KPK Serius Tuntaskan Kasus Lama
”Kami bukan bicara cepat atau lambat, sudah lama atau baru, bukan begitu. Namun, hal yang paling esensi adalah apakah kami sudah menemukan bukti permulaan yang cukup,” kata Ketua KPK Firli Bahuri.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah lima tahun menjadi tersangka, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh akhirnya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland-101 di TNI Angkatan Udara pada tahun 2016-2017. Pengusutan kasus ini sekaligus diklaim menjadi komitmen KPK untuk menyelesaikan perkara-perkara lama.
Tim penyidik KPK menahan Irfan yang merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG), mulai Selasa (24/5/2022) hingga 12 Juni 2022 di Rumah Tahanan KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta. Irfan telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2017 dalam kasus dugaan korupsi pengadaan heli AgustaWestland (AW)-101.
Ketua KPK Firli Bahuri dalam jumpa pers di Gedung KPK mengatakan, setelah tim penyidik memeriksa sekitar 30 saksi dalam kasus ini, Irfan ditahan untuk keperluan proses penyidikan lebih lanjut. Ia juga menegaskan, pihaknya tidak akan pernah berhenti menyelesaikan perkara-perkara korupsi, termasuk perkara yang sudah berjalan sejak 2017 ini.
”Kami bukan bicara cepat atau lambat, sudah lama atau baru, bukan begitu. Namun, hal yang paling esensi adalah apakah kami sudah menemukan bukti permulaan yang cukup, apakah kami sudah mendapatkan bukti yang cukup sehingga perkara tersebut terang benderang, dan sekarang sudah terang benderang sehingga kami menemukan tersangkanya, IKS (Irfan),” ujar Firli.
Pada 2017, KPK telah mengumumkan Irfan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan heli AW-101. Seiring berjalan waktu, perkara ini beberapa kali dilakukan pengujian secara formil lewat praperadilan dan ditolak hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca juga : Aliran Dana Korupsi sampai Singapura dan Inggris
Firli menyampaikan, pihaknya tidak akan berhenti pada penahanan Irfan. Tim penyidik akan terus berkoordinasi dengan Polisi Militer TNI AU untuk mengejar pelaku lain yang diduga ikut menikmati aliran korupsi perkara tersebut. Ia juga mengingatkan kepada seluruh pejabat penyelenggara negara sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk tidak bermain-main dengan tindak pidana korupsi.
”KPK tentu akan bekerja keras bilamana ada dugaan tindak pidana korupsi. Selagi cukup bukti, ada berkasnya, pasti kami tuntaskan,” ucap Firli.
Merugikan Rp 224 miliar
Kasus dugaan korupsi pengadaan heli AW-101 ini bermula terjadi pada Mei 2015. Irfan selaku Direktur PT DJM dan pengendali PT KCG bersama Lorenzo Pariani sebagai salah satu pegawai perusahaan AW menemui Mohammad Syafei yang saat itu masih menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI AU di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur. Dalam pertemuan tersebut dibahas di antaranya akan dilaksanakan pengadaan heli AW-101 VIP/VVIP TNI AU.
Baca juga : Pra-peradilan Ditolak, Penyidikan Kasus Pengadaan Helikopter AW-101 Berlanjut
Selanjutnya, Irfan yang juga menjadi salah satu agen AW diduga memberikan proposal harga kepada Syafei dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dollar AS di mana harga pembelian yang disepakati Irfan dengan pihak AW untuk satu unit heli AW-101 hanya senilai 39,3 juta dollar AS atau setara dengan Rp 514,5 miliar.
Pada November 2015, panitia pengadaan heli AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek. Hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung.
Namun, pada tahun 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp 738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti dua perusahaan. Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan memercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri kontrak pekerjaan. Harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran pada tahun 2015, senilai 56,4 juta dollar AS, dan disetujui oleh PPK.
”Irfan juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy selaku PPK,” kata Firli.
Untuk persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang ini dan disetujui oleh PPK. Pembayaran yang diterima Irfan diduga telah 100 persen di mana faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
Perbuatan Irfan tersebut diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Perbuatan Irfan diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738,9 miliar.
Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Tunggakan perkara
Dalam sepekan ini, KPK juga telah menyelesaikan salah satu tunggakan kasusnya, yakni kasus dugaan korupsi pengadaan pupuk di Kementerian Pertanian untuk tahun anggaran 2013. Berkaitan dengan kasus ini, bekas Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim ditahan sejak Jumat (20/5/2022).
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengatakan, kasus yang melibatkan Hasanuddin ini merupakan pengembangan dari surat perintah penyidikan tahun 2016. Ia menyebut, pengusutan kembali kasus tersebut merupakan komitmen nyata KPK untuk menyelesaikan setiap tunggakan perkara. Dengan begitu, penegakan hukum tindak pidana korupsi dilaksanakan secara tuntas dan para pihak terkait segera mendapatkan kepastian hukum.
”Kasus ini surat perintah penyidikannya tahun 2016, sedangkan saya masuk tahun 2020. Namun, kepemimpinan Pak Firli Bahuri (Ketua KPK), kan, Desember 2019 dan kasus itu sudah tidak berjalan selama tiga tahun. Ini menjadi komitmen kami (untuk menyelesaikan),” ujar Karyoto.
Kasus lain, KPK juga terus menuntaskan dugaan kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Dua tersangka yang ditengarai terlibat kasus tersebut telah ditahan KPK, yakni Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhy Wijaya dan bekas Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-el dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Husni Fahmi.
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka proyek KTP-el sejak pertengahan Agustus 2019. Tak berhenti di sana, keterlibatan pihak-pihak lain terus ditelusuri meskipun ada di antaranya berada di luar negeri, yakni bekas Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos.
Sebagai pemegang tanggung jawab di bidang penindakan dan eksekusi, Karyoto enggan menyalahkan para anggota penyidik atau satuan tugas terkait lama atau tidaknya penyidikan suatu perkara. Sebab, menurut dia, mereka semua juga memiliki pekerjaan yang menumpuk. Apalagi, ia menyebut, ada satu perkara yang tersangkanya lebih dari 20 orang, seperti kasus jual-beli jabatan di Probolinggo, Jawa Timur, di mana salah satu tersangkanya adalah bekas Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.
”Tentu butuh ekstra waktu. Ini salah satu contoh kendala-kendala yang dialami penyidik. Sebab, saya yakin, semua satgas penyidikan masih punya utang carry over (kasus), baik di 2022, 2021, maupun 2020, dan (kasus korupsi pupuk yang melibatkan Hasanuddin) ini salah satu contoh carry over tahun 2016. Banyak faktor yang menjadi kendala,” kata Karyoto.
Karyoto mengaku bersyukur karena pihaknya senantiasa diingatkan oleh Dewan Pengawas KPK agar segera menuntaskan kasus-kasus lama. Sebab, hal itu juga menjadi atensi masyarakat yang kemudian dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK.