Tanpa Akuntabilitas, Penolakan Pelantikan Penjabat Dikhawatirkan Bisa Berulang
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, khawatir penolakan pelantikan penjabat kepala daerah oleh gubernur bisa kembali terulang. Dia menekankan pentingnya peraturan pelaksana dalam pemilihan penjabat kepala daerah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan pelantikan penjabat kepala daerah oleh gubernur yang merasa pilihannya tidak diakomodasi dinilai menunjukkan ada kekosongan mekanisme penunjukan penjabat yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Kejadian serupa dikhawatirkan kembali terulang di daerah lain jika Kementerian Dalam Negeri tidak segera menyusun peraturan pelaksana sesuai pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi belum mau melantik penjabat bupati Buton Selatan dan Muna Barat meski semula telah diagendakan pada Selasa (24/5/2022). Penundaan pelantikan karena penolakan masyarakat atas penjabat bupati yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang tidak sesuai dengan usulan (Kompas, 25/5/2022).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, di Jakarta, Kamis (26/5) mengatakan, Kemendagri sebaiknya menunda pelantikan penjabat kepala daerah di Buton Selatan dan Muna Barat. Jika tetap memaksanakan pelantikan penjabat yang menuai penolakan masyarakat, dikhawatirkan justru membebani jalannya proses pemerintahan di daerah.
”Bahkan, bisa memberikan kesan bahwa pemerintah tidak peduli dengan mekanisme penunjukan penjabat yang transparan, akuntabel, dan demokratis,” ujarnya.
Selama penundaan pelantikan, lanjut Fadli, Kemendari perlu segera menyusun peraturan pemerintah tentang penunjukan penjabat kepala daerah sesuai dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Setelah peraturan pelaksana itu dibuat, baru dilakukan penunjukan ulang sesuai ketentuan.
Menurut dia, penolakan dari gubernur bisa kembali terulang di daerah lain. Hal ini pun mengonfirmasi adanya kekosongan mekanisme dalam penunjukan penjabat yang transparan dan akuntabel. Jika prosesnya sudah transparan, akuntabel, dan demokratis, mestinya yang dipilih salah satu dari tiga nama yang diusulkan gubernur.
Oleh sebab itu, peraturan pelaksana amat penting untuk menjamin proses pengusulan mulai dari gubernur hingga penunjukan oleh Kemendagri berlangsung secara transparan dan akuntabel. Jika nama-nama yang diusulkan melalui proses yang demokratis sehingga menghasilkan tiga nama yang kompeten, tidak ada alasan bagi Kemendagri untuk tidak memilih satu di antara tiga nama tersebut.
”Kalau daerah diminta untuk mengusulkan, tetapi yang dilantik di luar yang diusulkan, lalu buat apa diminta ada usulan dari daerah,” ucap Fadli.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan mengatakan, Kemendagri akan mengambil langkah sesuai peraturan perundang-undangan, yakni berkomunikasi dengan gubernur. Jika gubernur tak kunjung melantik, Kemendagri akan mengambil alih. ”Selama belum ada pelantikan (penjabat bupati) itu, sekda (sekretaris daerah) yang melaksanakan tugas kepala daerah secara otomatis sebagai pelaksana harian,” kata Benni Irwan.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Junimart Girsang mengatakan, kewenangan melantik penjabat berada di Kemendagri. Penunjukan bisa di luar usulan dengan pertimbangan hasil investigasi tim Kemendagri bahwa nama yang dipilih tidak memiliki kepentingan politik.