Tuai Protes Pertemuan Presiden dengan MRP Pendukung Pemekaran Papua
Perwakilan Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat temui Presiden.Jumat ini, wakil MRP dan MRP Barat nyatakan dukungannya terhadap pemekaran. Sebaliknya, perwakilan sebelumnya menolak dan menunggu MK.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menerima perwakilan dari Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat yang menyatakan dukungannya terhadap pemekaran wilayah di Papua. Pertemuan ini menuai protes dari pihak MRP yang sebelumnya juga menolak pembentukan Daerah Otonomi Baru atau DOB Papua sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-undang tentang Otonomi Khusus Papua hasil amendemen kedua.
Pertemuan antara Presiden Jokowi dan rombongan MRP yang, antara lain, terdiri dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw ini berlangsung di Istana Kepresidenan Bogor, pada Jumat, (20/5/2022). Mathius yang mewakili rombongan mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi pertemuan dengan Presiden Jokowi yang membahas soal pemekaran atau pembentukan DOB di Papua.
”Untuk mengklarifikasi mengenai simpang siurnya informasi mengenai penerapan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan di dalamnya adalah daerah otonomi baru, khusus untuk di Provinsi Papua, ada DOB Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Tengah,” ujar Mathius dalam keterangan seusai pertemuan dengan Presiden Jokowi.
Baca Juga: Moratorium Pemekaran Wilayah dan Konsistensi Otonomi Papua
”Rencana pembentukan DOB merupakan aspirasi murni warga Papua yang telah diperjuangkan sejak lama. Pembentukan DOB Papua Selatan misalnya, telah diperjuangkan selama 20 tahun."
Ketika memberikan keterangan, Mathius tampak didampingi tujuh orang perwakilan MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat. ”Yang ada di samping saya adalah Majelis Rakyat Papua dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan tiga pokja yang ada di situ, pokja agama dan pokja perempuan. Dan itu sudah clear suara Majelis Rakyat Papua di tanah Papua,” tambah Mathius.
Menurut Mathius, rencana pembentukan DOB merupakan aspirasi murni warga Papua yang telah diperjuangkan sejak lama. Pembentukan DOB Papua Selatan, misalnya, telah diperjuangkan selama 20 tahun. ”Jadi, ini bukan hal yang baru muncul tiba-tiba. Tapi ini adalah aspirasi murni, baik dari Papua Selatan maupun Tabi, Saereri, juga La Pago dan Mee Pago,” tambahnya.
Mathius menambahkan bahwa aspirasi tersebut didorong berdasarkan pada wilayah adat, bukan berdasarkan demonstrasi di jalan. Menurut dia, masyarakat Papua berharap agar DOB ke depan bisa menjadi harapan mereka untuk mempercepat kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
Dituduh direkayasa
Dalam keterangan terpisah, Ketua MRP Timotius Murib menyesalkan pertemuan di Istana Bogor yang terkait dengan UU Otsus dan DOB Papua. ”Pertemuan hari ini, oknum anggota MRP dengan Presiden adalah direkayasa oleh pihak yang berkepentingan untuk loloskan DOB, maka itu tidak representatif orang Papua. Apa pun hasil itu tidak sah,” ujar Timotius ketika dihubungi Jumat (20/5/2020).
Perwakilan MRP yang hadir di Istana Bogor dinilai tidak melalui mekanisme perjalanan dinas karena tidak mengantongi Surat Perintah Tugas (SPT) dan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) dari Lembaga MRP. Timotius menegaskan bahwa mereka tidak mewakili lembaga MRP. ”Mungkin mereka mewakili kalangan mereka sendiri,” ucapnya.
”Pertemuan hari ini, oknum anggota MRP dengan Presiden adalah direkayasa oleh pihak yang berkepentingan untuk loloskan DOB, maka itu tidak representatif orang Papua. Apa pun hasil itu tidak sah. ”
Saat ini, MRP secara kelembagaan sedang mengajukan dan menunggu putusan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, sejak akhir April hingga awal bulan Mei, pimpinan MRP juga telah berkunjung ke Jakarta bertemu Presiden Jokowi, sejumlah menteri, dan pimpinan partai-partai politik nasional. Pertemuan berlangsung pada 25 Mei 2022 di Istana Merdeka, Jakarta.
Dalam pertemuan yang dihadiri Timotius tersebut, MRP secara resmi menyuarakan besarnya aspirasi masyarakat orang asli Papua yang menolak pembentukan DOB. Mereka meminta pemerintah pusat untuk menunda pembentukan DOB setidaknya sampai ada putusan MK terkait uji materi UU Otsus hasil amendemen kedua.
”Kedatangan mereka itu tidak melalui mekanisme resmi kelembagaan. Mereka juga tidak pernah dimandatkan oleh pimpinan lembaga MRP untuk bertemu dengan Presiden. Dugaan kami ada setting-an dari pihak tertentu. ”
Namun, saat itu, Timotius menegaskan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam sebuah lembaga. Ia tetap menegaskan bahwa mayoritas masyarakat Papua menolak DOB meskipun ada juga yang mendukungnya. Mereka yang hadir dari MRP dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor hari ini dituding oknum-oknum yang mengatasnamakan MRP.
”Tetapi, kedatangan mereka itu tidak melalui mekanisme resmi kelembagaan. Mereka juga tidak pernah dimandatkan oleh pimpinan lembaga MRP untuk bertemu dengan Presiden. Dugaan kami ada setting-an dari pihak tertentu,” tambah Timotius.
