Pembahasan RKUHP Hampir Tuntas, ICJR Minta Draf Dibuka ke Publik
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej mengatakan pembahasan Rancangan KUHP yang sempat menuai penolakan publik pada September 2019, tinggal satu hingga dua kali rapat sebelum disahkan.
Oleh
SUSANA RITA
·4 menit baca
SONYA HELLEN SINOMBOR
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward O.S Hiariej, Jumat (11/2/2022).
JAKARTA,KOMPAS - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Pembahasan lanjutan rancangan undang-undang yang pengesahannya oleh DPR periode 2014-2019 dan pemerintah ditunda karena unjuk rasa penolakan di berbagai daerah pada September 2019 itu, diperkirakan tinggal membutuhkan satu hingga dua kali rapat sebelum disetujui disahkan di Rapat Paripurna DPR.
Di tengah proses pembahasan RKUHP yang hampir tuntas, sejumlah kelompok masyarakat sipil meminta pemerintah untuk segera membuka draf RKUHP. Mereka ingin menyisir pasal demi pasal dalam RKUHP demi mencegah munculnya norma-norma bermasalah.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej mengatakan, pembahasan lanjutan RKUHP akan dilakukan setelah Ketua DPR Puan Maharani berkirim surat ke Presiden. Surat menurut rencana, akan dikirimkan setelah rapat Badan Musyawarah DPR pada 20 Juni mendatang.
“Intinya memberitahukan kepada Presiden bahwa pembahasan RKUHP diselesaikan. Jadi, istilahnya diselesaikan. Mengapa kita menggunakan terminologi diselesaikan, bukan dibahas, karena ada preseden bahwa undang-undang yang bersifat carry over tidak dibahas lagi. Jadi, hanya melihat terakhir ada di mana, kemudian dilanjutkan,” kata Eddy, saat berkunjung ke redaksi harian Kompas, Selasa (14/6/2022).
Selain Wamenkumham, hadir pula Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham, Dhahana Putra. Sementara itu, tim RKUHP pemerintah seperti Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo (ketua), Ketua Masyarakat Hukum Pidana Indonesia Yenti Garnasih, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana yang juga mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Senoadji, dan sejumlah pakar pidana hadir secara daring.
Eddy mengungkapkan, pembahasan RUU dengan mekanisme luncuran (carry over) sudah pernah diterapkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Nantinya, mekanisme serupa akan diterapkan untuk RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Khusus RUU Pemasyarakatan, pemerintah dan DPR tidak lagi membahasnya sehingga bisa langsung disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Penyelesaian pembahasan dalam satu atau dua kali rapat antara pemerintah dan DPR, kata Wamenkumham, digunakan untuk menyempurnakan pasal-pasal terkait 14 isu krusial di RKUHP. Penyempurnaan ditempuh setelah mendengarkan masukan masyarakat. Selain itu, penyempurnaan untuk memperbaiki salah ketik, menyisir pasal-pasal rujukan, sinkronisasi batang tubuh dengan penjelasan; dan penambahan-penambahan di bagian penjelasan pasal dengan catatan tidak mengubah substansi.
Sebanyak 14 isu krusial itu diantaranya terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, pidana mati, penyerangan harkat dan martabat Presiden/Wakil Presiden, menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin, penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court), unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih, advokat yang curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, penggelandangan, pengguguran kandungan, perzinaan, kohabitasi, dan perkosaan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati meminta pemerintah untuk segera membuka draf RKUHP secara keseluruhan sebelum draf dikirim ke DPR. Sehingga, ada jeda waktu untuk mengkaji. “Jangan langsung bahas dan terlalu cepat bahasnya. “Pemerintah kan kemarin diminta buat menyisir (pasal-pasal RKUHP). Sama, kami juga minta waktu untuk kita sisir juga,” ujar Maidina.
Seperti diketahui, DPR periode 2014-2019 dan pemerintah telah menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Namun, proses tersebut tidak dilanjutkan mengingat ada protes yang luas atas sejumlah substansi di RKUHP. Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk menunda pengesahan RKUHP di rapat paripurna dan sepakat untuk melakukan sosialisasi khususnya terkait dengan 14 isu krusial.
Eddy mengatakan, sosialisasi sudah dilakukan. Bahkan, hampir setiap Minggu tim RKUHP mengadakan rapat dengan melibatkan koalisi masyarakat sipil. Dari rapat-rapat tersebut, ia mengatakan pihaknya mendapatkan masukan mengenai pasal penodaan agama, aborsi, dan pemerkosaan.
“Itu dari teman-teman juga. Kita punya rekaman semuanya. Kalau dikatakan tidak partisipatif, lo sepanjang 2021 kita selalu rapat, salah satunya dengan teman ICJR yang saat mereka datang selalu bawa konsep, termasuk ada beberapa pasal di buku 1 yang membuka peluang mengenai restorative justice,” ujarnya.
Harkristuti Harkrisnowo (kiri) saat membahas RUU Pemberantasan Terorisme di DPR, pada 2018.
Ketua Tim RKUHP dari pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan sosialisasi di 12 kota yang melibatkan mahasiswa, akademisi, tokoh masyarakat, praktisi hukum, dan lainnya. Menurut dia, concern masyarakat sipil terhadap RKUHP sangat beragam. Misalnya, terkait pasal perzinahan. Salah satu pihak mempertanyakan mengapa hal-hal seperti itu diatur oleh negara, tetapi ada pula yang complain mengapa perzinaan menjadi delik aduan. Menurut orang tersebut, perzinaan melanggar norma masyarakat sehingga siapapun seharusnya bisa melaporkan.
“Kami perumus RKUHP memperhatikan semua masukan. No one left behind,” kata dia.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo mempertanyakan apakah pemerintah dan tim perumus RKUHP sudah menyosialisaikan pasal contempt of court (Pasal 281 RKUHP) ke media-media. Ia merasa bahwa ketentuan tersebut dapat menjadi ancaman yang bisa menjerat para pelaku media.
Pasal tersebut mengatur ancaman pidana denda bagi orang yang saat sidang berlangsung tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan, bersikap tidak hormat terhadap hakim/persidangan/menyerang integritas hakim dalam sidang, dan tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.
Terkait dengan hal tersebut, tim perumus RKUHP berencana untuk bertemu dengan para pimpinan media untuk menyosialisasikan pasal tersebut.