Setelah Polemik Panjang, Kemendagri Pertimbangkan Aturan Teknis Penjabat Kepala Daerah
Sikap Kemendagri yang mempertimbangkan penerbitan aturan teknis agar penunjukan penjabat kepala daerah demokratis dan transparan, diapresiasi. Bisa menangkal tudingan pemerintah berpolitik dalam penunjukan penjabat.
JAKARTA, KOMPAS – Setelah didesak berbagai kalangan, Kementerian Dalam Negeri mempertimbangkan menerbitkan peraturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah agar proses pengangkatan penjabat lebih demokratis dan transparan. Peraturan teknis ini diharapkan dapat selesai sebelum gelombang pelantikan penjabat selanjutnya, Juli mendatang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan mengatakan, Kemendagri mencermati dan memahami bahwa pengangkatan penjabat kepala daerah tak terlepas dari banyaknya kepentingan. Sebab, penjabat kali ini memiliki pengaruh terhadap kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2024. Untuk itu, Kemendagri memandang perlu dan mempertimbangkan menerbitkan aturan dan mekanisme yang lebih demokratis dan transparan.
”Saat ini sedang dipertimbangkan menyiapkan aturan yang lebih memadai,” kata Benni, saat dihubungi, Minggu (5/6/2022).
Catatan Kompas, desakan kepada pemerintah untuk membuat peraturan teknis penunjukan penjabat agar penjabat yang terpilih berkualitas dan bebas dari kepentingan politik sudah muncul sejak awal Maret 2022. Desakan ini menguat pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penjabat yang dibacakan, 20 April lalu. Dalam pertimbangannya, MK menilai, pentingnya proses penunjukan penjabat dilakukan secara demokratis, transparan, dan akuntabel. Untuk itu, MK memerintahkan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana untuk penunjukan penjabat.
Baca juga: MK Perintahkan Pemerintah Buat Peraturan Terkait Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Namun, hingga tuntas dua gelombang pelantikan penjabat kepala daerah, Mei lalu, aturan teknis tersebut tak kunjung dibuat. Belum adanya peraturan teknis dan munculnya sejumlah persoalan dalam pengangkatan penjabat, seperti gubernur yang sempat enggan melantik penjabat bupati pilihan pemerintah pusat serta ditunjuknya anggota TNI aktif menjadi penjabat, membuat sejumlah kelompok masyarakat sipil mengadukan dugaan malaadministrasi dalam proses penunjukan penjabat oleh Kemendagri ke Ombudsman RI (ORI), Jumat (3/6). Kelompok masyarakat dimaksud, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Terkait hal ini, Kemendagri akan mengikuti proses tindak lanjut laporan oleh ORI. Namun, Benni menegaskan, meski tanpa peraturan teknis, proses penunjukan penjabat sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Beberapa regulasi yang menjadi rujukan adalah UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Pilkada, UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Di samping itu, diperhatikan pula UU No 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, UU No 34/2004 tentang TNI, serta beberapa peraturan turunannya, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, pertimbangan putusan MK tentang penunjukan penjabat kepala daerah.
Penjaringan calon penjabat gubernur, lanjut Benni, sudah dilakukan dengan membuka dan meminta usulan dari kementerian dan lembaga. Demikian pula untuk penjaringan calon penjabat bupati dan wali kota, dimintakan usulan kepada gubernur. Usulan yang diterima selanjutnya dibahas dalam sidang Tim Penilai Akhir (TPA), sebelum ditetapkan. “Jadi, penetapan penjabat kepala daerah ini bukan keputusan tunggal Presiden atau Menteri Dalam Negeri. Namun berdasarkan hasil pembahasan bersama pada sidang yang dihadiri oleh Mensesneg, Menseskab, Menpan dan RB, Mendagri, Kapolri, Kepala BIN dan Kepala BKN,” tutur Benni.
Selain dari itu, penunjukan dan pengangkatan penjabat kepala daerah ini bukan yang pertama kali dilakukan. Namun, prosesnya sudah dilaksanakan pada pilkada sebelumnya di tahun 2017, 2018 dan terakhir pada pilkada tahun 2020.
Peraturan pemerintah
Menyangkut sikap Kemendagri yang mempertimbangkan terbitnya peraturan teknis soal penjabat, Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, menyambut baik hal itu.
Jumat lalu, Robert menyampaikan, sudah pernah meminta pemerintah agar menyiapkan regulasi yang kuat, yakni peraturan pemerintah, untuk mengatur soal tata cara pengisian penjabat, monitoring saat penjabat bertugas, hingga tolok ukur penilaian untuk menentukan masa jabatan penjabat. Ia juga meminta manajemen talenta untuk menyiapkan para kandidat yang akan diangkat menjadi penjabat. Kedua cara itu diyakini bisa menghindarkan pemerintah pusat dari tudingan berpolitik dalam penunjukan penjabat. Selain itu, publik bisa memantau rekam jejak para calon penjabat.
