KPK Tahan Bekas Pejabat di Kementerian Pertanian
Kasus korupsi pengadaan pupuk yang melibatkan bekas Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim merupakan salah satu tunggakan kasus KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Direktur Jenderal Holtikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan pupuk pada Kementerian Pertanian untuk tahun anggaran 2013. Pengusutan kasus ini diklaim menjadi komitmen nyata KPK untuk menyelesaikan setiap tunggakan kasus.
Tim penyidik KPK resmi menahan Hasanuddin Ibrahim mulai Jumat (20/5/2022) di Rumah Tahanan KPK pada Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Hasanuddin ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus korupsi pengadaan pupuk hayati untuk pengendalian organisme penganggu tumbuhan (OPT) pada Kementerian Pertanian (Kementan) tahun anggaran 2013.
Dalam perkara ini, KPK sebelumnya telah menetapkan dua tersangka lain, yakni Direktur Utama PT Hidayah Nur Wahana (HNW) Sutrisno, serta pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Direktorat Jenderal Holtikultura Kementan periode 2012 Eko Mardiyanto. Untuk Sutrisno dan Eko, saat ini perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengatakan, kasus yang melibatkan Hasanuddin ini merupakan pengembangan dari surat perintah penyidikan tahun 2016. Ia menyebut, pengusutan kembali kasus tersebut merupakan komitmen nyata KPK untuk menyelesaikan setiap tunggakan perkara. Dengan begitu, penegakan hukum tindak pidana korupsi dilaksanakan secara tuntas dan para pihak terkait segera mendapatkan kepastian hukum.
Baca Juga: Sindikat Menguasai Pupuk Bersubsidi
”Kasus ini surat perintah penyidikannya tahun 2016, sedangkan saya masuk tahun 2020. Namun, kepemimpinan Pak Firli Bahuri (Ketua KPK), kan, Desember 2019 dan kasus itu sudah tidak berjalan selama tiga tahun. Ini menjadi komitmen kami (untuk menyelesaikan),” ujar Karyoto, dalam jumpa pers, Jumat sore ini.
Sebagai pemegang tanggung jawab di bidang penindakan dan eksekusi, Karyoto enggan menyalahkan para anggota penyidik atau satuan tugas. Sebab, menurut dia, mereka semua juga memiliki pekerjaan yang menumpuk. Apalagi, ia menyebut, ada satu perkara yang tersangkanya lebih dari 20 orang, seperti kasus jual-beli jabatan di Probolinggo, Jawa Timur, di mana salah satu tersangkanya adalah bekas Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.
”Tentu butuh ekstra waktu. Ini salah satu contoh kendala-kendala yang dialami penyidik. Karena saya yakin, semua satgas penyidikan masih punya hutang carry over (kasus), baik di 2022, 2021, maupun 2020, dan (kasus korupsi pupuk yang melibatkan Hasanuddin) ini salah satu contoh carry over tahun 2016. Banyak faktor yang menjadi kendala. Saya tidak mencari kesalahan siapa, tetapi yang jelas perkara ini harus segera dituntaskan,” kata Karyoto.
Karyoto mengaku bersyukur karena pihaknya senantiasa diingatkan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK agar segera menuntaskan kasus-kasus lama. Sebab, hal tersebut juga menjadi atensi masyarakat yang kemudian dilaporkan kepada Dewas KPK.
Rugikan Rp 12,9 miliar
Kasus korupsi pengadaan pupuk pada Kementan ini bermula terjadi pada sekitar 2012. Eko selaku PPK mengadakan rapat pembahasan bersama Hasanuddin selaku Dirjen Holtikultura sekaligus kuasa pengguna anggaran (KPA). Rapat tersebut di antaranya membahas anggaran dan pelaksanaan proyek lelang pengadaan fasilitasi sarana budidaya mendukung pengendalian OPT tahun anggaran (TA) 2013.
Kemudian, di dalam rapat itu, diduga ada perintah dari Hasanuddin untuk mengarahkan dan mengondisikan penggunaan pupuk merek Rhizagold dan memenangkan PT HNW sebagai distributornya.
Selama proses pengadaan berjalan, diduga Hasanuddin aktif memantau proses pelaksanaan lelang di antaranya dengan memerintahkan Eko untuk tidak menandatangani kontrak sampai dengan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) TA 2012 turun.
Di samping itu, Hasanuddin juga diduga memerintahkan beberapa staf di Ditjen Holtikultura untuk mengubah nilai anggaran pengadaan dari semula 50 ton dengan nilai Rp 3,5 miliar menjadi 255 ton dengan nilai Rp 18,6 miliar. Adapun, perubahan nilai tersebut tanpa didukung data kebutuhan riil dari lapangan berupa permintaan dari daerah.
”Hasanuddin juga turut melibatkan adiknya Ahmad Nasser Ibrahim alias Nasser yang merupakan karyawan freelance PT HNW, untuk aktif menyiapkan kelengkapan dokumen sebagai formalitas kelengkapan lelang,” papar Karyoto.
Selanjutnya, setelah pagu anggaran pengadaan disetujui senilai Rp 18,6 miliar, proses lelang dimenangkan oleh PT HNW, yang mana sebelumnya sudah dikondisikan sejak awal oleh Hasanuddin.
Atas perintah Hasanuddin, Eko menandatangani berita acara serah terima pekerjaan 100 persen untuk syarat pembayaran lunas ke PT HNW di mana faktanya progress pekerjaan belum mencapai 100 persen.
”Atas perbuatan tersangka tersebut diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp 12,9 miliar dari nilai proyek Rp 18,6 miliar,” kata Karyoto.
Atas perbuatannya, Hasanuddin disangkakan melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Karyoto mengingatkan, pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu fokus KPK dalam pemberantasan korupsi. Hal ini mengingat tingginya tingkat risiko, besarnya anggaran, serta asas kebermanfaatannya bagi masyarakat luas. ”KPK sangat prihatin, korupsi pada pengadaan pupuk ini mengakibatkan terganggunya produktivitas sektor pertanian yang menjadi tumpuan pembangunan ekonomi agraris,” tuturnya.
Kasus wali kota Ambon
Sementara itu, terkait perkembangan penyidikan perkara dugaan korupsi terkait persetujuan izin prinsip pembangunan cabang ritel tahun 2020 di Kota Ambon dengan tersangka Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, pada Kamis (19/5), tim penyidik telah selesai melaksanakan upaya paksa penggeledahan di beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Pemkot Ambon dan beberapa rumah kediaman dari beberapa pihak.
Baca Juga: Wali Kota Ambon Diduga Terima Suap Rp 500 Juta untuk Izin Pembangunan 20 Gerai Ritel
Beberapa lokasi yang digeledah, antara lain, ruang kerja kepala dinas dan ruang sekretaris serta ruang staf Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Ambon, beberapa ruangan di Kantor Dinas Pendidikan Kota Ambon, beberapa ruangan di Kantor Inspektorat Kota Ambon, serta beberapa ruangan di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Ambon. Selain itu, tim penyidik juga menggeledah rumah kediaman Richard, yang beralamat di Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, dan di Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Dari beberapa lokasi tersebut, Ali mengungkapkan, ditemukan dan diamankan barang bukti antara lain berbagai dokumen proyek hingga catatan aliran uang serta alat elektronik. Berbagai barang bukti tersebut diduga kuat memiliki keterkaitan erat dengan perkara ini.
”Selanjutnya, segera dilakukan analisis menyeluruh atas bukti-bukti ini yang kemudian disita untuk melengkapi berkas perkara termasuk pula akan dikonfirmasi pada para tersangka,” tutur Ali.