Mengerem Kerakusan
”Belief” seorang pemimpin menjadi kata kunci. Keyakinan akan perusahaan berkesinambungan, perusahaan yang punya komitmen tidak hanya pada pertumbuhan perusahaan semata, tetapi juga pada keselamatan planet Bumi.
”Saya tidak ingin dikenang sebagai pemimpin yang ’economic animal’, tapi saya ingin berkontribusi pada penyelamatan planet bumi….” (Djony Bunarto Tjondro)
Pernyataan itu datang dari Djony Bunarto Tjondro (58), CEO Astra International, dalam dialog virtual dengan sejumlah pemimpin redaksi di lingkungan Kompas, Senin, 6 Juni 2022. Djony yang didampingi sejumlah eksekutif Astra menyampaikan peta jalan ”Astra 2030 Sustainability Aspiration”. Perusahaan yang sudah berdiri 65 tahun ini menegaskan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Grup Astra scope 1 dan 2 sebesar 30 persen dan akan mengembangkan 50 persen energi terbarukan untuk mendukung kegiatan operasional, serta mengurangi intensitas pengambilan air sebesar 15 persen.
Astra juga berkomitmen tidak akan mengambil alih bisnis batubara. ”Ini soal belief seorang pemimpin untuk menuju perusahaan yang green dan berkesinambungan,” kata Djony menanggapi pernyataan Pemimpin Redaksi KompasTV Rosianna Silalahi yang ”mengganggu” dengan pertanyaan bukankah dampak dari perang Rusia-Ukraina kebutuhan batubara akan meningkat. Dan, batubara menjadi seksi dari sisi bisnis karena ibaratnya tinggal mengeruk dari perut Bumi.
Belief seorang pemimpin menjadi kata kunci. Keyakinan akan perusahaan berkesinambungan, perusahaan yang punya komitmen tidak hanya pada pertumbuhan perusahaan semata, tetapi juga pada keselamatan planet Bumi yang kian panas. Planet Bumi yang terancam dengan perubahan iklim global, Bumi yang diancam dengan kehancuran ekologi berupa pembabatan hutan dan pengerukan batubara sehingga bencana banjir bandang bisa saja terjadi di mana-mana dan lubang-lubang bekas tambang yang menganga. Bumi yang diancam dengan penurunan muka air tanah yang terus disedot habis-habisan.
Belief seorang pemimpin menjadi kata kunci. Keyakinan akan perusahaan berkesinambungan, perusahaan yang punya komitmen tidak hanya pada pertumbuhan perusahaan semata, tetapi juga pada keselamatan planet Bumi yang kian panas.
Dialog dengan Djony yang dipandu Boy Kelana Subroto (Head of Corporate Communication Astra) mengingatkan saya pada Laudato Si, ensiklik Paus Fransiskus yang dikeluarkan pada 24 Mei 2015. Dalam ensikliknya, Paus Fransiskus mendeskripsikan bahwa kehancuran ekologis akibat ulah manusia telah menjadi keprihatinan global dan bakal mengancam keselamatan planet Bumi. Ensiklik Paus Fransiskus menyentuh juga isu perubahan iklim, krisis air bersih, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, ketimpangan global, dan gagasan keadilan antargenerasi menjadi tema sentral dalam ensikliknya.
Baca juga: 2022, Seabad Orang-orang Hebat
Dalam buku Laudato Si ditulis, ”Kita tidak bisa lagi berbicara tentang pengembangan berkelanjutan tanpa solidaritas antargenerasi. Ketika kita berpikir tentang situasi dunia yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang, kita memasuki logika yang berbeda, yaitu bahwa dunia adalah anugerah cuma-cuma yang kita terima dan yang kita bagi bersama. Jika Bumi dianugerahkan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi, dan produktivitas demi keuntungan pribadi. Ada generasi selanjutnya yang akan menghuni planet Bumi.”
