Persaingan Ketat di Pilpres 2024 Ubah Tren Koalisi
Ke depan, pembentukan koalisi dini atau jauh hari sebelum pendaftaran capres dan cawapres dinilai akan menjadi tren. Adapun arah koalisi, ditentukan oleh elite parpol.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan koalisi partai politik pada menit-menit terakhir pendaftaran calon presiden dinilai sudah tidak relevan untuk menghadapi Pemilu Presiden 2024. Persaingan ketat yang terjadi karena banyaknya kandidat potensial dengan elektabilitas kompetitif dan tidak adanya petahana mengharuskan partai-partai untuk berkoalisi lebih awal.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes memandang, pertarungan politik di Pilpres 2024 akan berlangsung ketat. Hal itu terlihat dari tingkat elektabilitas sejumlah figur potensial versi hasil survei berbagai lembaga yang tidak terpaut signifikan. Laga di pilpres pun berpotensi besar terjadi dalam dua putaran.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hingga saat ini, sekitar 20 bulan jelang pemilu serentak yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024, koalisi partai politik (parpol) masih cair. Hampir semua parpol masih membuka diri untuk bertemu dengan tokoh-tokoh parpol lainnya. Bahkan, terbuka untuk berkoalisi, baik dengan parpol yang memiliki kesamaan platform maupun lintas platform.
Selain itu, tidak ada petahana yang akan berlaga pada Pilpres 2024. Sesuai dengan konstitusi, masa jabatan presiden dibatasi dua periode, sehingga Presiden Joko Widodo tidak bisa untuk berkontestasi kembali. “Tidak adanya petahana juga akan membuat pilpres sangat ketat dan kompetitif,” kata Arya dalam CSIS media briefing “Manuver Koalisi Partai Menjelang Pemilu Presiden: Motivasi dan Resiliensi”, yang digelar secara daring, Rabu (8/6/2022).
Menurut dia, konteks tersebut akan mengubah tren koalisi parpol ke depan. Berkaca pada pengalaman Pilpres 2019, koalisi terbentuk pada menit-menit akhir jelang pendaftaran calon presiden (capres). Namun, hal itu tidak akan terjadi saat ini. Terbukti dengan telah terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pembentukan koalisi dini, kata Arya, didorong oleh banyaknya kandidat potensial yang bisa dicalonkan oleh parpol. Baik dengan tingkat elektabilitas lapis pertama (di atas 15 persen), lapis kedua (di bawa 10 persen), dan lapis ketiga (di bawah lima persen).
Contohnya, jika menggunakan ketegorisasi tersebut, di lapis pertama terdapat tiga nama yang konsisten dengan tingkat elektabilitas di atas 15 persen, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Pembentukan koalisi dini, kata Arya, didorong oleh banyaknya kandidat potensial yang bisa dicalonkan oleh parpol.
Banyaknya kandidat yang bisa di calon ini kemudian memengaruhi perubahan faktor penentu peta koalisi. “Berbeda dengan pilpres sebelumnya di mana faktor kandidat menjadi penting dalam pembentukan koalisi, saat ini justru lebih ditentukan oleh faktor pimpinan atau elite partai,” ujar Arya.
Pembentukan koalisi dini strategis karena mampu memenuhi syarat minimal pencalonan capres, yakni memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya. KIB yang menggabungkan tiga parpol, misalnya, sudah memiliki 25,7 persen kursi di DPR sehingga bisa mengusung capresnya sendiri. “Koalisi juga strategis karena menyediakan ruang lebih banyak di internal partai untuk berdiskusi tentang kebijakan strategis yang akan didorong sebelum dan sesudah pemilu,” kata Arya.
Meski demikian, koalisi dini sebenarnya juga menghadapi tantangan soliditas. Hal itu ditentukan oleh seberapa adil pembagian kekuasaan di internal koalisi. Juga kemampuan untuk memilih kandidat capres yang potensial menang. “Kalau calon yang diusung tidak potensial, koalisi rentan bubar karena akan ada tarikan eksternal untuk mengusung calon yang lebih potensial menang,” ujar Arya.