Adapun mengenai laporan pengaduan terkait penjabat, saat ini masih dicek. Jika memenuhi syarat, maka laporan itu akan dibawa ke pimpinan untuk nanti diputuskan apakah akan dilanjutkan ke pemeriksaan atau tidak. Setelah itu, laporan akan diserahkan kepada keasistenan di Ombudsman yang memang biasa menangani isu penunjukan penjabat kepala daerah. Kemudian, barulah proses pemanggilan dan klarifikasi dimulai sebagai bagian dari pemeriksaan.
“Nanti pihak Kemendagri akan dipanggil ketika proses pemeriksaan itu,” kata Robert.
Tak hanya pihak Kemendagri, sejumlah pihak terkait juga akan dimintai keterangan, seperti pelapor, saksi-saksi, bahkan narasumber ahli. Apalagi isu ini cukup kompleks, menurut Robert, kemungkinan besar pihaknya akan banyak memanggil sejumlah ahli, meliputi ahli otonomi daerah, ahli pemerintahan, dan ahli administrasi publik.
Lebih jauh lagi, melihat laporan tersebut juga berkaitan dengan putusan MK, Ombudsman tentu juga akan meminta keterangan kepada ahli hukum tata negara dan ahli administrasi negara. “Kami ingin mendapatkan pandangan apakah memang pertimbangan MK yang merupakan bagian satu-kesatuan dalam amar putusan itu adalah sesuatu yang final dan mengikat,” katanya.
Robert tidak bisa menjanjikan bahwa laporan dugaan malaadministrasi terkait penunjukan penjabat ini bisa selesai sebelum jadwal gelombang penunjukan penjabat selanjutnya pada Juli 2022. Sebab, di Ombudsman, tidak ada kekhususan dalam memproses laporan yang masuk. Namun, sangat terbuka peluang instansi terlapor menyadari kekeliruannya di tengah proses.
"Terkadang sedang dalam tahap awal atau di tengah proses pun, pihak terlapor sudah menyadari, ‘oo, ini keliru dan perlu diperbaiki’. Lalu, mereka jalankan. Sehingga tidak perlu sampai menunggu sampai rekomendasi. Itu kekuatan Ombudsman, yakni kekuatan ada di proses,” jelasnya.
Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Tryatmoko menyampaikan, tidak ada kata terlambat bagi Kemendagri untuk menyusun aturan teknis. Sebab, setelah 48 penjabat kepala daerah dilantik pada Mei lalu, masih ada 223 daerah yang kepala dan wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya hingga 2023 dan harus diisi oleh penjabat.
Untuk itu, ia berharap, Kemendagri serius melakukan perbaikan itu dan segera menyusun aturan teknis sebagaimana diperintahkan oleh MK. “Jadi, langsung saja segera disusun karena ini menyangkut taruhan politik dan legitimasi pemilu. Kita tahu kalau penjabat kepala daerah ini, kan, rentan dengan permainan politik. Dengan membuat aturan teknis sesuai putusan MK, kekhawatiran persoalan legitimasi dapat diminimalisir,” tutur Mardyanto.
Ia berharap aturan teknis itu setidaknya bisa selesai sebelum dimulainya gelombang penunjukan penjabat kepala daerah pada Juli 2022. Dengan begitu, penjabat yang terpilih nantinya sudah melalui pola baru yang lebih transparan dan demokratis. Selanjutnya, Kemendagri juga bisa melakukan penunjukan ulang terhadap daerah yang sudah diisi penjabat pada gelombang sebelumnya, yakni 15 Mei dan akhir Mei lalu.
Baca juga: Reperkusi Penjabat Kepala Daerah
Menurut Mardyanto, Kemendagri harus belajar dari fenomena penolakan daerah terkait penunjukan penjabat kepala daerah. Ke depan, pola penunjukan penjabat kepala daerah harus diperbaiki sehingga gejolak di daerah tidak muncul kembali.
Selama ini, usulan gubernur hanya menjadi pertimbangan bagi pusat dan pusat bebas bisa memilih atau menolak. Pola seperti ini seharusnya diubah. Misal, gubernur mengusulkan beberapa nama calon, kemudian pusat hanya menyaring terkait kepangkatan, kedisiplinan, serta rekam jejak calon. Setelah ada beberapa opsi, daerah dipersilakan untuk memilih satu nama.
“Jadi, calon-calon yang dimunculkan dari pusat sudah dianggap bersih, tinggal daerah menentukan siapa yang pas. Itu lebih fair dan lebih transparan. Pemerintah pusat harus lebih mampu meredam konflik di daerah,” tutur Mardyanto.