Menimbang Peluang Capres Nonpartai Politik
Selain Prabowo Subianto yang merupakan Ketua Umum Partai Gerindra, ada nama Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, yang menduduki tiga besar tokoh dengan elektabilitas tinggi. Keduanya bukan petinggi parpol.
Peluang bagi majunya bakal calon presiden dari kalangan nonpartai politik, atau bukan kader parpol, masih terbuka. Saat ini, parpol masih melakukan berbagai penjajakan dan komunikasi lintasparpol yang intensif untuk merumuskan kesepahaman dalam platform, visi-misi, ataupun sosok calon presiden dan wakil presiden.
Momentum Milad Ke-20 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa waktu lalu serta pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Rabu (1/6/2022), memantik perbincangan tentang kemungkinan hadirnya bakal capres ataupun cawapres yang bukan kader parpol.
Saat milad PKS, misalnya, sekalipun lontaran bernada guyonan, keinginan untuk mencari ”jodoh” itu diungkapkan secara eksplisit oleh Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Al Habsy. Belum lagi antusiasme dari simpatisan dan kader PKS yang ditunjukkan ketika Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, hadir dalam acara tersebut. Dalam berbagai survei, nama Anies bertengger di tiga besar pilihan publik untuk menjadi capres bersama dengan Prabowo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Dalam acara bincang-bincang Satu Meja the Forum bertajuk ”Peluang Capres Nonparpol” yang ditayangkan oleh Kompas TV, Rabu malam, sejumlah narasumber yang hadir menyebutkan masih ada peluang bagi tokoh-tokoh yang bukan kader parpol untuk menjadi bakal capres. Kendati demikian, mereka harus tetap mengikuti mekanisme politik yang berlaku.
Hadir dalam acara itu Wakil Sekretaris Jenderal PKS Ahmad Fathul Bari, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya, dan Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas.
Mengenai potensi PKS mengusung Anies, Fathul Bari mengatakan, hal itu belum diputuskan oleh partainya. Keputusan Majelis Syuro PKS baru sampai pada penokohan Salim Segaf Aljufri di kancah nasional. Namun, PKS belum mengerucut pada satu nama tertentu sebagai capres, termasuk Anies.
”Ketika Mas Anies disambut banyak kader, karena kebetulan saja itu di Jakarta. Belum tahu nanti jika acara digelar di Jawa Tengah atau Jawa Barat. Mungkin sambutannya untuk gubernur mereka di sana,” ucapnya.
PKS masih membuka ruang komunikasi dengan partai lain karena PKS menyadari tidak bisa mencalonkan sendiri dan harus bekerja sama dengan partai lain. Walau demikian, PKS telah melakukan sejumlah kajian yang menunjukkan preferensi pada tokoh-tokoh tertentu. Penajaman ke arah pencalonan presiden masih harus dilakukan dengan komunikasi lintas parpol.
Sementara itu, Nasdem juga masih menunggu rekomendasi yang disampaikan oleh dewan pimpinan wilayah (DPW) seluruh Indonesia dalam rapat kerja nasional (rakernas). Saat ini, pengurus DPW sedang menggodok nama-nama usulan mereka. ”Rakernas akan coba berikan tiga nama kepada Pak Surya,” kata Willy.
Willy juga tidak menampik adanya preferensi kepada tokoh tertentu sebagaimana yang juga ditunjukkan dari hasil berbagai survei ataupun pemberitaan media. Namun, siapa yang akan dijadikan capres oleh Nasdem, hal itu menunggu hasil rakernas.
Keputusan tentang siapa capres dan cawapres juga belum ditentukan oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat ini, koalisi fokus dalam menyamakan platform dan penguatan kelembagaan parpol sebagai pilar utama dalam demokrasi.
Meski begitu, sebenarnya Golkar sudah memiliki calon untuk diusung dalam pilpres, yakni Airlangga Hartarto, ketua umumnya. ”Sejak awal kami konsisten Golkar punya capres sendiri. Itu sudah diputuskan dalam munas 2019 dan ditegaskan lagi pada 2021,” kata Doli Kurnia.
Baca juga : Koalisi Dini, Ikhtiar Parpol Lepas dari Bayang-bayang Figur Capres
Namun, dalam konteks KIB, soal capres belum diputuskan. Golkar tidak bisa memutuskan sendiri lantaran mereka tidak bisa mengusung capres tanpa berkoalisi dengan partai lain. ”Kami juga menghargai proses demokrasi. Semua ini tidak mungkin kalau kami sendiri karena itu kami membangun koalisi,” ujarnya.
