RUU tentang Perlindungan Data Pribadi sudah dibahas sejak 2020. Meski sudah berkali-kali disebut sebagai prioritas, pembahasan RUU tersebut belum juga tuntas.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi kembali menjadi prioritas dalam Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 Dewan Perwakilan Rakyat. Ini menjadi masa sidang keenam dalam pembahasan RUU yang merupakan inisiatif pemerintah tersebut. Publik berharap agar penyelesaian pembahasan RUU ini bukan sekadar janji manis DPR dan pemerintah, tetapi benar-benar direalisasikan di tengah kian maraknya pencurian dan penyalahgunaan data pribadi warga.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, ada beberapa RUU prioritas yang akan dibawa ke rapat paripurna untuk segera disahkan, salah satunya RUU PDP. Saat ini, RUU itu berada di dalam pembahasan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah.
Panitia kerja RUU PDP telah membahas RUU itu sejak 2020, tetapi hingga kini belum juga tuntas. Pemerintah dan DPR belum menyepakati sejumlah materi krusial, salah satunya mengenai badan atau otoritas perlindungan data pribadi.
”Ada beberapa RUU prioritas yang akan dinaikkan dari tingkat satu untuk diparipurnakan. Rencananya, salah satunya adalah RUU PDP,” ucap Dasco saat akan membuka sidang paripurna pembukaan Masa Persidangan V DPR Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (17/5/2022), di Jakarta.
Dasco mengatakan, informasi terakhir yang diperolehnya dari Komisi I menyebutkan bahwa saat ini sudah ada kesepakatan antara pimpinan Komisi I dan pihak pemerintah tentang lembaga pengawas yang terkait dengan PDP. ”Oleh karena itu, dalam masa sidang ini, kami akan maksimalkan supaya RUU PDP ini dapat disahkan menjadi UU,” katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, mengatakan, hingga pembicaraan terakhir dengan pemerintah, ada harapan RUU itu dapat disahkan pada masa sidang ini. Sebab, masa sidang V ini cukup panjang, yakni sampai Juli 2022, sehingga cukup waktu bagi pemerintah dan DPR untuk menuntaskan RUU PDP.
Sudah ada kesepakatan antara pimpinan Komisi I dan pihak pemerintah tentang lembaga pengawas yang terkait dengan PDP. Oleh karena itu dalam masa sidang ini, kami akan maksimalkan supaya RUU PDP ini dapat disahkan menjadi UU.
Dave menyebutkan, sikap DPR pada dasarnya tetap mendorong agar lembaga pengawas PDP bersifat independen. Namun, ada sikap pemerintah yang menginginkan agar tidak perlu dibentuk lembaga baru.
”Pemerintah bahkan ingin memperkecil lembaga yang ada sehingga bisa menyederhanakan birokrasi. Jadi kita sepakat agar lembaga itu di bawah kementerian dan lembaga yang ada. Dalam hal ini, kami mengusulkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN),” katanya.
Akan tetapi, Dave melanjutkan, itu baru sebatas usulan yang masih dalam proses kajian di Komisi I DPR. Hal itu masih perlu dimatangkan melalui pembicaraan dengan pemerintah di tingkat panja.
Sebelumnya, dalam beberapa kali kesempatan wawancara, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel A Pengerapan mengatakan, pihaknya menunggu undangan pembahasan lanjutan RUU PDP. Pemerintah berkomitmen untuk segera menuntaskan RUU tersebut, mengingat saat ini penggunaan data pribadi dalam transaksi elektronik sangat masif. Pemerintah menilai perlu adanya perlindungan data pribadi warga negara.
Namun, Semuel mengatakan, pemerintah menginginkan agar otoritas perlindungan data pribadi itu berada di bawah Kominfo. ”Selama ini, berbagai aturan yang ada telah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memastikan perlindungan data pribadi itu dijamin,” katanya.
Mengenai usulan BSSN sebagai lembaga pengawas PDP, Semuel mengatakan, pemerintah belum mendapatkan informasi atau keterangan resmi dari DPR. Hal itu harus dibicarakan lebih jauh di dalam pembahasan panja.
Tunggu realisasi
Secara terpisah, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Alia Yofira Karunian, mengatakan, penetapan RUU PDP sebagai prioritas DPR sebenarnya sudah disebutkan di setiap kali masa sidang. Namun, yang ditunggu publik ialah realisasi penuntasan RUU itu menjadi UU.
”Setiap kali masa sidang, RUU PDP memang selalu jadi prioritas. Tetapi, sayangnya RUU itu tidak selesai-selesai pembahasannya. Memang ada kebuntuan soal otoritas perlindungan data pribadi, tetapi ini harus segera diatasi oleh pemerintah dan DPR,” kata Alia.
Alia mengatakan, idealnya otoritas perlindungan data pribadi itu bersifat independen, bukan di bawah pemerintah. Sebab, pemerintah merupakan pihak pengelola data pribadi yang juga turut diawasi oleh lembaga itu.
Di luar masalah itu, masih banyak pasal bermasalah di dalam draf RUU PDP yang harus dicermati pemerintah dan DPR. Salah satunya mengenai definisi data sensitif dan data anak, serta bagaimana aplikasi dalam pemrosesan data serta perlindungan data sensitif tersebut.
”Jangan lalu karena ini prioritas, lalu disahkan dengan menyisakan berbagai masalah,” ucapnya.
Di sisi lain, penuntasan RUU PDP menjadi sangat penting mengingat Indonesia saat ini memegang presidensi G-20. Salah satu fokus dari presidensi ini di bidang digital adalah kemudahan dalam transfer data lintas batas negara. Sebagian besar negara-negara G-20 telah memiliki UU PDP untuk memastikan transfer data lintas batas negara itu tetap menjamin perlindungan data pribadi warga negara masing-masing. Sayangnya, Indonesia termasuk negara yang belum memiliki UU PDP.
”Ini suatu hal serius yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR di era presidensi Indonesia di G-20. Jangan sampai kita belum memiliki UU PDP saat transfer data lintas batas negara menjadi poin yang dikedepankan di bawah presidensi Indonesia,” kata Alia.