Runtuhkan Ego Sektoral untuk Tuntaskan Reforma Agraria
Ego sektoral antar-kementerian dan lembaga menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan reforma agraria. Presiden meminta ego sektoral itu ditanggalkan agar reforma agraria berjalan dengan optimal.
WAKATOBI, KOMPAS– Reforma agraria yang bertujuan mempersempit ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah serta meningkatkan akses ekonomi dan kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnya berjalan optimal. Selain mencari terobosan, pemerintah juga perlu menanggalkan ego sektoral yang ditengarai menjadi kendala dalam percepatan pelaksanaan reforma agraria.
Dari berbagai program reforma agraria, baru pemberian legalitas tanah rakyat yang berjalan optimal. Sampai saat ini setidaknya sudah 80,6 juta bidang tanah yang bersertifikat. Jumlah itu naik hampir dua kali lipat dari tahun 2015, di mana baru 46 juta dari 126 juta tanah di Indonesia yang bersertifikat.
Sementara itu, program lain, seperti redistribusi tanah dan perhutanan sosial, masih belum optimal. Data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Na- sional (ATR/BPN), dari target 4,1 juta hektar pelepasan kawasan hutan, baru sekitar 7 persen atau 210.828 hektar yang terealisasi.
Presiden Joko Widodo mengungkapkan, ego sektoral antar-kementerian menjadi salah satu kendala dalam penyelesaian berbagai persoalan pertanahan. Presiden mencontohkan persoalan penerbitan sertifikat hak atas tanah untuk suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang tinggal di atas air.
”Ternyata ributnya antarkementerian. Ndak bisa, Pak, ini haknya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) juga. Ndak bisa, Pak, ini adalah kawasan hutan lindung karena di sana ada koral, ada terumbu karang, itu hak kami,” ujar Presiden dalam pembukaan pertemuan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (9/6/2022).
Baca juga : Menunggu Realisasi Komitmen Reforma Agraria Presiden Jokowi
Pertemuan GTRA ini membahas berbagai kendala sekaligus terobosan untuk menyelesaikan persoalan agraria di Tanah Air. Hadir dalam acara itu, antara lain, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Ego sektoral itu pula yang mengganjal pelaksanaan program penerbitan sertifikat lahan. Padahal, sengketa lahan bisa merembet dan menimbulkan masalah baru.
Tidak berubah
Presiden menjelaskan, permasalahan di pemerintahan tak berubah. Semua kementerian/lembaga bekerja tidak terintegrasi atau berjalan sendiri-sendiri dengan egonya masing-masing. Jika ini terus berlanjut, berbagai persoalan negara tak akan pernah rampung. Solusi yang ada pun tidak akan bisa terlaksana karena terganjal ego sektoral.
Ego sektoral itu pula yang mengganjal pelaksanaan program penerbitan sertifikat lahan. Padahal, sengketa lahan bisa merembet dan menimbulkan masalah baru.
Presiden mencontohkan, masyarakat bisa saling bunuh karena sengketa lahan. Konflik masyarakat dengan perusahaan juga terjadi karena sengketa lahan. Selain itu, masyarakat menjadi tak memiliki akses permodalan ke lembaga keuangan atau bank karena tidak memiliki sertifikat sebagai agunan.
Pembangunan jalan tol juga kerap terhambat akibat ego sektoral. ”Persoalan kecil, te-tapi enggak bisa diselesaikan oleh pembuat kebijakan kita sendiri. Kan, lucu banget,” sindir Presiden.
Ketika dipaksa berkomunikasi, masalah yang tertahan berpuluh tahun akhirnya bisa diselesaikan hanya dalam dua minggu. Oleh karena itu, Presiden meminta semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menghentikan ego sektoral demi mengakselerasi reforma agraria.
Presiden juga mengingatkan bahwa ia tidak akan menoleransi kerugian negara dan kerugian masyarakat akibat ego sektoral dan ego lembaga. ”Itu cukup. Stop! Persoalan dimulai dari sini. Semua harus membuka diri. Ini saatnya, di forum ini, kita hancurkan tembok sektoral,” kata Presiden.
Dalam reforma agraria, ujar Presiden, kebijakan satu peta harus didukung dan digunakan semua pemangku kepentingan. Dengan demikian, tak ada lagi yang menggunakan peta yang berbeda, apalagi peta manual yang berbeda-beda.
