Perlu Regulasi Teknis guna Atasi Sengkarut Pemilihan Penjabat Kepala Daerah
Penjabat Bupati Banggai Kepulauan Dahri Saleh mundur setelah dilantik. Ini menambah banyak problem dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Sejumlah LSM pun mengadukan dugaan malaadministrasi ke Ombudsman RI.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didorong segera membuat regulasi teknis untuk mencegah sengkarut dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah. Setelah muncul polemik gubernur menolak melantik penjabat bupati/wali kota dan penunjukan anggota TNI aktif sebagai penjabat, kali ini Penjabat Bupati Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, mundur setelah dilantik.
Tenaga Ahli Komunikasi Publik Gubernur Sulteng Andono Wibisono, Jumat (3/6/2022), menyampaikan, pada 18 April 2022, Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura mengusulkan tiga nama ASN untuk menjadi penjabat bupati Bangkep, yakni Ihsan Basir, Dahri Saleh, dan Rusly M.
Gubernur mengusulkan agar Ihsan Basir yang dipilih, tetapi Dahri Saleh yang dilantik pada 30 Mei 2022 oleh Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ma’mun Amir. Setelah pelantikan, Dahri mengundurkan diri sebagai Penjabat Bupati Bangkep. Alhasil, Rusdy kembali memproses usulan baru Penjabat Bupati Bangkep ke Mendagri.
Adapun alasan pengunduran diri Dahri karena marasa kepangkatannya masih lebih rendah dari dua orang lain yang diusulkan gubernur. Dahri masih golongan IV B, sedangkan dua orang lainnya IV c. Sambil menunggu persetujuan pengunduran diri Dahri ke Kemendagri, Pelaksana Harian Bupati Bangkep dijabat oleh Rusli Moidady yang merupakan Sekretaris Daerah Kabupaten Bangkep.
Persoalan ini mendapatkan sorotan dari anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, yang berasal dari daerah pemilihan Sulawesi Tengah. Ia mempertanyakan mengapa Dahri bisa langsung mengundurkan diri setelah dilantik. ”Ini, kan, teka-teki kenapa harus mengundurkan diri. Kan, itu yang perlu ditelusuri. Ada juga informasi apa yang diusulkan oleh gubernur tidak sesuai dengan yang turun,” kata Anwar.
Menurut Anwar, persoalan ini terjadi karena masalah komunikasi. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Karena itu, sebaiknya Kemendagri berkomunikasi dengan gubernur dalam pemilihan penjabat kepala daerah agar tidak terjadi kegaduhan.
Selain itu, persoalan ini juga terjadi karena pemerintah tidak melaksanakan amanah Mahkamah Konstitusi untuk membuat aturan teknis. Ia menegaskan, aturan tersebut dibutuhkan agar tidak menjadi liar dalam menafsirkan undang-undang.
Dugaan malaadministrasi
Banyaknya persoalan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah membuat masyarakat sipil yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengadukan dugaan malaadministrasi dalam proses penentuan penjabat kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri ke Ombudsman RI di Jakarta.
Menurut Staf Divisi Hukum Kontras Adelita Kasih, ada penyimpangan prosedur dan pengambilan kewajiban hukum yang dilakukan oleh Kemendagri dalam proses penentuan penjabat kepala daerah. ”Adapun beberapa hal yang kami soroti, pertama adanya tata kelola penunjukan yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak partisipatif. Kedua, terkait penunjukan perwira TNI/Polri aktif. Ketiga, adanya potensi besarnya konflik kepentingan yang ada di dalam penunjukan penjabat kepala daerah beberapa waktu lalu,” kata Adelita.
Peneliti Perludem Kahfi Adlan menambahkan, Kemendagri dan pemerintah sampai saat ini belum melaksanakan amanat dari Mahkamah Konstitusi, yakni harus ada aturan pelaksana dalam melakukan penunjukan penjabat kepala daerah. Aturan pelaksana tersebut dibutuhkan untuk menjamin proses yang transparan, akuntabel, terbuka, dan partisipatif, serta menjamin prinsip demokrasi dalam penunjukan penjabat kepala daerah.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha melihat proses pengisian penjabat kepala daerah jauh dari semangat reformasi dan keterbukaan. Sebab, reformasi mengamanatkan adanya otonomi daerah seluas-luasnya. Pengisian penjabat kepala daerah ini tidak melibatkan pihak yang ada di daerah. Tidak adanya peraturan teknis yang dibuat Kemendagri, ICW telah meminta informasi dari Kemendagri dan dokumen proses pengisian penjabat kepala daerah. Namun, setelah sepuluh hari kerja, Kemendagri tidak merespons.
”Dapat dikatakan proses ini tertutup. Kami juga melihat ada indikasi konflik kepentingan dalam pengisian posisi penjabat kepala daerah karena beberapa penjabat yang sudah dilantik merangkap jabatan di posisi lain, seperti TNI dan Polri, termasuk posisi lain seperti kementerian. Konflik kepentingan adalah pintu masuk praktik korupsi,” ujar Egi.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, laporan dari masyarakat akan didalami oleh unit kerja pengaduan masyarakat untuk melihat keterpenuhan syarat formil dan materiil. Apabila dua syarat tersebut terpenuhi, akan dibawa ke pleno pimpinan. Selanjutnya, akan diputuskan ke pemeriksaan. ”Kalau memang sudah sampai tingkatan itu (pemeriksaan) tentu akan kita lakukan pemanggilan pemeriksaan atau permintaan keterangan klarifikasi ke berbagai pihak,” kata Robert.
Robert menegaskan, dirinya sudah meminta pemerintah untuk menyiapkan regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang sangat kuat, yakni peraturan pemerintah. Posisi penjabat sangat substantif sehingga membutuhkan regulasi yang besar, bukan sekadar teknis.
Regulasi tersebut harus mengatur sejak tata cara pengisian jabatan melalui mekanisme pengangkatan, ketika penjabat di dalam pemerintahan, evaluasi, hingga penjabat tersebut diputuskan untuk lanjut atau diberhentikan. Di dalam regulasi tersebut juga harus diatur dokumen-dokumen penting yang akan diberlakukan.
Selain itu, ia juga meminta adanya manajemen talenta yang akan dipakai untuk melatih dan menyiapkan para kandidat yang akan diangkat menjadi penjabat kepala daerah. Kandidat tersebut berdasarkan usulan dari daerah untuk dilatih paling cepat enam bulan. Selama waktu tersebut, kandidat dipersiapkan secara teknis dan politis sehingga ketika dipilih sudah sangat siap. Mereka memiliki pengetahuan, kemampuan, dan keahlian terkait pemerintahan.
Menurut Robert, dua cara tersebut sangat berguna untuk menghindarkan Kemendagri dan pemerintah pusat dari tudingan politik. Publik juga bisa memantau rekam jejak para calon yang akan menjadi penjabat kepada daerah. Kompas sudah meminta tanggapan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan terkait polemik di Bangkep dan aduan dari masyarakat sipil, tetapi tidak direspons.