Berlanjut
Oleh karena itu, ia menambahkan, pembentukan koalisi jelas tidak akan berhenti pada KIB. Ke depan, akan muncul poros-poros koalisi baru yang kemungkinan akan diinisiasi oleh parpol papan tengah, seperti Partai Nasdem. Juga oleh parpol papan atas, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dalam beberapa waktu terakhir, Partai Nasdem gencar melakukan pertemuan politik dengan sejumlah parpol di Nasdem Tower. Sebelum KIB terbentuk, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh sempat menemui Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Demokrat. Pekan lalu, Surya juga bertemu dengan Prabowo Subianto, yang disusul pertemuan dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Secara terpisah, pengajar politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, sejumlah pertemuan yang dilakukan Surya memperlihatkan intensinya untuk membentuk koalisi di luar KIB dan PDI-P. Terlebih, Surya disebut telah menyodorkan sejumlah nama atau pasangan capres di hadapan elite-elite yang ditemuinya. Pasangan yang disodorkan itu diklaim bisa menjadi langkah menghindari terulangnya polarisasi politik seperti pada 2014 dan 2019, karena pilpres hanya diikuti dua pasangan calon.
“Dengan pertemuan dan sejumlah nama capres yang disodorkan, artinya, Surya Paloh memiliki kepentingan untuk menciptakan blok politik di luar KIB dan PDI-P,” kata dia.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi membenarkan, partainya memang terus membangun komunikasi antarparpol. Akan tetapi, Nasdem belum menentukan arah koalisi yang akan dibentuk. Sebab, Nasdem memprioritaskan untuk menjaring kandidat potensial capres sebagai bekal pembentukan koalisi.
Penjaringan figur potensial capres dilakukan melalui rapat kerja nasional (Rakernas), yang akan digelar pada 15—17 Juni mendatang. Rakernas akan memilih tiga kandidat, yang nantinya dikerucutkan menjadi satu nama oleh Ketua Umum Nasdem.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto ditemui usai peresmian masjid At-taufiq yang terletak di depan gedung Sekolah Partai PDI-P, Jakarta, Rabu petang, mengatakan, terkait koalisi, partainya saat ini masih berkoalisi untuk mendukung Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Ketika ditanya mengenai kekhawatiran tertinggal di tengah manuver parpol-parpol lainnya, ia pun mengatakan, untuk menjalankan koalisi yang sudah ada. “Itu dijalankan dulu, kan ini step by step,” katanya.
Adapun mengenai rencana berkoalisi dengan parpol lain, Hasto tidak menjawab tegas. Menurut dia, kerja sama partai politik merupakan wujud dari prinsip gotong royong yang dianut PDI-P.
Elaborasi politik gagasan
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Edbert Gani Suryahudaya mengatakan, pembentukan koalisi dini merupakan inovasi dalam percaturan politik Indonesia pasca-reformasi. Umumnya, koalisi memang dibentuk pada masa akhir jelang pendaftaran capres.
Pembentukan koalisi dini merupakan inovasi dalam percaturan politik Indonesia pasca-reformasi.
Menurut dia, inovasi ini baik bagi para pemilih. Sebab, publik bisa mengelaborasi platform atau politik gagasan parpol sejak awal. “Sayang sekali jika waktu panjang ini tidak dimanfaatkan oleh parpol untuk mengelaborasi politik gagasannya,” kata Edbert.
Selain itu, ia mengingatkan, di tengah hiruk pikuk pembentukan koalisi, parpol hendaknya terus mengingatkan kadernya yang berada di kabinet untuk tetap bekerja optimal. Tidak bisa dimungkiri, salah satu risiko dari pembentukan koalisi dini adalah terjadinya gangguan pada kerja pemerintah, karena anggota koalisi sebagian masih menjadi bagian dari koalisi pemerintahan.