Keputusan sejumlah parpol untuk mengusung kader terbaiknya sebagai capres tetap tidak menutup peluang calon-calon dari luar parpol. Menurut Sirojudin, parpol pasti berpikir rasional dan memperhatikan prospek keterpilihan atau elektabilitas. Parpol pasti mengusung calon yang paling potensial untuk menang.
”Hitungan rasional saat ini, selain Prabowo, ada Ganjar dan Anies, yang keduanya tidak memiliki kekuatan khusus di parpol,” katanya.
Sosok Anies, misalnya, banyak diasosiasikan dengan PKS, tetapi belakangan juga dekat dengan Nasdem, karena termasuk pendiri ormas Nasional Demokrat. Anies juga dekat dengan PAN dan PPP sehingga, menurut Sirojudin, dia memiliki pintu yang cukup banyak untuk prospek pencalonannya.
Sejumlah parpol juga akan menunggu momentum yang tepat, yakni berakhirnya masa jabatan Anies, Oktober tahun ini. Parpol menanti sejauh mana Anies menuntaskan kerjanya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan bagaimana pergerakannya saat tidak lagi berstatus sebagai kepala daerah.
Atasi keterbelahan
Untuk mengatasi keterbelahan, ada wacana memasangkan Anies dan Ganjar. Spekulasi itu juga ikut mewarnai pertemuan antara Prabowo dan Paloh. Namun, apakah itu dimungkinkan?
Parpol pasti berpikir rasional dan memperhatikan prospek keterpilihan atau elektabilitas. Parpol pasti mengusung calon yang paling potensial untuk menang.
Willy mengatakan, pertemuan antara Prabowo dan Paloh membicarakan isu-isu kebangsaan atau tantangan bangsa dan negara di masa depan. ”Lima jam ngobrol dan makan-makan, sambil lihat lukisan dan patung-patung,” katanya.
Nasdem berpandangan, perbincangan mengenai politik sebaiknya tidak terjebak pada spektrum politik elektoral lima tahunan yang sempit. Sudah saatnya perbincangan politik dilakukan untuk mendiskusikan bagaimana membangun narasi kebinekaan dan berperspektif kepentingan republik. ”Kami tidak mau terlalu terjebak dalam spektrum politik semata-mata bicara pemilu, tetapi tidak pernah mendiskusikan hal-hal lebih setelah pemilu mau apa,” ucapnya.
Baca juga : Surya Paloh: Elite Sibuk Tanggapi Hasil Survei daripada Mengedukasi Publik
Peran penting politik, lanjutnya, juga untuk melakukan rekayasa atau intervensi atas situasi kebangsaan, termasuk polarisasi yang tajam.
Doli mengatakan, soal wacana Anies-Ganjar, KIB harus melihat dulu dinamika yang berkembang. Namun, ia menekankan peluang terbuka untuk siapa saja. Proses kristalisasi politik sedang berjalan. Partai-partai politik mulai melakukan penjajakan. Pertemuan antara Prabowo dan Surya pun dipandang sebagai sesuatu hal yang wajar saja bagi setiap pemimpin parpol.
Doli Kurnia menambahkan, pimpinan parpol semestinya memberikan teladan kepada masyarakat untuk mencegah keterbelahan. Jika elite telah berangkulan dan menguatkan silaturahmi, keterbelahan masyarakat kemungkinan bisa dicegah sejak awal.
Senada dengan Doli Kurnia, Fathul Bari menilai silaturahmi dan teladan dari parpol dapat memupus polarisasi yang terlalu tajam.
Namun, Sirojudin melihat, untuk mengatasi keterbelahan tidak cukup dengan memasangkan dua calon dari dua kubu yang berbeda, seperti Anies dan Ganjar. Pada tingkat elite, penyatuan itu mungkin akan lebih mudah dilakukan untuk mencapai kesepakatan politik. Namun, tidak demikian dengan masyarakat di bawah.
”Karena spektrum ideologis pendukung ini terbelah jauh, digabungkan tidak bisa. Seperti minyak dan air. Malah bisa jadi ditinggalkan kedua-duanya karena basis pemilih intinya tidak lagi percaya kepada tokoh-tokoh itu,” katanya.
Apa pun pilihan pasangan capres dan cawapres yang diajukan oleh parpol, Pemilu 2024 diharapkan menjadi momentum rekonsiliasi politik. Keterbelahan sosial seharusnya tidak dibiarkan berlarut-larut sehingga menjadi beban bangsa.