Sekjen Kemendagri: 22 Mei, 43 Penjabat Bupati dan Wali Kota Dilantik
Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro mengatakan, pelantikan 43 penjabat bupati/wali kota akan dilaksanakan pada Sabtu (22/5/2022). ”Nanti gubernur yang akan melantik,” ujarnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri memastikan ada 43 penjabat bupati/wali kota yang akan dilantik pada 22 Mei mendatang. Pelantikan akan dipimpin oleh gubernur masing-masing di daerah tersebut. Gubernur diminta melaksanakan surat keputusan pengangkatan penjabat yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ada total 101 kepala daerah pada 2022 dan 170 kepala daerah pada 2023 yang bakal diisi penjabat. Pada Mei 2022 terdapat 48 kepala daerah yang akan mengakhiri masa baktinya, terdiri dari 5 gubernur, 37 bupati, dan 6 wali kota. Adapun 5 penjabat gubernur telah dilantik Mendagri Tito Karnavian pada 12 Mei.
Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro saat dihubungi di Jakarta, Kamis (19/5/2022), mengatakan, untuk gelombang kedua, dilanjutkan dengan pelantikan 43 penjabat bupati/wali kota yang akan dilaksanakan pada Sabtu (22/5). ”Nanti gubernur yang akan melantik,” ujarnya.
Suhajar menyampaikan, sejauh ini surat keputusan (SK) terkait pengangkatan penjabat belum keluar. Saat SK itu sudah keluar, ia meminta kepada para gubernur untuk melaksanakannya dengan melantik para penjabat bupati/wali kota tersebut.
Kemendagri, lanjut Suhajar, tentu akan menjalin komunikasi yang baik dengan para gubernur, terutama yang daerahnya akan diisi oleh penjabat. Hal ini dilakukan untuk meredam gejolak di daerah apabila ada gubernur yang enggan melantik penjabat bupati/wali kota di daerah otoritasnya. ”Iyalah, pasti kami akan bangun komunikasi yang baik dengan para gubernur,” ucap Suhajar.
Potensi konflik besar
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menilai, gejolak di daerah itu sangat mungkin muncul karena nama penjabat yang diputuskan Kemendagri tidak sejalan dengan usulan gubernur. Menurut dia, ini merupakan salah satu dampak negatif dari penunjukan penjabat dengan pola lama, yang membolehkan tak mengakomodir ketiga nama penjabat usulan gubernur.
G ubernur memiliki kekuatan politik di daerah. Jika penjabat bupati/wali kota semata-mata dipilih pusat tanpa mempertimbangkan usulan gubernur, ini akan memperburuk hubungan antara penjabat dan gubernur. Gubernur yang mempunyai jaringan kekuatan politik lokal, seperti DPRD kabupaten/kota, partai politik, dan tokoh masyarakat, akan meminta mereka untuk tidak membantu kerja penjabatnya.
”Alhasil, penggantinya diangkat penjabat tanpa konsultasi dengan gubernur. Ini namanya salah kaprah penunjukan penjabat kepala daerah. Jadi, justru itu bikin marah daerah,” kata Djohermansyah.
Djohermansyah menambahkan, gejolak ini akan terus memanas apabila penunjukan penjabat kepala daerah terus dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak jelas aturan dan mekanismenya. Misalnya, jika penjabat dipaksakan turun dari pusat dan gubernur tidak menyukainya, maka penjabat tersebut tak akan bisa bekerja secara maksimal.
”Bisa pelantikan diulur-ulur atau gubernur itu tidak mau melantik. Pusat biasanya take over, lalu gubernur itu akan ditegur atau disanksi. Kan, ini jadi konflik,” katanya.
Selain itu, bagaimanapun, gubernur memiliki kekuatan politik di daerah. Jika penjabat bupati/wali kota semata-mata dipilih pusat tanpa mempertimbangkan usulan gubernur, ini akan memperburuk hubungan antara penjabat dan gubernur. Gubernur yang mempunyai jaringan kekuatan politik lokal, seperti DPRD kabupaten/kota, partai politik, dan tokoh masyarakat, akan meminta mereka untuk tidak membantu kerja penjabatnya.
”Jadi, gubernur itu akan memaksimalkan kekuatan kepartaian dan kekuatan Dewan agar tidak membantu kerja penjabat. Penjabat, kan, jadi susah kerja,” ucap Djohermansyah.
Lebih dari itu, konflik ini juga akan panjang sampai ke level birokrasi. Sekretaris daerah di kabupaten/kota yang mana memiliki relasi dengan gubernur juga tentu diminta untuk tidak membantu kerja penjabat. Alhasil, penyelenggaraan pemerintahan di bawah kepemimpinan penjabat tentu akan berantakan.
Belum lagi ke penyelenggaraan Pemilu 2024 ketika kabupaten/kota harus berkoordinasi dengan pusat dari sisi pengaturan pembiayaan dan kesekretariatan. Jika hubungan gubernur dan penjabat bupati/wali kota tidak harmonis, proses sinkronisasi dan koordinasi juga akan terganggu.
”Jadi, efeknya sangat luas, kayaksnowball effect, bola salju yang menggelinding ke sana-ke mari, tak hanya ke pelantikan, tetapi tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan dukungan fasilitasi dukungan penyelenggaraan Pemilu 2024 juga akan berantakan,” tutur Djohermansyah.
Untuk itu, ia menyarankan kepada Kemendagri agar segera menerbitkan aturan teknis yang baru dan jelas terkait penunjukan penjabat kepala daerah ini. Dengan begitu, proses penunjukannya dapat diterima seluruh pihak, termasuk publik. Apalagi, ia pun mengingatkan akan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pemerintah untuk membuat aturan teknis penunjukan penjabat agar proses itu dilakukan secara transparan dan demokratis.
”Jadi, bikin saja segera regulasi, itu sangat bermanfaat tak hanya mencegah kasus konflik antara gubernur yang tidak dikabulkan usulannya dan Kemendagri, tetapi juga ini demi manfaat transparansi sehingga publik tahu dan terlibat,” katanya.