Kawasan pesisir
Dalam acara itu, Presiden menyerahkan 525 sertifikat hak guna bangunan kepada warga Kampung Mola yang sebagian tinggal di atas air. Presiden juga menyerahkan sertifikat atas 10 pulau-pulau terluar kepada Kemenhub dan KKP.
Pemberian sertifikat bagi masyarakat pesisir merupakan salah satu program dari reforma agraria. Setelah delapan tahun program itu berjalan, baru kali ini pemerintah berhasil menerbitkan sertifikat untuk wilayah perairan.
Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengatakan, pihaknya sudah bekerja sama dengan KKP sehingga permasalahan bagi warga suku Bajo yang tinggal di atas laut bisa diselesaikan. Pada umumnya, mereka sudah tinggal di atas laut sejak puluhan tahun dan tidak memiliki sertifikat sehingga kesulitan mendapatkan akses ke lembaga keuangan formal dan kepastian hukum.
Kedua kementerian itu kemudian membuat terobosan untuk memberikan HGB kepada masyarakat di Kampung Mola yang berlaku selama 30 tahun dan bisa diperpanjang. Sertifikat ini sudah lama dinantikan dan diperjuangkan oleh masyarakat suku Bajo.
”Setelah acara ini, kami akan dapat memberikan sertifikat yang sama kepada saudara-saudara kita, suku Anak Laut, dan lain-lain yang sudah turun- temurun tinggal di atas air,” ucap Sofyan.
Pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, mengatakan, ego sektoral hanyalah permasalahan yang muncul di permukaan. Namun, yang terjadi sesungguhnya adalah munculnya ”tangan-tangan tak terlihat” yang mengendalikan proses di setiap kementerian/lembaga yang seharusnya bekerja sama. Jika kondisi itu dibiarkan, akselerasi reforma agraria akan terus terhambat.
Secara terpisah, Iwan Nurdin dari Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, program reforma agraria yang saat ini dijalankan pemerintah masih jauh panggang dari api. Program yang dijalankan hanya sebatas bagi-bagi sertifikat tanah. Adapun reforma agraria yang diperjuangkan masyarakat sipil selama ini adalah redistribusi tanah kepada masyarakat adat dan membagikan tanah kepada orang yang tak memiliki tanah.
”Apa yang dilakukan kepada suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu lebih pada sertifikasi tanah bagi orang yang memang sudah punya tanah. Itu bukan reforma agraria namanya, tetapi sertifikasi massal,” ucapnya.
Baca juga: Penyelesaian Konflik Lahan, Bukan Sekadar Bagi-bagi Sertifikat Tanah
Karena masih jauh dari cita-cita reforma agraria, Iwan meminta agar program sertifikasi massal itu dievaluasi total. Apalagi, baru-baru ini Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan ada 12.000 sertifikat tanah dengan nama fiktif. Oleh karena itu, BPKP akan melakukan audit terhadap kinerja program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di 33 kantor wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) seluruh Indonesia.
Walaupun saat ini, BPKP masih akan melakukan audit terhadap temuan awal itu, Iwan menduga kasus sertifikat dengan nama-nama fiktif itu terjadi karena program sertifikasi massal membutuhkan kecepatan. Padahal, di luar program sertifikasi massal, banyak juga pemilik tanah yang mengantre untuk menyertifikasi tanahnya. Sehingga, bisa dipastikan akurasi dari nama penerima sertifikat massal sangat rendah.
Selain mengaudit temuan tersebut, BPKP juga diminta untuk mengaudit potensi kerugian negara akibat temuan nama-nama fiktif di sertifikat tanah. Sebab, bagi pemilik tanah, sertifikat kerap dijadikan agunan atau jaminan hutang. Dengan situasi perekonomian yang lesu karena terdampak Covid-19, banyak kredit macet, yang kemudian berpotensi membuat sertifikat itu disita oleh pihak bank. Dengan asumsi itu, diperkirakan kerugian bisa mencapai puluhan miliar.
Lebih dari itu, Iwan juga mengingatkan pemerintah untuk mengembalikan konsep reforma agraria sesuai dengan khitahnya. Tujuan reforma agraria adalah memberikan perlindungan tanah kepada mereka yang berhak, membuat tanah semakin produktif sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, kementerian/lembaga harus membebaskan dirinya dari ego sektoral.