022), menyinggung sejumlah partai politik (parpol) yang kini sudah berbicara soal calon presiden. Padahal, tahapan pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) baru akan dimulai pada Oktober 2023.
”Masih ada waktu panjang bagi Ibu Ketua Umum kami untuk mempertimbangkan dan melihat semuanya dengan baik. Sebab, yang dicari Ibu Megawati (Soekarnoputri) bukan sekadar presiden dan wakil presiden, melainkan calon pemimpin bangsa yang berani bertanggung jawab akan masa depan 270 jutaan rakyat Indonesia,” ujar Hasto.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto
Sebagaimana tertuang dalam bagian Lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024, pencalonan presiden dan wakil presiden baru akan dimulai pada 19 Oktober 2023 dan berakhir pada 25 November 2023.
Karena itu, menurut Hasto, idealnya parpol menyiapkan calon pemimpin dari kader masing-masing. Ia pun mengingatkan, parpol bukanlah klub sepak bola di mana ketika melihat pemain andal dari klub sepak bola yang lain, lalu tergoda untuk merekrut dan membajak pemain dari klub lain tersebut.
Dalam mengusung capres-cawapres, PDI-P tidaklah mencari sosok dengan elektoral tinggi. Hal yang terpenting adalah sosok tersebut dapat memastikan agenda kebangsaan PDI-P.
”Kalau itu terjadi, pasti watak politik adalah kekuasaan kapital. Pasti calon-calon yang dibajak itu hanya dipakai untuk kepentingan kekuasaan dan kapital, saudara-saudara sekalian. Bukan untuk kepentingan membangun bangsa dan negara,” tutur Hasto.
Dalam mengusung capres-cawapres, Hasto menegaskan, PDI-P tidaklah mencari sosok dengan elektoral tinggi. Hal yang terpenting adalah sosok tersebut dapat memastikan agenda kebangsaan PDI-P.
”Meskipun survei elektoral tinggi, tanpa ada spiritual, tanpa ada suatu yang disebut Ibu Mega sebagai a burning of fire yang ada di dada setiap kader, maka itu tidak ada artinya. Sehingga yang terpenting adalah suatu elan perjuangan like a burning of fire itulah yang dikobarkan oleh kepemimpinan PDI-P,” kata Hasto.
Berdasarkan survei Charta Politika yang dirilis, Senin (13/6/2022) , tingkat elektabilitas Gubernur Jawa Tengah yang juga merupakan kader PDI-P Ganjar Pranowo konsisten meningkat dalam enam bulan terakhir. Dalam survei yang diselenggarakan pada 25 Mei-2 Juni 2022 terhadap 1.200 responden, elektabilitas Ganjar mencapai 31,2 persen. Angka tersebut naik dari survei serupa pada April 2022, yakni 29,2 persen, begitu juga pada Desember 2021 yang baru berkisar di angka 28,2 persen.
Capaian tersebut sekaligus menempatkan Ganjar pada posisi teratas dibandingkan figur potensial capres lainnya. Ia disusul oleh Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan elektabilitas 23,4 persen dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 20 persen.
Dalam simulasi tiga nama, Ganjar juga unggul jauh atas Prabowo dan Anies dengan elektabilitas 36,5 persen. Sementara Prabowo 26,7 persen dan Anies 24,9 persen.
Mencari kecocokan
Wacana koalisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi isu yang terus menggelinding dalam beberapa hari terakhir. Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid mengatakan, PKB dengan PKS merupakan dua parpol yang sederajat perolehan suaranya sehingga lebih mudah untuk menjalin koalisi.
”Koalisi itu ibarat pernikahan. Ada syaratnya harus sekufu atau sederajat. PKB dengan PKS itu satu derajat, gampang untuk mencari kecocokan, untuk mencari maharnya karena kami sama-sama partai tengah sehingga mudahkan jalan komunikasinya. Berbeda kalau PKB melamar ’partai gajah’ di mana PKB ingin jadi capres, itu kan pasti dianggap enggak sekufu,” ujar Jazilul.
Buktinya, lanjut Jazilul, komunikasi yang dibangun dengan PKS bisa berjalan dengan baik. Meskipun, ia mengakui bahwa kedua parpol ini memiliki konstituen yang berbeda. ”Koalisi PKB dan PKS ibarat pribahasa, asam di gunung, garam di laut, di dalam periuk kita bertemu,” ucapnya.
Jazilul menegaskan, koalisi PKB dengan PKS dilakukan dengan niat yang tulus dan positif untuk memberikan solusi alternatif buat Indonesia. Misalnya, menghentikan polarisasi yang selama ini terjadi ketika menjelang dan sesudah pemilu. Selain itu, koalisi ini juga diharapkan bisa memberikan harapan baru atas kondisi yang ada di Indonesia saat ini.
Saat ditanya, apakah PKB dan PKS akan mengajak partai lain yang juga memiliki basis pemilih kelompok Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Jazilul mengatakan, pihaknya memiliki tata krama dalam berpolitik. Sebagaimana diketahui, PPP kini sudah tergabung dalam Koalisi Indonesia Baru (KIB) bersama Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
”Kalau orang sedang lamaran, jangan ikut melamar, kecuali nanti begitu lamarannya batal, mau balik, ya, kami terima. Misalkan sekarang KIB lagi pacaran, kan, kami enggak ganggu. Kalau enggak jadi, namanya orang patah hati, ya, kami terima,” tutur Jazilul.