Kepastian hukum UU Otsus
Di sisi lain, Mathius menegaskan bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus telah mengikat semua masyarakat di seluruh tanah Papua. Dengan demikian, ada kepastian hukum untuk mengelola ruang-ruang yang dimiliki oleh masyarakat adat berdasarkan tujuh wilayah adat di tanah Papua.
"Kita butuh itu kepastian. Karena itu, kalau pemekaran itu, itu masalah administrasi pemerintahan, tetapi ke Papua itu diikat dengan Undang-Undang Otsus. Persoalan kita adalah implementasinya, harus konsisten, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, pemerintah daerah. Di situ persoalannya sebenarnya,” ujarnya.
Undang-Undang Otsus juga akan memberikan kepastian hukum terhadap ruang kelola hak-hak pemetaan wilayah adat. Dengan adanya kepastian hukum tersebut, diharapkan bisa menyelesaikan persoalan lahan di Papua.
”Konflik Papua sebenarnya masalah lahan karena itu perlu ada kepastian di sini dan dia bisa menyelesaikan, mengurangi persoalan-persoalan di Papua, dan kepastiannya hanya melalui Undang-Undang Otsus,” ujar Mathius.
”Kita butuh itu kepastian. Karena itu, kalau pemekaran itu, itu masalah administrasi pemerintahan, tapi ke Papua itu diikat dengan Undang-Undang Otsus. Persoalan kita adalah implementasinya, harus konsisten baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, pemerintah daerah. Di situ persoalannya sebenarnya"
Selain itu, Mathius melanjutkan, daerah otonomi baru juga akan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat karena tantangan utama adalah kondisi geografis. Mathius menegaskan bahwa daerah otonomi baru adalah solusi untuk bisa mempercepat kesejahteraan Papua dan Papua Barat.
”Berapapun dananya diturunkan dalam Otsus, tetapi kalau geografis yang sulit, seperti yang ada sekarang, itu tetap akan mengalami hambatan-hambatan luar biasa,” ucapnya.
Dalam pertemuan tersebut, Mathius juga mengundang Presiden Jokowi untuk hadir membuka kongres masyarakat adat seluruh Indonesia yang digelar pada 24-29 Oktober mendatang. Gelaran ini akan dihadiri kurang lebih 6.000 peserta dengan pameran dan panggung seni budaya. Sebanyak 8.000 orang dari seluruh Indonesia akan hadir di Papua dan tinggal di rumah-rumah masyarakat adat.
Kendali politik
Terkait konflik yang masih terjadi di Papua, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut bahwa kondisi Papua merepresentasikan menguatnya kembali sentralisasi atau pemusatan kekuasaan. ”Kasus Papua itu paling telanjang, betapa Jakarta memusatkan kembali kendali politiknya terhadap Papua,” ujar Usman pada diskusi publik bertajuk “24 Tahun Reformasi dan Arah Demokrasi Indonesia” yang digelar Public Virtue Research Institute, Jumat (20/5/2022).
Kendali oleh pemerintah pusat ini menabrak prinsip reformasi yang dituangkan di dalam semangat otonomi. Otonomi seharusnya berarti kemandirian pengelolaan pemerintahan sendiri. Konsultasi partisipasi harus dilakukan dengan Papua. Namun, dalam kebijakan terbaru, pemerintah pusat secara sepihak mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua untuk menggantikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.
”Kualitas demokrasinya mengalami kemerosotan. Bahkan, dalam 14 tahun terakhir memang kualitas demokrasi Indonesia dianggap berada pada titik yang paling rendah. ”
”Yang di dalamnya punya dampak negatif terhadap prinsip-prinsip otonomi itu, tidak ada lagi otonomi sebenarnya dengan UU, badan khusus di tingkat pusat dibentuk. Pemekaran tidak lagi harus meminta persetujuan representasi kultural orang asli Papua dan seterusnya,” ujar Usman.
Baca Juga: Bahas Otonomi Papua, DPR Akan Pertimbangkan Hasil MK
Sentralisasi kewenangan oleh pemerintah pusat ini disoroti sebagai salah satu penyebab menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Penguatan kembali kewenangan pusat untuk mengatur daerah ini tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Meskipun tidak mundur seperti era Orde Baru, demokrasi Indonesia dinilai semakin merosot dalam 14 tahun terakhir. ”Kualitas demokrasinya mengalami kemerosotan. Bahkan, dalam 14 tahun terakhir memang kualitas demokrasi Indonesia dianggap berada pada titik yang paling rendah,” ujar Usman
Mengutip dari ukuran-ukuran lembaga indeks demokrasi seperti dari The Economist Intelligence Unit dan Freedom House, Usman menyebut ada dua hal yang melemah. Pertama terkait hak kebebasan sipil untuk berpendapat dan berekspresi. Kedua, partisipasi masyarakat dalam kelembagaan elektoral dan partisipasi politik.
Di samping sentralisasi kewenangan oleh pemerintah pusat ini, kemerosotan kualitas demokrasi ini juga antara lain dipengaruhi menguatnya penggunaan taktik-taktik otoriter dari negara terhadap masyarakat. Faktor lainnya adalahmenguatnya semangat nasionalisme yang berlebihan dari negara, menguatnya politik moralitas, hingga lemahnya gerakan sosial.