Perspektif Djony membawa pikiran saya mengelana, termasuk pada pikiran pemimpin India, Mahatma Gandhi (1869-1948), yang pernah mengatakan, ”Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi bukan untuk keserakahan manusia.” Saya juga teringat dengan tanggapan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat meninjau banjir bandang besar di Kalimantan, 19 Januari 2021. Muhadjir berkomentar, ”Kalimantan dengan kekayaannya memang menjadi incaran banyak orang. Jangan sampai kekayaan dikeruk demi keuntungan sekelompok orang, tetapi berdampak buruk bagi masyarakat setempat” (Kompas, 22/1/2021). Atau peringatan dari seorang mantan Komandan Komando Pasukan Khusus TNI AD Letnan Jenderal (Purn) Doni Monardo (sekarang Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD) yang berulang kali mengingatkan saatnya demokrasi (kedaulatan politik) diimbangi dengan ecocracy (kedaulatan lingkungan).
Perspektif Djony membawa pikiran saya mengelana, termasuk pada pikiran pemimpin India, Mahatma Gandhi (1869-1948), yang pernah mengatakan, ”Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi bukan untuk keserakahan manusia. ”
Kerakusan manusia menjarah perut Bumi digambarkan juga oleh Ahmad Syafii Maarif dalam esainya di harian Kompas, 17 Oktober 2011. Syafii menulis; ”…keadilan untuk semua warga makin memburuk dari hari ke hari…. Laju kerusakan hutan 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 naik menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Maka, jadilah Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di muka Bumi. Lagi, berdasarkan data resmi 2006, luas hutan yang rusak dan tak berfungsi maksimal mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Greenpeace mencatat, tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Anda tinggal mengalikan saja—jika tidak ada politik tegas dan keras yang diterapkan—bagaimana kira-kira Indonesia pada 2050. Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang bersekongkol dengan pejabat setempat.
Baca juga: Sonjo Menawarkan Sinar Solidaritas Lokal
Komitmen Astra tak mungkin bisa berjalan sendirian. Ia membutuhkan kawan seiring dan juga pemerintah yang seiring yang punya belief soal Indonesia yang berkesinambungan, belief soal keadilan lintas generasi. Tanpa ada belief bersama, rasanya perjuangan itu berat di tengah arus pragmatisme ekonomi dan politik.
Gagasan ecocracy hampir tak pernah muncul dan terucap, apalagi dalam program kerja politisi dan partai politik atau kandidat pemimpin masa depan. Belief itu menjadi penting, bahkan teramat penting di tengah arus besar pragmatisme politik; siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya, serta kredo politik purba, tak ada lawan dan kawan abadi, selain kepentingan.
Meski demikian, harapan harus terus dinyatakan karena seorang pemimpin adalah dealer of hope untuk menjadikan Indonesia dan planet Bumi menjadi lebih baik. Langkah kecil yang bisa diambil adalah mengerem kerakusan dalam segala hal.
Seperti dikatakan Paus Fransiskus, ”Ramalan tentang malapetaka tidak boleh lagi dipandang dengan cibiran atau ironi. Kita mungkin akan meninggalkan terlalu banyak puing, padang gurun, dan sampah kepada generasi mendatang. Tingkat konsumsi, limbah, dan kerusakan lingkungan telah melampaui kapasitas planet sedemikian rupa sehingga gaya hidup kita saat ini, karena tidak berkelanjutan, hanya dapat menyebabkan bencana, seperti sebenarnya sudah terjadi secara berkala di sejumlah wilayah dunia. Pengurangan dampak ketidakseimbangan saat ini tergantung dari apa yang akan kita lakukan dalam waktu dekat, lebih-lebih jika kita memikirkan tanggung jawab kita terhadap mereka yang harus menanggung akibat-akibat terburuk.” Mengerem kerakusan akan kekuasaan politik, kekuasaan sumber daya alam, dan kekuasaan ekonomi.