PDI-P sebagai parpol modern dianjurkan untuk membuka ruang kompetisi yang sehat antarkader untuk tiket pencalonan presiden. Ini diyakini bakal mendewasakan kader, terutama saat menghadapi Pilpres 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Urusan pencalonan presiden pada 2024 menghangatkan suhu politik di internal PDI-P. Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kerja Nasional Pro-Jokowi, Mei lalu, yang ditangkap internal PDI-P sebagai sinyal dukungan Jokowi kepada Ganjar Pranowo, kian menyulut bara yang ada. Relasi Jokowi dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sempat merenggang. Meski pada Selasa (7/6/2022) dan Rabu (8/6) relasi keduanya terlihat telah pulih, potensi friksi masih bisa terulang. Tak terkecuali dinamika di internal partai berlambang banteng tersebut.
Dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Membaca Arah Politik Mega” yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (8/6) malam, politisi PDI-P, Masinton Pasaribu, menegaskan, sesuai tradisi di PDI-P, capres dan cawapres yang akan diusung partai sepenuhnya menjadi hak prerogatif Megawati. Figur potensial capres yang mengantongi popularitas dan elektabilitas tertinggi berbasis survei bukan jaminan akan dipilih Megawati. Begitu pula jika figur itu memperoleh dukungan luas dari yang disebut sebagai kelompok sukarelawan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Oleh karena itu, siapa pun kader PDI-P yang berpikir untuk maju pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 dari PDI-P tidak boleh terlalu ambisius. Untuk diketahui, Jokowi merupakan kader PDI-P. Begitu pula Ganjar Pranowo yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah.
Selain Masinton, hadir pula sebagai narasumber Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, peneliti senior politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Siti Zuhro, dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Masinton mengatakan, Megawati tidak mau mengambil keputusan terlalu dini meski di luar sana hiruk-pikuk pencalonan presiden kian ramai. ”Bu Mega, dengan segala pertimbangan, ketelitian, kecermatan, dan kehikmatan dalam politik kebangsaan, beliau meletakkan (arah politik). Berbagai hal tentu dipertimbangkan baik itu secara legitimasi dukungan rakyat, variabel track record (rekam jejak), pengalaman, prestasi, keberhasilan kinerja, maupun karakteristik kepemimpinan,” ujar Masinton.
Selain itu, sebagai partai politik peraih suara terbanyak pada Pemilu 2019, PDI-P juga harus menjaga ke mana suara rakyat diarahkan untuk membangun kesinambungan kepemimpinan bangsa. Jadi, butuh waktu dan tak bisa asal-asalan untuk menentukan capres-cawapres.
Terkait dengan suhu politik yang menghangat di internal PDI-P, terutama friksi antara loyalis Puan Maharani, kader PDI-P yang kini menjabat Ketua DPR, dengan Ganjar Pranowo, Masinton kembali menegaskan, keputusan capres-cawapres di PDI-P ada di Megawati. Ini juga diamanatkan Kongres PDI-P 2019 di Bali.
Karena itu, seluruh kader partai harus tegak lurus pada keputusan partai dan menanti keputusan Megawati. Sebelum Megawati memutuskan, tak boleh ada kader yang bermanuver. ”Kalau ada kader ingin mencalonkan (sebagai presiden dan wapres), ikutilah mekanisme kepartaian,” ujar Masinton.
Di tengah dinamika itu, sempat tersiar pula kabar bahwa Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, serta PPP disiapkan sebagai ”sekoci” Ganjar jika PDI-P tak mengusungnya di Pilpres 2024. Namun, Arsul menepis kabar itu. Meski direstui Jokowi, Arsul menegaskan, KIB memiliki otonomi sendiri dalam memutuskan capres-cawapres. KIB akan memprioritaskan kader partai dari dalam koalisi. Jika kemudian pada akhirnya memilih mencalonkan kader dari parpol lain, ada etika politik yang harus dipatuhi.
"Kini, KIB bisa menjadi kendaraan atau angkot untuk pencapresan. Namun, siapa yang akan menjadi penumpang di KIB? Ojo kesusu (jangan terburu-buru),” kata Arsul.
Zuhro melihat, selama ini kultur politik di internal PDI-P memang berbeda. Seluruh keputusan penting diserahkan kepada Megawati sehingga seluruh kader harus mengikuti aturan itu. Seluruh kader yang bergabung dengan PDI-P seharusnya sudah memahami dan tunduk pada aturan tersebut.
Selain itu, ia juga memercayai Megawati tidak hanya akan menggunakan rasionalitas, tetapi juga intuisinya dalam mengambil keputusan. Dinamika di internal yang terlihat saat ini diyakininya tidak akan membelah soliditas PDI-P.
”Semua kader telah dipersiapkan untuk bisa menjadi pemimpin nasional. Saya yakin Bu Mega sudah memiliki calon karena banyak kader bagus di PDI-P yang sudah dipersiapkan dengan matang,” tambahnya.
Meskipun demikian, PDI-P sebagai partai modern seharusnya juga menghargai hak-hak otonom dari setiap kader. Untuk mencegah friksi internal, idealnya PDI-P membuat semacam konvensi calon presiden. Ini agar tercipta kompetisi yang sehat antarkader.
Hal itu penting karena dalam konteks pilpres, parpol menjadi aktor utama yang bisa memberikan tiket pencalonan presiden. ”Pemilu itu, kan, kompetisi, sebelum kompetisi di luar antarpartai, di internal sebaiknya mulai diajarkan supaya ada kedewasaan,” ucap Zuhro.
Burhanuddin menyampaikan, dalam survei terbaru Indikator Politik, popularitas dan elektabilitas PDI-P masih berada di angka 24-26 persen. Angka ini menempatkan PDI-P di posisi puncak di antara partai politik lainnya. Angka itu juga masih jauh lebih tinggi dibandingkan raihan suara PDI-P pada Pemilu 2019 yang sebesar 22,26 persen.
”Baik pendukung Puan, Ganjar, maupun Ibu Risma (Menteri Sosial Tri Rismaharini) masih berharap mendapatkan tuah dari Ibu Mega. Rivalitas pendukung ini belum berdampak signifikan terhadap elektabilitas dan popularitas PDI-P,” ujar Burhanuddin.
Dari sudut pandangnya, friksi di internal PDI-P sebenarnya juga disebabkan ambang batas pencalonan presiden yang dinilainya terlalu tinggi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hanya parpol atau gabungan parpol yang meraih suara 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya yang dapat mengajukan capres-cawapres.
Ambang batas yang terlalu tinggi itu menciptakan ruang eksklusif bagi partai untuk menentukan capres-cawapres. Ruang itu lantas diambil segelintir elite dengan mengabaikan kehendak publik atau setidaknya mengajak partisipasi publik.