Soal Kelanjutan Pembahasan RUU KUHP, Pemerintah Tunggu Surat Pimpinan DPR
Pemerintah menyatakan, sampai saat ini Presiden belum menerima surat dari pimpinan DPR terkait dengan kelanjutan pembahasan RUU KUHP. Jika surat itu telah diterima, dipastikan pembahasan RKUHP dapat dilanjutkan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih menunggu surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meneruskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Saat ini, pemerintah sedang merapikan kembali draf RUU Hukum Pidana setelah adanya perubahan terhadap 14 poin krusial yang telah disampaikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam rapat dengan Komisi III DPR pada 25 Mei 2022.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra, Selasa (7/6/2022), di Jakarta, mengatakan, sampai saat ini, pemerintah belum menerima surat dari pimpinan DPR terkait dengan kelanjutan pembahasan RUU KUHP. Sebelumnya, di dalam rapat antara Kementerian Hukum dan HAM dengan Komisi III DPR, 25 Mei 2022, disepakati tiga hal.
Pertama, Komisi III DPR menerima penjelasan pemerintah terkait dengan 14 isu krusial dalam RKUHP hasil sosialisasi kepada masyarakat. Kedua, Komisi III DPR akan menindaklanjuti pembahasan RUU Operan (carry over) RKUHP dan RUU Pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketiga, Komisi III DPR akan menyampaikan surat pemberitahuan tindak lanjut pembahasan terhadap RKUHP dan RUU Pemasyarakatan kepada Presiden RI melalui pimpinan DPR.
Namun, sampai saat ini, lanjut Dhahana, surat dari pimpinan DPR belum diterima oleh Presiden sehingga belum ada respons yang diberikan oleh pemerintah terkait dengan kelanjutan pembahasan RKUHP. ”Kalau ada surat, pasti ada respons dari Presiden. Karena sejauh ini belum ada dari DPR sepengetahuan saya,” katanya yang ditemui seusai acara dialog Forum Legislasi bertema ”RUU KUHP dan Nasib Hukum Indonesia”, yang diadakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Dhahana mengatakan, jika surat itu telah diterima presiden, surat balasan akan dikirimkan oleh presiden kepada pimpinan DPR. Pada intinya, surat itu menyatakan kesiapan pemerintah untuk meneruskan pembahasan RKUHP, dan presiden menunjuk kembali menteri yang sebelumnya membahas RKUHP itu bersama dengan DPR untuk melakukan pembahasan selanjutnya. Namun, surat tersebut bukan merupakan surpres baru.
”Bentuk jawabannya bukan surpres, enggak ada surpres. Cuma menugaskan kembali Pak Menteri (Menkumham) untuk membahas kembali RUU KUHP, menteri yang sama seperti dulu,” katanya.
Dhahana optimistis ketika surat dari pimpinan DPR itu telah diterima oleh Presiden, maka tindak lanjut pembahasan atas RKUHP itu dapat dilakukan.
Dhahana optimistis ketika surat dari pimpinan DPR itu telah diterima oleh presiden, maka tindaklanjut pembahasan atas RKUHP itu dapat dilakukan. ”Sebenarnya tidak perlu waktu lama. Prinsipnya, kan, DPR sudah menerima dan menyetujui 14 poin yang sudah dipaparkan oleh Wamenkumham (Wakil Menkumham). Ada dari 14 poin itu yang dilakukan perbaikan dan pemberian penjelasan, serta ada dua poin yang dihapus, yakni soal dokter gigi tidak berizin dan advokat curang. Secara substansi sudah clear, tidak ada masalah,” ucapnya.
Ia mengatakan, setelah ada respons dari presiden, kemungkinan akan ada pembahasan kembali di tingkat panitia kerja (panja). Namun, kepastian mengenai mekanisme selanjutnya dari pembahasan RKUHP tersebut, pemerintah masih menunggu pandangan dari DPR. ”Bisa juga nanti setelah disepakati di panja lalu dibawa ke paripurna,” katanya.
Saat ini, pemerintah sedang melakukan perumusan dan penataan ulang terhadap draf RKUHP. Sebab, ada 14 poin perubahan yang harus dimasukkan ke dalam naskah yang baru. Dhahana mengatakan, pemerintah harus memastikan naskah itu tidak ada yang salah tik dan rumusannya sesuai dengan yang disepakati dengan DPR. Selain itu, penghapusan dua poin, yakni mengenai pidana terhadap dokter gigi tidak berizin dan advokat curang juga akan berdampak pada perubahan susunan pasal per pasal di dalam naskah.
Sementara itu, narasumber yang hadir di dalam dialog Forum Legislasi bertema ”RUU KUHP dan Nasib Hukum Indonesia” menekankan perlunya RKUHP segera disahkan. Kendati demikian, ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang dalam mengesahkan RKUHP.
Mantan anggota Panja RKUHP Fahri Hamzah mengatakan, sebenarnya RKUHP itu telah disetujui untuk dibahas di pembicaraan tingkat II, yakni di dalam rapat paripurna untuk disahkan, 23 September 2019. Namun, rencana itu tidak dapat dilakukan karena ada protes dan aksi unjuk rasa besar-besaran dari publik.
”Penting sekali mengesahkan RKUHP ini sebagai momen satu bangsa merayakan kesatuan hukum pidananya,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arteria Dahlan mengatakan, pemerintah dan DPR telah memikirkan dengan matang substansi dari RKUHP. Sebanyak 14 poin yang disampaikan oleh pemerintah dan telah diterima serta disetujui oleh DPR itu pun dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal seperti penghinaan terhadap presiden, misalnya, menurut Arteria, masih sangat diperlukan. “Kepala negara dari negara sahabat saja ketika mengalami penghinaan mendapatkan perlindungan, kenapa tidak dengan kepala negara kita sendiri,” katanya.
Demikian pula mengenai pidana mati, menurut Arteria, masih diperlukan. Namun, dalam pengaturannya dijadikan pidana alternatif yang bersifat khusus. “Jadi tetap diatur, tetapi ada masa percobaan selama 10 tahun. Ketika dalam 10 tahun itu ada perubahan sikap, maka bisa diturunkan menjadi hukuman seumur hidup,” katanya.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, ada sejumlah catatan yang mesti diperhatikan dalam pembahasan RKUHP. Salah satunya ialah mengenai asas legalitas yang dikhawatirkan dilanggar dengan pengaturan living law (hukum adat).
”Hukum adat harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga nilai-nilai apa yang dapat dikenakan hukum pidana itu menjadi jelas,” katanya.
Fickar memberikan catatan terhadap pasal penghinaan terhadap presiden, yang seharusnya tidak lagi diatur. Sebab, pasal itu diatur ketika Indonesia masih dijajah Belanda.
Selain itu, Fickar memberikan catatan terhadap pasal penghinaan terhadap presiden, yang seharusnya tidak lagi diatur. Sebab, pasal itu diatur ketika Indonesia masih dijajah Belanda dan Ratu Belanda merupakan kepala negara yang tidak boleh dihina.
”Karena sekarang kita memilih demokrasi, dan setiap lima tahun sekali ganti presiden, pengaturan itu sudah tidak lagi relevan. Sebab, presiden itu lembaga, bukan pribadi,” katanya.
Fickar juga menyoroti banyaknya pasal yang berujung pada pemenjaraan di dalam RKUHP. Ia mencatat, dari 1.251 ketentuan di dalam RKUHP, sebanyak 1.158 di antaranya memberikan ancaman hukuman penjara. “RKUHP ini masih berorientasi pemenjaraan dan ini harus menjadi perhatian kita bersama,” ucapnya.